Monday, November 20, 2006

Esai: Piil Pesenggiri Bukan Puzzle, Catatan untuk Firdaus Augustian

-- Fachruddin*


Menarik membaca tulisan Firdaus Agustian, Puzzle Bernama Piil Pesenggiri (Lampung Post edisi 11 November 2006). Kalau saya sarikan, dapat dikelompokkan jadi lima persoalan.

Pertama, bukan hanya piil pesenggiri, komunitas tradisional lain pun banyak yang sarat pesan kultural.

Kedua, tidak semua kelompok masyarakat Lampung akrab dengan unsur-unsur piil pesenggiri, banyak komunitas Saibatin tidak familiar dengan sakai sambaian tetapi mereka memiliki kearifan yang lain.

Ketiga, otokritik semacam yang pernah dilontarkan Muchtar Lubis perlu juga dilontarkan kepada piil pesenggiri.

Keempat, membicarakan kebudayaan lokal piil pesenggiri di tengah arus pengaruh global dirasakan bagaikan anak kecil yang main puzzle.

Kelima, budaya besar seperti Yunani, Mesir, Romania, hilang dengan sendirinya akibat eksklusifitas pendukungnya.

Gagasan Firdaus perlu dilontarkan kepada kita semua, sehingga piil pesenggiri dapat digali lebih dalam lagi.

***

Piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Niat Fatahillah mengawini Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, bukan sekadar pelepas libido, tetapi sebuah rintisan untuk mendirikan Kesultanan Islam Lampung, sebagai penyangga Banten, Cirebon, dan Demak untuk melanjutkan perjuangan dakwah Walisongo. Itu sebabnya Pangeran Sabakingking dan Ratu Darah Putih bersegera menyelesaikan konflik yang mereka hadapi dengan piil pesenggiri sebagai acuannya--simak isi Prasasti Bojong yang sejalan dengan piil pesenggiri, yaitu nemui nyimah (saling menghargai), nengah nyappur (kesetaraan), sakai sambaian (kebersamaan), dan juluk adek (terprogram) dan titi gemeti (sistematis).

Bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiai dan jawara, di Madura ada NU dan carok di Bugis ada syiri. Jangan ditanya lagi di Jawa, banyak sekali ragamnya, tetapi ada dua yang benar benar populer. Pertama, tri ojo (ojo kagetan, ojo gumunan, dan ojo dumeh). Kedua, nyaris dianut para pejabat di zaman Orde Baru yaitu sugih tampo bondo, digdoyo tanpo aji, ngluruk tampo bolo, dan menang tampo ngasorake. Menang tampo ngasorake membahana disebut berkali kali di gedung DPR RI ketika Soeharto berhasil dipilih kembali untuk kesekian kalinya sebagai Presiden RI.

Itulah sebabnya para aparat istana tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake).

Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa masyarakat jelata. Karena itu, masyarakat jelata tidak boleh disakiti hatinya. Tetapi di pihak lain masyarakat jelata ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, protes, apalagi berontak.

Para aparat membina budaya pepe, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi mata hari).

***

Berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

Walaupun Kerajaan Tulangbawang telah tidak efektif, di lingkungan masyarakat Pepadun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, baik masalah internal maupun eksternal. Secara internal, hingga ketika adat Pepadun dibentuk ternyata masih banyak diantara kelompok itu yang belum menganut Islam, serta belum adanya kecocokan siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin. Sedangkan masalah eksternal, kelompok ini terpaksa menyelesaikan sengketa dengan Palembang lebih dahulu (Hilman Hadikusuma). Persoalan demi persoalan datang hingga kelak masuknya bangsa penjajah--lihat Facruddin dalam "Konflik Mengakar Sepanjang Abad" (Lampung Post edisi 19 September 2006).

Piil pesenggiri yang diketemukan dan dihimpun Rizani dalam penyusunan skripsinya di Fakultas Hukum Unila tahun 1966 merupakan hasil proses akulturatif. Unsur-unsurnya selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Dua kata yang digabung-gabung itu belum tentu populer di satu tempat secara utuh. Nemui, umpamanya, populer di lingkungan masyarakat Pepadun, tetapi kata simah lebih populer di daerah pesisir. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna.

Sebab itu, bila ada kata-kata yang kurang populer di daerah tertentu, jangan serta merta menolak, karena ia populer di daerah lain di Lampung ini. Itu berarti bahasa Lampung, kekayaan Lampung, milik kita bersama.

Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir.

Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia.

Pluralitas komunitas Lampung memiliki kekayaan yang terpendam. Sikap eksklusifivas terhadap piil pesenggiri berarti tidak mengikuti perkembangan terhadap kajian piil pesenggiri itu sendiri.

* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006

No comments: