-- Eri Anugerah*
MENDIANG Presiden Amerika Serikat John F Kennedy pernah memberikan analogi tentang politik dan puisi. Apabila politik membengkokkan, sajak meluruskannya.
Dengan kata lain sajak bisa menjadi sebuah alat untuk mengontrol arah politik. Seperti yang dilakukan Asrizal Nur, Tengku Azmun Jaafar, dan Mastur Taher, serta tujuh orang lainnya yang tergabung dalam Yayasan Panggung Melayu, menjadikan puisi sebagai alat kontrol kekuasaan. Terlebih lagi, Tengku Azmun Jaafar dan Mastur Taher adalah politikus. Tengku Azmun ialah Bupati Pelelawan, Riau. Sedangkan Mastur Taher adalah Wakil Bupati Bintan. Asrizal Nur adalah seniman yang pernah dijebloskan ke penjara gara-gara terlibat pementasan drama Marsinah.
Ketiga orang tersebut membuat antologi sajak berjudul Jalan Bersama, yang diluncurkan di Yayasan Panggung Melayu, Beji, Depok, kemarin. Sebagian besar sajak yang diciptakan bertema kritik sosial.
Belum lama ini sajak-sajak tersebut dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM).
Misalnya sajak karangan Tengku Azmun Jaafar yang sebagian lariknya berbunyi, Elok kain karena benang, bila dicelup amatlah cantik. Elok pemimpin berdada lapang. Seumur hidup berbuat baik.
Demikian juga karya Mastur Taher yang menuliskan sajak berjudul Nur...Nyut...Nyut, yang menggambarkan betapa pusingnya rakyat menghadapi ulah pejabat. Nyut nyut nyut, kepala senut-senut, pikirkan bangsa carut-marut, segala urusan semrawut. Para pemimpin asyik saling sikut, rakyat dibuat pusing kalang kabut, tak paham mana yang mesti diturut.
Sastrawan Taufik Ismail dalam komentarnya berjudul Puisi sebagai Saluran Ekspresi Siapa pun, yang termuat dalam buku antologi tersebut, mengatakan sejak dahulu penyair melalui sajaknya telah menjadi penjaga kerja raja atau pemimpinnya. ''Bila kerjanya bagus, raja berhak mendapat pujian. Bila kerjanya buruk, sajak akan menjadi alat untuk meneriakkan kritikan yang lantang.''
Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur membenarkan pemikiran Taufik Ismail. ''Kita perlu curiga bahwa di antara penyebab keterpurukan bangsa Indonesia, ialah jauhnya para pemimpin dari seni, termasuk seni sastra. Ketajaman dan kepekaan nurani pemimpin tidak menyentuh rakyatnya,'' ungkapnya.
* Eri Anugerah, wartawan Media Indonesia
Sumber: Media Indonesia, Kamis, 16 November 2006
1 comment:
Such a great article✨
Post a Comment