Friday, March 30, 2007

Rapat Koordinasi Nasional Budaya dan Pariwisata 2007: Budayawan Akan Diberi Tunjangan Hidup

Budayawan-budayawan yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan kebudayaan Indonesia diusulkan untuk mendapat tunjangan hidup dan uang bulanan. Tunjangan hidup dan uang bulanan ini sebagai salah satu bentuk penghargaan pemerintah kepada budayawan di Indonesia.

Selain itu, pemberian penghargaan itu akan memotivasi budayawan un- tuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas perkembangan budaya di Indonesia.

Hal itu merupakan salah satu rekomendasi yang diberikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Budaya dan Pariwisata 2007 yang di Jakarta yang berakhir Kamis (29/3).

Penghargaan kepada para budayawan selanjutnya akan diatur melalui mekanisme aturan yang berlaku. Selama ini, pemberian penghargaan kepada para budayawan masih belum memiliki aturan yang jelas.

Selain mengusulkan pemberian penghargaan kepada para budayawan, rakornas selama tiga hari tersebut juga mengusulkan untuk terus memotivasi dan mendukung perkembangan seni dan budaya daerah dalam bentuk festival di tingkat regional, nasional ataupun internasional.

Di bidang perfilman, proses penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Perfilman harus dipercepat. Perkembangan film di Indonesia harus didorong berdasarkan potensi bangsa untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme yang tinggi serta mempererat persatuan dan kesatuan.

Untuk masalah Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rapat itu merekomendasikan kepada pemerintah agar segera menyelesaikan peraturan pemerintah tentang tata cara perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Visit Indonesia Year 2008

Sementara itu dibidang pariwisata, pemerintah yang saat ini sedang menyiapkan program kunjungan wisata Indonesia 2008 ha-rus melakukan gerakan merevitalisasi Sapta Pe- sona di seluruh lapisan masyarakat.

Untuk mendukung Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008) pengembangan dae-rah tujuan wisata harus memiliki standar internasional, tidak hanya standar nasional.

Pengembangan dengan standar internasional ini sekaligus dapat menjawab tantangan perekonomian di sekitar lokasi wisata.

Pemerintah perlu mensosialisasikan kepada program-program VIY 2008 kepada seluruh stakeholder. Pengembangan program wisata untuk VIY 2008 nantinya akan difokuskan pada segmen-segmen khusus dan peminatan pada bidang tertentu seperti golf, spa, pelayaran dan sebagainya.

Mengenai pelaksanaan Instruksi Presiden No 16/ 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Budaya dan Pariwisata, khususnya untuk memperlancar pelaksanaan Visa On Arrival (VoA), pemerintah perlu membenahi sejumlah fasilitas pembayaran visa di lokasi kedatangan. Bahkan kalau perlu pembayaran bisa dilakukan di pesawat sebelum wisa- tawan mendarat di wilayah Indonesia. [PR/K-11]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat 30 Maret 2007

Thursday, March 29, 2007

Seminar: Persia Ikut Warnai Sastra Nusantara, Karya Hamzah Fansuri sebagai Jembatan Pengikat

Jakarta, Kompas - Hubungan Persia—sekarang Iran—dengan Nusantara erat dan berkesinambungan, setidaknya sejak 1.000 tahun lalu. Kedekatan itu ikut mewarnai khazanah sastra di Nusantara, antara lain terlihat dalam karya-karya Hamzah Fansuri.

Sastrawan Abdul Hadi WM mengungkapkan hal ini dalam seminar bertajuk "Hubungan longue duree antara Persia dengan Nusantara; Mozaik Pemikiran Hamzah Fansuri" di Jakarta, Rabu (28/3). Terlepas dari kontroversi yang mengitarinya, kata Abdul Hadi, Hamzah Fansuri adalah tokoh intelektual dan kerohanian terkemuka pada zamannya.

Dalam karya Hamzah Fansuri banyak petikan ayat Al Quran, hadis Nabi, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis sufi Arab-Persia. Begitu juga tamsil dan simbolik yang biasa digunakan penyair sufi Arab dan Persia.

Hal senada juga dikemukakan Nabilah Lubis, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hamzah Fansuri dinilainya merupakan pujangga Islam populer di masanya. Nada dan contoh-contoh syair Hamzah Fansuri menjadi teladan bagi sastrawan lainnya. Tidak sebatas pada abad XVII-XVIII, melainkan juga sampai abad XX. Sejumlah penulis zaman modern juga mengambil semangat dari syair-syair Hamzah Fansuri, sebut saja seperti karya Sanusi Pane dan Amir Hamzah.

Hamzah Fansuri berasal dari Barus, Sumatera Utara, dan kemunculannya dikenal pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah di Aceh pada penghujung abad XVI (1588-1604). Hamzah Fansuri merupakan pelopor di bidang kesusastraan dan spiritual. Syair-syair Hamzah Fansuri tercatat antara lain dalam buku Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, dan Syair Perahu. Ia juga menulis kitab-kitab bahasa Arab dan Persia sebagai buku telaahnya.

Menurut Achdiati Ikram, guru besar filologi yang banyak menelaah bidang sastra Melayu dari Universitas Indonesia, Persia memang memberi pengaruh luas dan mendalam pada kebudayaan Islam. Pengaruh ini baik dalam bidang etika, estetika, spiritual, dan material. Bahkan, penyerapan unsur Persia sedemikian menyatu sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam. Di Nusantara, pengaruh itu terasa kental di bidang kesusastraan.

Banyak tema dalam hikayat (sastra khas Melayu) yang diambil dari sastra Persia, seperti terdapat dalam Hikayat Indraputra, suatu hikayat yang digemari dan tersebar dalam berbagai sastra Nusantara. Bagitu juga Taj al-Salatin (Mahkota Raja-Raja) yang mengandung unsur Persia lantaran berisi bagian yang menetapkan syarat bagai raja yang baik menurut model Persia.

Pengaruh Persia di bidang ilmu pemerintah dapat dilihat pula dalam karangan Raja Ali Haji dari abad XIX, yaitu Thammarat al- Muhimmah, yang menggambarkan sifat dan kewajiban raja ideal sesuai dasar kerajaan di Persia.

Hubungan dekat

Claude Guillot, peneliti asal Perancis yang menjadi pembicara kunci dalam seminar, mengungkapkan bahwa orang Persia punya peran utama dalam hubungan bagian timur dan barat Asia melalui Jalan Sutra. "Pada abad V terdapat permukiman orang Persia di Semenanjung Melayu," ujarnya.

Di Nusantara, barang-barang seperti mangkok, piring, pecah belah berglasir, dan benda-benda lain asal Persia dari abad VIII-XV banyak ditemukan di banyak situs di bagian barat Nusantara. Selain itu, pada abad XV, bahasa Persia juga digunakan oleh golongan terpelajar di kota pelabuhan besar di Sumatera, seperti Pasai dan Barus. "Hubungan dagang, agama, dan budaya yang erat membuat pengaruh Persia tidak dapat diremehkan lantaran ikut menentukan unsur yang mewarnai Melayu," kata Claude.

Bagi Amir Abdolli, Atase Kebudayaan dan Pendidikan Republik Islam Iran untuk Indonesia, hubungan Iran-Indonesia saat ini perlu terus ditingkatkan, baik dari aspek kebudayaan dan pendidikan maupun di bidang ekonomi. "Dalam bidang pendidikan telah dilaksanakan tukar-menukar mahasiswa antarperguruan tinggi di kedua negara. Dijadwalkan pula pembukaan kursus bahasa Indonesia di Universitas Teheran," katanya. (INE)

Sumber: Kompas, Kamis, 29 Maret 2007

Pembangunan Budaya Harus Direvitalisasi

[JAKARTA] Pembangunan budaya sudah saatnya direvitalisasi, antara lain dengan pembangunan karakter. Dengan demikian, bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh, kuat dan rasional serta tidak cengeng.

Pernyataan tersebut dikemukakan Presiden Yudhoyono ketika meresmikan pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, di Istana Negara, Selasa (27/3). "Saya ingin bangsa kita menjadi bangsa yang tangguh, bukan bangsa yang cengeng, bangsa yang mudah mengeluh, bangsa yang mudah menyalahkan, bangsa yang tidak rasional. Saya ingin yang kuat, karakter yang tangguh. Bangsa yang optimis dan percaya diri," kata Presiden yang didampingi beberapa menteri dan Ibu Negara, Ani Yudhoyono.

Jika bangsa lain bisa maju, Presiden Yudhoyono juga yakin, bangsa Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama. "Kalau Malaysia dan negara Asean lain bisa maju, kita bisa maju. India, China bisa maju meski persoalan banyak, kita juga sama," kata Presiden.

Begitu juga dalam membangun pariwisata, menurut Presiden tidak cukup dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, meski diakuinya, kontribusi sektor pariwisata bagi kebangkitan ekonomi juga diharapkan. "Tetapi yang pertama, pengembangan pariwisata ditujukan untuk citra, kebanggaan dan kebesaran kita sebagai bangsa, sebagai manifes kita terhadap pemberian Tuhan," katanya.

Di negara lain, pengelolaan pariwisata dilakukan dengan serius, dan dikaitkan dengan budaya bangsa. Saatnya melakukan revitalisasi sektor ini dengan memperbaiki sektor lain, karena sektor pariwisata bergantung pada sektor lain.

Diharapkan pada 20 atau 30 tahun lain, pariwisata harus mampu menjadi kontributor yang penting dan bahkan menjadi sumber ekonomi nasional. Sebagai contoh, Amerika Serikat memperoleh pendapatannya dari sektor pariwisata sebesar US$ 200 miliar per tahun. Begitu juga negara-negara lain seperti Tiongkok dan sebagian negara-negara di Eropa.

Untuk itu, memang perlu dukungan dari sektor lain, di antaranya sektor transportasi harus menjadi baik , peningkatan keamanan, keselamatan, kebersihan, kemudahan visa, infrastruktur dan sektor lain. Industri kecil dan menengah di bidang kerajinan juga harus dioptimalkan dan yang sangat penting adalah budaya ramah dan santun bangsa ini, yang disebutnya menurun akhir-akhir ini.

Pada pokoknya, menurut pandangan Presiden, banyak hal yang harus dibenahi agar sektor pariwisata benar-benar dapat menjadi andalan ekonomi negeri ini. Selain hal yang lebih fundamental, yakni budaya bangsa ini yang menjadi landasan bagi pembangunan semua sektor.[Y-3]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 Maret 2007

Esai: Ketidakpercayaan pada Kebudayaan

-- Mudji Sutrisno*

KEKUATAN hakiki kebudayaan adalah kemampuannya merawat dan merayakan kehidupan yang dirangkum dalam sistem nilai.

Hakiki karena ia menjadi sumber dari pembahasaan hukum, aturan, norma, perilaku bagi masyarakat yang berada di dalamnya. Inspirasi itu ditafsirkan dan dituangkan dalam sebuah produk kebudayaan sehingga mudah dicerna sebagai pedoman ketika manusia sedang menghadapi tantangan dan bencana.

Kebudayaan acap digunakan sebagai acuan nilai yang dimaknai untuk terus hidup mengalami krisis, entah karena bencana alam entah karena situasi kaos, sehingga orang punya pegangan dalam melakoni kehidupan.

Tetapi karena kebudayaan merupakan pergulatan kehidupan, sistem nilai tersebut terus-menerus mengalami perubahan. Manusia bergerak, demikian pula kebudayaan.

Dalam konteks itu, muncullah situasi negatif karena dalam kebudayaan juga terkandung ketidakpastian, sedangkan manusia menggunakan kebudayaan itu digunakannya sebagai acuan dalam menghadapi ketidakpastian dalam perubahan.

Situasi negatif ditandai tiga ciri sosial. Pertama, retak pecahnya modal sosial, dalam hal ini trust (kemampuan masyarakat memercayai sesamanya dan menaruh sebagian hidupnya pada tanggung jawab orang lain).

Sebagian besar hidup bersama memang mengandaikan sikap mau memercayai sesama dan memercayakan sepotong kehidupan pada tanggung jawab sesama, mulai dari warga bila naik pesawat memercayakan diri pada tanggung jawab pilot dan maskapai penerbangan. Atau orang dalam libur atau bepergian keluar kota memercayakan diri ketika naik kereta api pada masinis dan perusahaan kereta api.

Kedua, ketika masyarakat memberikan kepercayaan kepada negara untuk keselamatan dan rasa aman tidak menemukan jaminan keamanan meskipun pajak dan kewajiban masyarakat terhadap negara sudah dilaksanakan, di sana negara harus melindungi dihargainya dan dijaminnya kemanusiaan tiap warga dalam keselamatannya.

Bila itu tidak terjadi, yang punya uang akan membuat sistem pengamanan sendiri dengan membayar para preman menjadi pelindungnya. Keadaan ini telah terjadi sebagai awal munculnya mafia di Sicilia awal abad 19 dan diteruskan dengan sistem lebih canggih di Amerika Serikat untuk kejahatan-kejahatan internasional, mulai dari judi, narkoba sampai pembunuhan politik.

Di dalam masyarakat kecil, ketiadaan jaminan pasti hukum keamanan menghasilkan anarki (siapa kuat, dia yang menang) dan aparat resmi tidak mampu menangani mereka karena krisis ketidakpercayaan pada negara dalam menjaga keamanan warganya.

Ketiga, sumber-sumber pengabsah untuk kelakuan baik, sopan santun, dan perilaku menghormati sesama manusia sebagai saudara, yaitu agama, tradisi lokal, dan guru-guru adat telah mengalami krisis fungsi karena materialisasi, formalisasi, dan politisasi.

Artinya, sumber nilai yang berasal dari wahyu Tuhan untuk hidup baik sudah ditafsirkan untuk kepentingan politik kotak-kotak agama dan atas nama kebenaran agama, umat dipolitisasi dalam kelompok 'kami' berhadapan dengan 'mereka' untuk merebut kursi politis dan pemenangan kelompok mayoritas versus minoritas, ketika kontrak pendiri bangsa yang terhormat dari penyusun keindonesiaan yang majemuk direduksi dalam konstitusi negara yang meminggirkan kaum minoritas karena beda agama, beda suku, ataupun beda golongan.

***

Di sisi lain, hidup yang multidimensi dan kaya nuansa nilai telah direduksi menjadi hanya berharga bila ditukar dengan uang dan hanya berharga bila menjadi komoditas pasar.

Kondisi itu ikut mempercepat ekonomisasi di semua lini nilai-nilai hakiki. Akibatnya nilai-nilai spiritualitas kerohanian menjadi tidak menarik karena kalah bersaing dengan panggilan basic instinct untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat duniawi.

Ini artinya manusia telah terjebak dan dijebakkan pada hasrat untuk memuaskan naluri dasariah. Hal tulah yang diperebutkan dan muncul dengan wajah perebutan syahwat politik dan menendang keluar nilai etis berpolitik dan hanya menjadi kendaraan untuk berkuasa.

Dalam hal ini F Nietzche telah lama mengingatkan bahwa dalam hidup ini yang menentukan bukanlah renung hening budi apollonian, tetapi hasrat berkuasa (the will to power) dionisian yang menggelegak minta terus dipuaskan demi survival of life.

Krisis saling percaya pada sesama yang dimulai dari pengkhianatan ketiadaan tanggung jawab pada yang dipercayakan di tangan para profesional yang ceroboh, dari bencana alam, bencana transportasi udara, laut, sampai saling lempar tanggung jawab dan pengkhianatan kecerobohan Lapindo.

Kecerobohan itu telah melempar orang-orang kecil sebagai korban dengan macam-macam rasionalisasi dan pembenaran karena lebih kuat posisi kuasa dan lebih tega membenamkan orang-orang kecil tak berdosa, bahkan mau cuci tanggung jawab dengan mengakali terus ganti rugi yang harus ditanggungjawabi.

Lebih tega dan menikam jantung para korban berdarah-darah manakala dengan kelicikan rasionalisasi, menggeser tanggung jawab profesi ke tanggung jawab bencana nasional, sampai pada kemampuan memakai gubernur dan bukan Lapindo sendiri yang berhadapan dan secara jantan berunding dengan rakyat untuk mempertanggungjawabkan kecerobohannya.

Luka-luka situasi negatif itu, ditambah dengan kegetiran hidup lain seperti kenaikan harga BBM dan kelaparan yang mendera sebagai besar rakyat sehingga mereka makan nasi aking, telah mengeringkan harapan rakyat kepada pemerintah.

Terlalu lebar menyakitkan jurang antara janji-janji dan ritus formal serbaupacara dan indah para penanggung jawab pemerintahan, dengan kesulitan makan dan tidak berjalannya ekonomi kecil karena yang tampil habisnya warung-warung makan kecil dan pasar tradisional digusur mal-mal serta swalayan segala macam mart global sehingga kantong-kantong tipis rakyat kecil semakin tipis.

Dalam situasi tertimpa bencana banjir di Jakarta, ternyata janji Rp1 miliar untuk para korban tidak mungkin sampai dan tidak akan sampai karena bersyaratkan tiga hal, yaitu harus punya surat legal berdomisili, harus berada 7 meter di pinggir bantaran sungai, dan harus ada surat resmi RT-RW setempat untuk rumah-rumah yang hanyut.

Akibatnya yang paling menderita sebagai korban tidak mendapat dan tidak akan pernah mendapat ganti rugi dan bantuan yang dijanjikan dengan tebaran media massa dan buih-buih sang pengucapnya karena fakta kebenaran lapangan di pihak korban tidak tersentuh.

Fenomena-fenomena tersebut, bila dibaca dalam kacamata keseharian suka dan duka kehidupan yang dimaknai (baca: kebudayaan), langsung bacaannya adalah nestapa.

Kepahitan yang memunculkan frustrasi hidup dan jalan buntu kehidupan yang akhir-akhir ini memunculkan jalan cepat mengatasinya dengan bunuh dirinya seorang ibu dan anak-anak, gantung diri pegawai kecil di perbatasan Depok, dan gantung diri TKW yang baru saja pulang karena menganggur.

Itu semua ungkapan krisis acuan bahwa hidup harian tidak bernilai lagi. Hidup harian tidak menemukan celah ruang bercahaya atau lorong terang sekecil pun dalam kosmologi dunia gelap penghayatan hidup yang diteriakkan dengan menjerit-jerit ketika gerobak-gerobak mereka yang mencoba mandiri tanpa bantuan pemda berjualan untuk menyambung hidup di kaki lima malah diangkuti, dipukuli kurus kering tubuhnya, dan dilabrak dihancurkan dagangannya atas nama kebersihan kota.

Di mana berada roh para guru bangsa yang sudah lama mengingatkan prioritas mimpi besar negara kesejahteraan, pendidikan, pencerahan budi dan nurani merdeka dari mentalitas budak kuli dalam kemandirian Indonesia merdeka?

Tantangan merajut lagi saling memercayai dalam praktik nyata mewujudkan sila keadilan di bidang ekonomi dan hukum serta sila kemanusiaan menjadi ujian di depan mata yang tidak bisa ditunda-tunda lagi kalau keindonesiaan tidak mau lenyap.

Untuk itu, keteladanan dan ketulusan mewujudkannya sungguh-sungguh merupakan satu-satunya legitimasi bagi pemerintah sekarang karena krisis kita sudah akut secara kebudayaan, yaitu distrust yang berwajah saling memaki, lempar tanggung jawab, tidak peduli korban, tuli mendengarkan suara orang kecil dan buta membaca krisis acuan nilai hidup bersama kita.

Bangsa ini harus segera bangun untuk kembali merajut nilai-nilai kemanusiaan yang ditegakan untuk dikorbankan dan tidak diambil peduli sehingga homo homini socius (manusia adalah rekan sesama hidup) berada dalam saling menjegal dan mengolok serta tega mengorbankan sesama dalam homo homini lupus (manusia adalah serigala yang saling berebut dan mengerkah untuk sintas).

* Mudji Sutrisno, Budayawan tinggal di Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 29 Maret 2007

Wednesday, March 28, 2007

Esai: 'Recode' (Kultur) Keindonesiaan

-- Zacky Khairul Umam*

"Indonesia pada abad ke-21 akan menjadi negara maju dan sejahtera. Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, produktif, memiliki daya saing, serta mampu mengelola seluruh kekayaan alam dan sumber daya lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang." Itu pernyataan Presiden Yudhoyono (22/3) menanggapi kerangka dasar Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan resmi di Istana Negara yang dihadiri ratusan pejabat, elite, dan tokoh nasional.

Capaian yang dinyatakan dalam Visi Indonesia 2030, meliputi empat hal, yakni pertama, Indonesia akan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar US$18 ribu per tahun. Itu berarti Indonesia berada di posisi setelah China, India, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia akan masuk daftar 500 perusahaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang berkelanjutan. Dan keempat, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata.

Visi Indonesia 2030 itu baru sekedar impian ekonomi pembangunan bangsa. Tentu saja hal itu bukan diletakkan sebagai gebrakan semata, melainkan sebagai komitmen bersama melalui aksi strategis yang menyeluruh. Optimisme bangsa harus diletakkan sebagai prakondisi yang mutlak. Tujuan utama yang dicapai sesungguhnya ekuivalen dengan tujuan pembangunan milenium (MDGs) dan/atau pembangunan berkelanjutan mondial, terutama masalah pemberantasan kemiskinan menuju taraf kesejahteraan bangsa.

Landasan ekonomi yang kuat atau berdikari (berdiri di atas kaki sendiri ala Soekarno) merupakan syarat bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Roda perekonomian menjadi semacam 'hukum besi' bagi fundamen kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, betapapun pentingnya landasan ekonomi yang kuat, harus ada elemen yang lebih mendasar untuk memacu perubahan kebangsaan. Ibaratnya, jika ekonomi ialah bagian dari perangkat keras, perangkat lunaknya pun harus diubah, ditransformasikan, dan dibentuk dalam cita-cita kemajuan.

Yakni, sebuah karakter atau watak kultural kebangsaan yang menjadi struktur bawah sadar yang menentukan sifat alamiah bangsa itu sendiri. Karakter kultural itu tidak dapat dikuantifikasi maju atau tidaknya, sebagaimana ukuran digital yang jelas laiknya kita memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Standarisasi perubahan yang masuk wilayah kebudayaan tidak bisa direduksi dalam deretan angka yang bersifat linier/positivistik. Apalagi di saat langgam perubahan banyak dipengaruhi logika ekonomi hasrat (libidinal economy), kesadaran untuk mewaspadainya dalam ruang kultural mesti dilakukan justru untuk menghindari klaim ekonomis dari kemajuan kebudayaan bangsa.

Yang saya maksud dengan karakter sebagai perangkat lunak ini merupakan agregat dari berbagai kemajemukan (baca: multikulturalisme) yang tidak bisa diukur secara pukul rata antaridentitas kultural yang berbeda. Oleh karena itu, nation character building sesungguhnya bukan rencana pembangunan yang dominatif dan hegemonik. Ukuran-ukuran kemajuan kebudayaan justru bersifat nisbi dan partikular.

Dalam komunitasnya yang partikular, manusia bertindak sebagai subyek, 'sang pencari makna hidup', yang tidak bisa disubordinasi oleh (politik/strategi) kebudayaan yang adiluhung. Dengan kata lain, manusia menjadi peziarah nilai hidup yang dirajut untuk menjalani hidup dalam tingkatan-tingkatan common sense (akal sehat), ilmu pengetahuan, estetika, dan agama. Hal itu harus disadari untuk menafsir kaitan antara kapital, tekonologi informasi, dan hasrat ekonomi konsumtif dalam dinamika kebudayaan kini (Mudji Sutrisno, 2007).

Multikulturalisme memberikan pemahaman bahwa hakikat kebudayaan yang eksistensial justru terletak pada bagaimana membiarkan dinamika berjalan tanpa melalui suprastruktur politis atau kekuasaan yang terlampau bertindak sebagai panoptikon yang mengawasi berbagai aspek. Kenyataan multikultur mesti disadari sebagai labirin bagi kehidupan yang saling mengisi, bukan mengontrol dan menghakimi.

Aspek kehidupan sosial kultural itu yang harusnya juga diperhatikan. Pluralisme yang kini berkembang hanya sebatas pada pengakuan koeksisten atas kemajemukan dan mesti dikembangkan lebih lanjut untuk menopang kesadaran proeksisten dalam struktur masyarakat multikultural.

Menafsir peradaban keindonesiaan, oleh karenanya, berarti menafsir tentang beribu isi kepala masyarakat Indonesia dalam menentukan nilai yang selalu bersifat dinamis. Kini, perdebatan tentang hakikat esensial kebudayaan, seperti polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane era 1930-an, tidak lagi substansial. Justru yang lebih penting ialah prinsip dinamika itu sendiri yang tidak hadir melalui perspektif esensialitas yang selalu bersifat tunggal, monolitik, dan sebangun.

Dan di tengah arus informasi yang amat cepat, yang diperlukan ialah kesadaran dan kewaspadaan dalam melakukan filter dan pemilahan, karena yang hadir ialah pertautan simbolik yang semu. Antara nilai-nilai kebaikan dan keburukan sudah bercampur sedemikian rupa sehingga kita sering terkecoh dalam hiperrealitas yang menipu. Kewaspadaan---mungkin melalui nilai-nilai kearifan lokal, agama, atau akal sehat---mutlak menjadi wahana kolektif bangsa di tengah pendulum kapitalisme lanjut yang merambah relung-relung kebudayaan kita. Yang baik justru tidak terserap pada simulakra simbolik dari berbagai realitas yang semu, seperti konsumerisme, dan selebihnya mampu menyerap makna hidup dari deretan informasi yang masuk kehidupan sehari-hari.

Praktis, dari setiap diri kita, tidak lekang dari pengaruh faktor-faktor ekonomis yang selalu berusaha menyaingi kebudayaan kita. Atau lebih khususnya lagi, kadang kita terjebak dalam menentukan sesuatu melalui ukuran-ukuran yang konsumeristik tanpa mau bersusah payah mempertahankan kebersahajaan dan prinsip hidup yang cukup. Sistem kapital yang merambah dengan strategi-strategi monopolistik hadir mempengaruhi cara berpikir masyarakat tentang pentingnya hasrat kapital yang instan persis tanpa mau berpikir panjang akibat buruknya.

Untuk itu, perlu kita renungkan bahwa setiap hari, bahkan setiap detik, ruang kebudayaan kita (baca: cara mencari makna hidup) padat dipenuhi gegap gempita informasi yang berjejal dan tatkala tidak diwaspadai, ruang refleksi sosial menjadi tumpul.

Memenuhi Visi Indonesia 2030 itu, aspek kultural tidak bisa diprioritaskan paling belakang. Kalau perlu diurutkan dalam agenda primer. Sehingga, penting membentuk habitus baru. Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Pierre Bourdieu, dan Haryatmoko, 2007)

Mentransformasi habitus berarti mentransformasi kultur peradaban. Habitus corruptio, misalnya, harus diubah sebagai sebuah sesat moral dan defisit sosial. Bangsa yang baik tumbuh besar melalui komitmen publik untuk menghindari pelbagai kejahatan, karena ada sebuah kaidah yang menyatakan corruptio optimi pessima (kejahatan oleh orang baik merupakan kejahatan yang terburuk). Habitus yang lebih penting ialah memelihara etos kebudayaan sebagai aspek immaterial bagi spirit etik kemajuan bangsa.

Jadi, ekonomi pembangunan pada Visi Indonesia 2030 bukan satu-satunya pilar kemajuan bangsa, sementara pilar fundamental karakter kebangsaan dan kewargaan dikesampingkan. Akan menjadi lebih paradoks lagi tatkala etos pertumbuhan ekonomi dipakai untuk meneropong etos kebudayaan multikultural yang jelas-jelas tidak membutuhkan deretan angka-angka.

* Zacky Khairul Umam, peneliti di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya UI, Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Maret 2007

Tuesday, March 27, 2007

Kumpulan Cerpen dari Kudus

 Oleh Anita Retno Lestari

 

BARU-BARU ini Gapuraja Media, sebuah penerbit yang tergolong baru di Kudus, telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul The Regala 204B. Peristiwa ini sangat menarik karena sejak dulu Kudus dikenal sebagai kota kretek yang cenderung materialistis sehingga nyaris “alergi” terhadap kesusastraan.


The Regala 204B, kumpulan cerpen (2007).
Memang, di Kudus ada Keluarga Penulis Kudus (KPK) yang berdiri pada awal dekade 90-an, tetapi sampai sekarang hanya menghasilkan buku-buku tipis kumpulan  puisi untuk kalangan sendiri. Padahal, KPK memiliki anggota yang produktif menulis puisi seperti Mukti Sutarman Espe. Nama ini sampai sekarang belum juga berani menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal, padahal sudah ratusan puisi dipublikasikan di berbagai media cetak.

Di Kudus juga ada penulis produktif Maria Magdalena Bhoernomo yang telah menulis sekitar 1.000 judul cerpen. Penulis ini justru gembira dengan terbitnya kumpulan cerpen tersebut, yang tidak memuat satu pun karyanya. Menurut dia, hal ini layak disyukuri karena bisa menjadi bukti bahwa ada penerbit di Kudus yang lebih suka menerbitkan karya penulis-penulis daerah lain sehingga dengan demikian akan membangkitkan interaksi budaya yang lebih luas.

Buku kumpulan cerpen tersebut memuat 11 judul cerpen  karya Indarpati, Nera Andiyanti, Anita Kristianasari, St Fatimah, Abdullah Khusairi, Joko Nugroho, Fitri Mayani, Ragdi F Daye, Sunly Thomas Alexander, Nursalam  AR, dan Udo Z Karzi. Nama-nama ini merupakan penulis muda. Kata pengantarnya ditulis oleh Profesor Arief Budiman. Sementara, cerpenis Semarang S Prasetyo Utomo sebagai penyeleksi.

Buku kumpulan cerpen tersebut konon dipersembahkan untuk kaum marjinal, maka cerpen-cerpen yang dimuat memiliki tema-tema mengenai kehidupan seputar kaum marjinal. Dan menurut pihak penerbit, sebagian hasil penerbitannya akan disumbangkan untuk kaum yang membutuhkannya. Hal ini menujukkan optimisme penerbit yang luar biasa, tetapi mungkin akan terkesan sumir bagi telinga kalangan penerbit di daerah lain yang sering kecewa karena usahanya menerbitkan buku-buku sastra (khususnya kumpulan cerpen) selalu merugi.

Terbitnya buku kumpulan cerpen di Kudus tersebut layak dicatat karena terkesan berani mengambil risiko rugi dengan bermodalkan optimisme meraup untung yang akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan. Meski terkesan sumir, hal ini harus dihargai. Sebab, di banyak daerah, sudah banyak penerbit yang merugi menerbitkan buku kumpulan cerpen, kecuali penulisnya selebriti dengan dukungan promosi yang gencar dan melibatkan berbagai macam sponsor.

Jika dikaitkan dengan perkembangan kesusastraan Indonesia, usaha penerbitan buku  kumpulan  cerpen  patut mendapat respons positif bagi kalangan guru sastra dan mahasiswa fakultas sastra, karena bisa memperkaya perpustakaan pribadinya. Mungkin karena itulah, dalam catatan untuk buku kumpulan cerpen  tersebut, pihak penerbit menyebut sejumlah tokoh dan lembaga pendidikan yang ada di Jawa Tengah.

Maksudnya, mungkin hendak menyapa banyak pihak agar bersedia mendukung penerbitan buku kumpulan cerpen  tersebut. Pada saat ini, memang banyak orang membeli buku dengan maksud membantu pihak penerbitnya, atau tidak untuk dibaca sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika ada tokoh politik misalnya yang tiba-tiba membeli sekian eksemplar buku untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan anak buahnya.

Adanya pihak yang bersedia belanja banyak buku, tentu akan mendukung perkembangan penerbitan buku (khususnya buku sastra), apalagi jika hal ini bisa menjadi tradisi atau fenomena baru di tengah masyarakat kita. Dengan demikian, sikap optimisme penerbit buku kumpulan cerpen tersebut bisa jadi tidak perlu dianggap sumir karena tujuannya memang hendak mentradisikan belanja buku besar- besaran untuk dibagi-bagikan kepada kolega atau komunitasnya. Misalnya, tujuan ingin menyumbangkan sebagian hasil penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut bisa benar-benar terwujud jika misalnya Bupati Kudus dan seluruh anggota DPRD Kudus serta kalangan pengusaha rokok di Kudus bersedia membeli sekian ribu eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan warga Kudus yang miskin agar mereka juga bisa mengenal karya sastra yang temanya seputar kehidupan mereka yang notabene marjinal.

Dan, akan lebih hebat lagi jika misalnya Gubernur Jateng bersama jajaran eksekutif dan legislatif serta rektor-rektor perguruan tinggi di Jawa Tengah juga bersedia membeli buku kumpulan cerpen tersebut untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak jalanan dan kaum gelandangan yang begitu banyak di sudut-sudut Kota Semarang.

Memang, yang terpapar di atas bisa jadi masih merupakan impian, tetapi bukan tidak mungkin benar-benar menjadi kenyataan jika pihak penerbit buku kumpulan cerpen tersebut sangat bersemangat ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan yang sebagian akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.

Dalam ranah sastra, segala impian selalu sah-sah saja untuk dikemas menjadi sesuatu yang menimbulkan optimisme. Dan jika menilik data empiris, setiap dekade selalu bermunculan banyak orang yang ingin mewujudkan impiannya dengan karya sastra. Misalnya, selalu saja ada penulis dan penerbit yang bersemangat menerbitkan karya- karya sastra, meskipun pada akhirnya harus gigit jari. Hal ini sudah menjadi fenomena klasik.

Oleh karena itu, jika misalnya penerbit kumpulan  cerpen tersebut merugi, mungkin tidak akan membuatnya kapok. Namanya saja usaha, segalanya harus dicoba. Untung dan buntung itu risiko logis. Maka, ada baiknya setiap penerbit memang sudah memperhitungkan semua risiko yang bakal terjadi.

Dan, untuk mencegah buntung, penerbit buku-buku sastra memang seharusnya didukung modal finansial dan modal sosial. Yang dimaksud modal finansial adalah biaya penerbitan yang berasal dari banyak kalangan. Sementara, yang dimaksud modal sosial adalah dukungan masyarakat luas yang bersedia membeli dan membaca buku.

Modal finansial dan modal sosial harus sama-sama mendukung penerbitan buku-buku sastra semacam buku kumpulan cerpen  tersebut, agar sastra kita tidak selamanya terasing di negeri sendiri. []

 

------------------ 
Anita Retno Lestari,Penggiat Komunitas Sastradipati dan Kelompok Studi Humaniora Tinggal di Pati, Jawa Tengah.

 

Sumber: Kompas, 38 Maret 2007

Monday, March 26, 2007

Dalam Sastra, Perempuan Masih Tertindas

BANYAK karya-karya sastra masih menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut membuat pencitraan negatif pada perempuan. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis terlibat dalam kekerasan, penindasan, perkosaan, dan pengucilan.

Di sisi lain, sebenarnya ada banyak jalan bagi perempuan untuk "melawan". Jalan cerita perceraian atau pemurtadan, bisa saja dilakukan penulis perempuan. Perlawanan itu mungkin berhasil, bisa juga tidak, meski pada akhirnya nan- ti sangat menyakitkan. Pada akhirnya perempuan menjadi apologetik.

Demikian disampaikan Novelis Ayu Utami, dalam diskusi bertemakan "Perempuan dan Agama dalam Sastra, Pengalaman Indonesia dan Kanada" di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (22/3). Selain Ayu Utami, diskusi ini juga menampilkan nara sumber : Camilla Gibb, penulis Sweetness in The Belly, Abidah El Khaliqy, penulis Geni Jora dan Kritikus Sastra Maman S Mahayana.

Selain apologetik, kata Ayu, perempuan dapat mencari pembenaran atas nilai- nilai kebenaran. Tetapi perempuan terkadang berusaha menghindar, pergi dari lingkungannya, melancarkan kritis halus, atau mengambil sikap tanpa kejelasan.

Di luar dugaan, dalam karya sastra, ada pilihan yang makin kompleks. Menginternalisasi penindasan untuk membuatnya menjadi fetis. Masokisme membuat penindasan menjadi erotis.

Di sisi lain, dalam apologisme, penindasan tidak diakui sebagai penindasan. Penindasan menjadi indah. Misalnya, novel erotis klasik The Story of O, yang mengisahkan perempuan bernama O. Penulisnya seorang perempuan bernama Pauline Reage, perempuan tokoh sastra dan jurnalis.

Tokoh O diserahkan oleh kekasihnya ke sebuah klub rahasia di Paris, untuk menjadi pelayan seks. Di klub itu, O jatuh ke tangan lelaki separuh baya. Kisah di balik ini merupakan roman, perempuan ditempatkan menjadi sebuah bayangan. Kekasih yang lelaki adalah tokoh utamanya.

Menurut Ayu Utami, sejak Sutan Takdir Alisyabana hingga Pramoedya Ananta Toer, sastra di Indonesia telah dibebani banyak tuntutan atas tema-tema universal. Penulis perempuan tidak banyak dikenal dan jumlahnya tidak sebanyak penulis laki- laki.

Ayu berpendapat penulis perempuan muncul di tepian, membawa sebuah persoalan interior, kegalauan tubuhnya sendiri, seperti Frida Kahlo terhadap Diego Riviera. Takdir berkata lain, seakan menawarkan modernisme barat.

Pramoedya mengusung agama baru, humanisme universal. Tidak satu pun roman besar bertema besar yang dituliskan perempuan dapat dikenang saat ini. Pemikir emansipasi, penulis kebangsaan hanyalah Kartini.

Di Indonesia, penulis perempuan tidak datang dengan perkara politik keras. Marianne Katoppo dan NH Dini, mempelopori tema feminis dalam sastra. Selain itu, ada segelintir nama lain lagi, misalnya, Mira W dan Marga T.

Penulis perempuan lebih cenderung dengan kisah-kisah romantis, yang tokoh -tokohnya nyaris tidak mempunyai latar sosial budaya yang begitu spesifik. Ayu Utami menulis ketika polemik kebudayaan telah lama lewat.

"Perdebatan seni untuk seni dan politik sebagai panglima telah usang, sebab banyak orang mulai mengetahui, bahwa hal itu bukan menjadi suatu pilihan. Gara-gara postmodernisme, orang mulai meragukan wacana besar," katanya.

Pertanyaan yang muncul, bagaimana pengarang perempuan mampu menyikapi problem kaumnya, begitu rumit dan kompleks tersebut?

Menurut kritikus sastra Maman S Mahayana, persoalan seks yang diangkat sebagai tema cerita merupakan salah satu bagian dari problem perempuan yang maha kompleks. Ada persoalan yang sebenarnya jauh lebih mendasar, yaitu pembongkaran pada akar masalah. Misalnya, kebudayaan dan agama harus diterjemahkan sebagaimana mestinya.

"Fenomena yang bisa dianggap semacam gerakan dalam sastra Indonesia diperlihatkan para novelis perempuan Indonesia pasca-Saman Ayu Utami. Jika Nh Dini dan Titis Basino sebagai penulis senior berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya," katanya.

Maman menambahkan Dewi Lestari lewat Suypernova (2001) juga berhasil memahatkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia. Dia memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Berikutnya, muncul pula Fira Basuki yang mengeluarkan novel Jendela-jendela (2001). Nama Fira ikut melengkapi peta novelis perempuan Indonesia.

Oleh karena itu, sastrawan perempuan Indonesia harus dapat mengangkat tema -tema yang bersumber dan bermuara dari problem gender. Sastrawan perempuan harus memperlihatkan kemampuannya.

Sastrawan perempuan harus mampu mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosiokultural yang ada. Tanpa pendalaman keberagaman kultural, karya-karya mereka hanya dicatat sebagai karya yang baik, bukan monumental. [AHS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 26 Maret 2007

Pelarangan Buku Teks: Kontroversi Sejarah dan "Kurikulum Eksperimen"

-- Suparman*

ADA apa lagi dengan kurikulum sejarah? Itulah pertanyaan yang muncul di benak kita ketika mendengar berita terkait pelarangan beredarnya buku-buku teks sejarah untuk SMP-SMA sederajat oleh Kejaksaan Agung.

Sebelum pelarangan itu dilakukan, beberapa waktu lalu kita pun sudah disuguhi pemberitaan terkait diperiksanya kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) oleh Kejaksaan Agung. Pemeriksaan itu dilakukan terkait dengan beredarnya buku sejarah untuk SMP-SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI di belakang penyebutan G 30 S (Gerakan 30 September), salah satu peristiwa sejarah politik yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1965.

Pertanyaan ini wajar muncul karena memang sudah sejak lama pelajaran sejarah di sekolah sering menimbulkan kontroversi. Sebut saja di antaranya keberadaan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang mengundang reaksi. PSPB dinilai sarat dengan kepentingan politik untuk melestarikan kekuasaan Orde Baru melalui penanaman "nilai-nilai" sejarah perjuangan bangsa sejak kemerdekaan sampai masa pemerintahan Orde Baru.

Ada lagi soal konflik dalam penyusunan buku babon setebal enam jilid berjudul Sejarah Nasional Indonesia, yang berakhir dengan mundurnya beberapa sejarawan penulisnya yang ingin tetap mempertahankan prinsip akademis daripada harus mengikuti kemauan penguasa. (Asvi Warman Adam, Pengantar dalam Berpikir Historis, 2006).

Kontroversi lain juga muncul ketika orang mulai mempertanyakan kembali otentisitas naskah Supersemar yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, menjelang terjadinya peralihan kekuasaan, yang disinyalir bukan naskah asli dan isinya tidak memuat apa yang sesungguhnya dikehendaki Soekarno saat itu.

Dan, beberapa waktu, hangat pula dibicarakan seputar buku Habibie yang mengundang kontroversi baru karena mengungkapkan fakta yang dibantah oleh Prabowo sebagai salah satu pelaku sejarah dalam peristiwa yang dikisahkan Habibie di dalam bukunya tersebut.

Masih banyak contoh lainnya yang bisa disebutkan. Di antaranya yang agak ringan dan sempat menghiasi kontroversi pelajaran sejarah adalah soal pembabakan sejarah, soal perbedaan orientasi dalam pendidikan sejarah dan padatnya materi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sampai soal keaslian wajah Gajah Mada yang bertahun-tahun sempat akrab di benak kita sejak SD.

Permintaan Mendiknas


Kontroversi kurikulum sejarah saat ini yang terungkap setelah adanya pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas, dan dilanjutkan dengan pelarangan terhadap sejumlah buku-buku pelajaran sejarah menarik untuk kita cermati.

Peristiwa tersebut bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah tingkat SMP sampai SMA sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI pada penyebutan G 30 S. Buku-buku itu dinilai tidak sesuai dengan kurikulum. Kejaksaan Agung sendiri menyebutkan bahwa pemeriksaan ini sebagai bagian dari prosedur untuk memastikan apakah buku-buku tersebut memiliki potensi mengganggu ketertiban umum atau tidak (Kompas, 16 September 2006).

Pertanyaannya sekarang, salahkah para penyusun buku tersebut menghilangkan kata PKI sehingga buku-buku mere- ka harus ditarik dari peredaran? Apakah buku-buku tersebut selama terbitnya telah menim- bulkan gangguan ketertiban umum?

Jika acuannya adalah Kurikulum 2006 yang sah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 yang telah mencantumkan kata PKI pada penyebutan G30 S, maka penyusunan buku tersebut memang patut dipertanyakan, terlepas dari kenyataan bahwa gerakan tersebut secara riil ha- nya menyebutkan gerakannya sebagai G 30 S (Asvi Warman Adam, Kompas, 13 Oktober 2006).

Persoalannya, tidak sedikit buku pelajaran sejarah yang terbit saat itu disusun berdasarkan Kurikulum 2004 yang memang sudah menghilangkan kata PKI. Bahkan, salah satu indikator dari kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik adalah membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September.

Salah satu buku pelajaran sejarah yang terbit di Jakarta untuk siswa SLTA kelas 3 dan disusun dengan cara mengikuti versi Kurikulum 2004 telah mengutip beberapa pendapat yang berbeda versinya satu dengan yang lain dalam mengungkap peristiwa G 30 S tersebut. Secara keilmuan buku ini cukup obyektif, artinya ditulis dengan menyertakan lebih dari satu pendapat.

Akan tetapi, persoalannya menjadi semakin rumit ketika Mendiknas menyatakan bahwa Kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen buatan Pusat Kurikulum Depdiknas yang belum disahkan (Kompas, 2 Oktober 2006). Artinya, buku-buku sejarah tersebut dinilai tidak sesuai dengan kurikulum "resmi" yang berlaku saat itu dan saat ini, yaitu Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2006.

Mungkin kita patut mempertanyakan alasan para penyusun buku pelajaran sejarah tersebut, mengapa mereka sampai mengadopsi Kurikulum 2004, yang sebenarnya masih merupakan eksperimen dan belum disahkan.

Akan tetapi, sebelum pertanyaan tersebut bergulir, patut pula kita ajukan pertanyaan mendasar: mengapa Kurikulum 2004 yang masih merupakan eksperimen tersebut telah diterbitkan oleh pusat kurikulum, apalagi disertai dengan kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas? Bagaimana mempertanggungjawabkan kurikulum eksperimen yang dinyatakan belum sah dan terdapat kekeliruan tetapi sudah dilaksanakan di sejumlah sekolah?

Dalam kaitan ini, bukankah Mendiknas wajib mempertanggungjawabkannya kepada publik atas kesalahan eksperimen yang dilakukan pusat kurikulum yang secara struktural berada di bawah tanggung jawabnya? Perlu diingat, eksperimen terhadap kurikulum berarti melakukan eksperimen terhadap jutaan anak-anak Indonesia!

Terlalu berlebihan

Saat ini sejumlah buku sejarah di tingkat SMP-SMA sederajat yang ditulis berdasarkan Kurikulum 2004 telah dilarang oleh Kejaksaan Agung dan wajib ditarik dari peredaran. Sebagai pihak yang berwenang, tentu kita dapat memaklumi tindakan Kejaksaan Agung meneliti dan menyelidiki buku-buku yang "dianggap" dapat mengganggu ketertiban umum.

Hanya saja, kekhawatiran akan terjadinya gangguan ketertiban umum dalam konteks pembelajaran sejarah tentu dapat dikatakan berlebihan. Sebab, kenyataannya materi sejarah tentang peristiwa tahun 1965 yang diajarkan oleh guru-guru sejarah sebenarnya tetap mengacu pada Kurikulum 1994.

Penarikan buku di toko-toko buku tentu tidak berdampak secara psikologis. Akan tetapi, penarikan buku secara tiba-tiba pada anak didik tentu akan berdampak psikologis. Anak akan bertanya, apa yang sedang terjadi pada negara ini sehingga buku sejarah yang sedang mereka pelajari saat ini harus "diambil" dari tangannya. Lalu, bagaimana dengan biaya penggantian buku yang harus mereka beli ulang? Akan- kah ditanggung oleh pemerintah?

Kebijakan Kurikulum 2004 yang berlanjut pada penerbitan buku sejarah berdasarkan "kurikulum eksperimen" tersebut, dan pelarangannya oleh Kejaksaan Agung akan menjadi kontroversi baru dalam dunia pendidikan sejarah di Indonesia.

Tampaknya kurikulum eksperimen inilah yang dinilai oleh sejarawan Asvi Warman Adam sebagai kebijakan pendidikan yang dapat membingungkan masyarakat, murid, dan tentu guru sejarah.

Selain membingungkan, bisa jadi makin menjauhi usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.

* Suparman,
Guru Sejarah di SMA, Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 26 Maret 2007

Opini: Buku PKI, Bahasa Inggris Boleh, Indonesia Jangan

-- Asvi Warman Adam*

PADA 21 Maret 2007 di Jakarta penerbit Equinox meluncurkan cetakan ulang dari seri buku-buku klasik tentang Indonesia yang pernah ditulis oleh orang asing dan Indonesia. Di antaranya karya Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ada dua buah karangan Ben Anderson.

Dua karya orang Indonesia adalah kumpulan hasil seminar yang disunting Sudjatmoko dan disertasi Widjojo Nitisastro tentang sejarah kependudukan di Indonesia. Semuanya dalam bahasa Inggris.

Buku-buku itu dicetak di Indonesia karena beberapa bulan sebelumnya telah dicoba didatangkan dari luar negeri. Namun, buku-buku itu ditahan oleh pihak Bea Cukai karena di antaranya terdapat dua judul mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni The Rice of Indonesian Communism oleh Ruth McVey dan Indonesian Communism Under Soekarno, Ideology, and Politics, 1959-1965 oleh Rex Mortimer.

Acara berbentuk cocktail itu diadakan di toko buku Aksara, Kemang, Jakarta, dengan Widjojo Nitisastro sebagai pembicara tamu. Di luar dugaan pengunjung, tiba-tiba datang Jaksa Agung Abdurrachman Saleh.

Karena sebagian undangan adalah orang asing, Prof Widjojo berpidato dalam bahasa Inggris. Kemudian penerbit Equinox, Mark Hanusz meminta Jaksa Agung maju ke depan untuk menerima buku Ruth McVey dan Rex Mortimer.

Jaksa Agung didaulat untuk berbicara, walaupun ia mengatakan bahasa Inggrisnya kurang bagus dan ia tidak mempersiapkan teks pidato. Menurut Mark, tidak usah berpidato tetapi hanya menjawab pertanyaan, apakah buku Ruth McVey dan Mortimer itu akan dilarang seperti halnya 13 judul buku pelajaran sejarah sejak 5 Maret lalu.

Menurut Abdurrachman Saleh, ia memeriksa buku pelajaran sejarah atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional. Di lain pihak, kedua buku yang ditulis orang asing itu tidak dilarang. Yang menjadi persoalan sebetulnya adalah kedua buku itu memang dalam bahasa Inggris. Tetapi bagaimana kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia? Saya mengetahui sebuah penerbit di Jakarta akan menerbitkan edisi buku Ruth McVey dalam bahasa Indonesia dalam waktu dekat.

Apakah nasibnya akan sama dengan buku Harold Crouch (The Army and Politics in Indonesia) yang bahasa Inggrisnya bisa beredar, namun dilarang Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu diterjemahkan penerbit Sinar Harapan?

Pada pelarangan buku pelajaran dalam konferensi pers 9 Maret 2007, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Muchtar Arifin mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan surat keputusan tertanggal 5 Maret 2007 tentang pelarangan beberapa buku pelajaran sejarah di sekolah.

Terdapat 13 judul buku dari 10 penerbit yang dilarang, antara lain Yudhistira, Erlangga, Grasindo, Ganeca Exact, Esis, dan Galaksi Puspa Mega.

Termasuk yang dilarang Kronik Sejarah Kelas 1 SMP (karangan Anwar Kurnia, diterbitkan Yudhistira), Pengetahuan Sosial, Sejarah (susunan Tugiyono KS, penerbit Grasindo), dan Sejarah Kelas 2 dan Kelas 3 SMP (karangan Matroji, penerbit Erlangga).

Alasan pelarangan buku-buku tersebut antara lain tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan hanya menulis keterlibatan G30S tanpa menyebut PKI pada 1965.

Menurut Muchtar, ''Ini jelas memutarbalikkan fakta dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa." Apabila buku sejarah itu dibiarkan beredar dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum. Sejak 2006, Direktorat Sosial Politik Kejagung meneliti buku sejarah terkait dengan peristiwa politik Indonesia pada 1965.

Bahkan, Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang lama (Dr Siskandar) dan baru (Diah Harianti) juga diperiksa oleh Kejagung. Hal itu dilakukan atas dasar permintaan Mendiknas, Bambang Sudibyo, pada 5 Juli 2005.

Dampak kelembagaan pelarangan itu mengesankan citra lembaga Kejaksaan Agung dan Depdiknas yang tidak profesional. Kenapa Depdiknas tidak menyelesaikan persoalan itu pada internal departemen? Mengapa mengundang Kejagung untuk mengintervensi? Bukankah Mendiknas dapat memanggil bawahannya langsung pada Pusat Kurikulum dan Pusat Perbukuan? Di sisi lain, apakah Kejagung betul sudah membaca buku-buku tersebut? Kalau yang dilarang buku sejarah kelas I SMP, buku itu memang tidak memuat pemberontakan pada 1948 dan 1965.

Pelajaran sejarah pada kelas I SMP membahas kerajaan-kerajaan Nusantara yang dipengaruhi agama Hindu, Budha dan Islam. Pada buku kelas 2 SMP dijelaskan perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan baru pada kelas 3 SMP diuraikan perkembangannya sejak Indonesia merdeka.

Kenyataannya, buku-buku tersebut (kelas 3 SMP seperti yang diterbitkan Grasindo, Erlangga, dan Yudhistira) membahas peristiwa Madiun pada 1965 dan menyimpulkan PKI sebagai dalangnya. Jadi, masih versi Orde Baru.

Yang tidak logis juga adalah Kejagung melarang buku-buku yang memakai istilah G30S dan mencantumkan G30S/PKI (seperti karya Tugiyono KS dkk terbitan Grasindo).

Dampak ekonomi dan psikologis

Bagi penerbit buku, pelarangan itu jelas sangat merugikan.

Pertama, buku-buku itu tidak dapat dijual lagi. Selain itu, juga harus ditarik dari peredaran. Secara total untuk penerbit di seluruh Indonesia, kerugian itu bisa mencapai miliaran rupiah. Padahal, kasus tersebut bukan kesalahan mereka. Bahkan, mereka mencetak buku yang sebetulnya masih versi lama yakni versi Orde Baru.

Belum lagi kesusahan yang ditanggung para orang tua di Tanah Air. Di tengah kesulitan ekonomi yang kian mendera, mereka harus membeli buku-buku yang lain untuk anak-anak mereka di sekolah.

Para guru semakin bingung, bagaimana menjelaskan kepada murid tentang pelarangan tersebut. Selain itu, saat ini tidak ada buku teks yang dapat dijadikan acuan seperti SNI (Sejarah Nasional Indonesia) yang ditulis Nugroho Notosusanto pada masa Orde Baru. Bagi para siswa dampak psikologisnya sangat buruk. Mereka kini dipaksa untuk berbohong.

Mungkin mereka sudah mengetahui melalui surat kabar, radio, televisi, atau internet tentang beberapa versi Gerakan 30 September 1965. Namun, agar lulus dalam ujian, mereka harus menjawab sesuai dengan Peraturan Menteri No 22/23/24 tahun 2006, yaitu G30S/PKI.

Secara pedagogis, pemaksaan itu sangat jelek. Sementara itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikemas dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional 2006 itu masih kacau. Misalnya pembabakan sejarah Indonesia setelah merdeka menjadi masa awal kemerdekaan (1945-1955), masa Orde Lama (1955-1967), dan Orde Baru (1967-1998) sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Menarik membandingkan kedua kasus di atas. Buku tentang sejarah perkembangan PKI yang ditulis orang asing tidak dilarang. Sedangkan 13 judul buku pelajaran sejarah dibredel atas permintaan Menteri Pendidikan Nasional. Kalau begitu, pelarangan buku itu bukanlah menyangkut PKI atau bukan, melainkan motif utamanya adalah 'atas permintaan'. Puas, puas, puas, kan?

* Asvi Warman Adam
, peneliti senior LIPI dan pengurus pusat MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Senin, 26 Maret 2007

Horison: Mendorong Perubahan Lewat Novel

-- Reiny Dwinanda

Karya sastra yang berkualitas bisa menjadi alat perjuangan yang ampuh untuk menggiring masyarakat ke arah pandang yang lebih menghargai perempuan. Percaya atau tidak, kekuatan itu ada. Tengok saja isu yang digulirkan Camilla Gibb, penulis kelahiran Inggris yang dibesarkan Kanada.

Gibb memfokuskan ceritanya pada topik-topik yang erat kaitannya dengan kemanusiaan, terutama nasib perempuan yang tertindas. Novelis berlatar belakang akademisi yang juga aktivis perempuan ini berani memasuki ranah kehidupan muslimah Ethiopia dan mendeskripsikannya dengan jujur. Hasil karya Gibb direspon positif oleh masyarakat baca.

Gibb yang hidup di belahan barat dunia mau mencoba melihat lebih dekat dan memahami Islam. Lewat sosok Lily dalam Sweetness in the Belly, Gibb mengajak pembaca untuk menyimak hidup penuh ujian yang dialami seorang perempuan kulit putih yang terlahir dari pasangan hippie yang nomaden.

Saat singgah di Maroko, orangtuanya membiarkan Lily diadopsi oleh keluarga sufi. Sang ayah dan bunda ingin anaknya tumbuh di lingkungan budaya yang beragam. Lily yang dibesarkan di kawasan mayoritas Kristen di Ethiopia lantas ditempa kerasnya hidup sebagai imigran dan pedihnya kehancuran kampung halaman.

Terlepas dari itu, Lily menemukan keindahan berbagi dengan adat yang berbeda. Beranjak dewasa, Lily mengarungi lautan untuk sampai ke Inggris, negeri yang diharapkan dapat memberikan masa depan yang lebih baik. Lily sesungguhnya hanyalah insan yang berusaha untuk hidup layak dengan menjadi imigran. Di manapun ia berada, ia juga berupaya menegakkan shalat.

Apa yang ditulis Gibb menggambarkan potret pemeluk Islam yang sejati, jauh dari kesan teroris yang ditempelkan pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya. Penggambaran citra muslimah tersebut menjadi besar artinya lantaran disampaikan oleh seorang non muslim. ''Dibesarkan di lingkungan yang multikultural membuat saya terbiasa berempati,'' urai pemegang gelar PhD di bidang antropologi sosial yang sudah menulis tiga novel dan sederet cerpen.

Dari waktu ke waktu, perempuan selalu saja hidup dalam ketidakadilan. Apa sebetulnya akar persoalan yang mendera perempuan? Dua sebab bisa dicetuskan. ''Biang keroknya adalah budaya dan pemahaman agama yang keliru,'' kata Abidah el-Khaliqy, novelis perempuan.

Kedua faktor tersebut juga pernah menghajar Ayu Utami. Ia malah merasa kehidupannya makin kompleks dengan lilitan tiga hal. ''Berjenis kelamin perempuan, ber-ras Asia, dan beragama Katolik, mempengaruhi ruang gerak saya sebagai penulis,'' katanya.

Ayu toh tak berhenti berkarya. Saman membawanya ke permukaan. Novel yang menyabet juara Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 1998 itu merupakan sarana yang dipakainya untuk mendobrak tabu. Saman berbicara tentang perempuan dan perilaku serta oritentasi seksual dengan eksplisit.

Keberadaan penulis perempuan lain juga tak bisa dikesampingkan. Sebut saja Oka Rusmini yang menghasilkan Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003). ''Ia seperti hendak menggugat tradisi adat, budaya, dan agama yang terlalu memojokkan posisi perempuan,'' komentar kritikus sastra, Maman S Mahayana.

Selain itu, masih ada Ani Sekarningsih. Namaku Teweraut (2000) mengangkat problem gender dalam kaitannya dengan kultur etnik. ''Novel pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama utuk terbitan tahun 2000 ini secara sangat meyakinkan menyuguhkan sebuah potret sosial masyarakat Asmat, Papua,'' imbuh Maman.

Turut dalam pemantauan Maman, Ratna Indraswari Ibrahim. Seperti novel-novel sebelumnya, Lemah Tanjung (2003) menghadirkan persoalan yang dihadapi perempuan Jawa dalam berhadapan dengan masuknya pengaruh moderen serta perubahan sosial politik di Indonesia.

Maman melihat Abidah tampil dengan semangat melepaskan diri dari berbagai stigma yang memojokkan kaum perempuan. Cara Abidah dinilainya implisit. ''Solusi atas persoalan yang dibahas disodorkan oleh sosok muslimah yang cerdas, berwawasan, dan cantik. Dengan begitu, tak mungkin tokoh utamanya dilecehkan oleh laki-laki. Suka tidak suka, mereka menempatkan posisi perempuan secara proporsional,'' uraiMaman.

Abidah dengan Gani Jora-nya meraih hadiah kedua Sayembara Novel DKJ 2003. Berangkat dengan kegelisahan berlatar belakang kultur pesantren, penulis asal Yogyakarta ini menerabas palang yang merintangi mulimah mendapatkan haknya seperti yang telah diatur dalam Alquran. ''Karya ini saya tujukan untuk memperjuangkan harkat, martabat, dan derajat perempuan dalam konteks budaya dan agama,'' katanya.

Perhatian Abidah terpusat pada pemecahan konflik budaya dan agama dalam perspektif perempuan. Ia merasa yang dilakukannya hanyalah mengungkap aroma peradaban melalui kemungkinan logika dan intuisi seorang perempuan. ''Dalam prosesnya saya lebih memusatkan pada pergulatan visi yang sekiranya dapat dihayati dan diterima secara estetis oleh pembaca,'' paparnya.

Dalam pandangan Maman, pembaca novel tanpa sadar seperti memperoleh penyadaran. Betapa penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi di mana-mana atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, kesucian agama, bahkan atas nama kekuasaan Tuhan. ''Begitu banyak manipulasi digunakan sebagai kedok untuk menutupinya,'' sesal pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Kendati demikian, kegelisahan Abidah belum reda. Novel saja belum cukup garang untuk menggeret orang ke jalan yang benar, yang sesuai dengan ajaran agama. Realitas kehidupan --dalam konteks Islam-- amat dipengaruhi oleh fiqh. ''Fiqih merupakan respon atas realitas persoalan sosial. Ketika persoalan sosial mengalami perubahan otomatis fiqh juga harus berubah,'' Abidah menandaskan.

Sumber: Republika, Minggu, 25 Maret 2007

Perempuan di Tengah Sastra dan Agama

-- Mariana A Sardino*

Hubungan antara sastra dan agama lebih-lebih jika di tengahnya ada sosok berjender perempuan tetap menarik untuk diperdebatkan. Sebabnya, masalah yang sesungguhnya amat klasik ini belum kunjung mendapatkan semacam 'titik temu' di antara para sastrawan maupun agamawan.

Di tengah-tengah wacana itu, bahkan kaum perempuan penulis terjepit di antara tuntutan kekebasan berekspresi dan batasan-batasan agama. Di satu sisi, etos kreatif menuntut kebebasan berekspresi dalam keliaran imajinasi. Sementara, di sisi lain, etika agama memberi batasan wilayah yang dapat dijelajah oleh kebebasan itu. Jika seorang sastrawan melampaui batasan itu akan dianggap melanggar etika agama, bahkan dapat mengundang reaksi keras dari kalangan pemeluk agama yang bersangkutan.

Adalah menarik untuk membandingkan dialektika antara sastra, agama dan perempuan di masyarakat beragama yang cenderung homogen seperti di Indonesia, dengan dialektika serupa yang terjadi di negara multikultural seperti Kanada. Dan, inilah yang terjadi dalam seminar Perempuan dalam sastra dan Agama di Jakarta, 22 Maret 2007, yang lalu.

Meskipun hanya menampilkan tiga novelis perempuan dan seorang akademisi sastra Camilla Gibb (Canada), Abidah el Khalieqy dan Ayu Utami serta Maman S Mahayana (Indonesia) tesis-tesis yang mengemuka cukup menarik untuk disimak. Setidaknya, tiga kubu pendapat tentang hubungan antara perempuan, sastra dan agama, terwakili dalam seminar tersebut. Ayu Utami mewakili kubu yang memberontak terhadap batasan moral dan agama serta menempatkan perempuan sebagai 'manusia bebas' termasuk bebas dari batasan tabu.

Sebaliknya, Abidah mewakili kubu yang berpendapt bahwa agama semestinya dipandang sebagai perangkat nilai yang memuliakan dan mengangkat harkat serta derajat kaum perempuan. Sedangkan Camilla Gibb cenderung moderat, karena memang tumbuh di lingkungan masyarakat multikultural yang sangat siap memahami perbedaan. Dan, di antara kubu-kubu itu jika memang dapat disebut demikian Maman tampil sebagai 'penengah' dalam pengertian melihat wacana-wacana yang muncul dengan kacamata akademisi.

Sastra atau kesastraan pada dasarnya tidak pernah membatasi kebebasan berekspresi dan beimajinasi para kreatornya. Para novelis besar dunia, seperti Dan Browm dan Najib Mahfud, sukses justru karena mempraktekkan kebebesan itu. Yang ada, barangkali jika dapat sisebut sebagai pembatasan, adalah konvensi yang berkait dengan genre dan tipologi karya sastra itu sendiri.

Untuk puisi, misalnya, konvensi adalah tuntutan untuk memperhatikan tipografi, rima, ritme, dan majas, demi keindahan puisi itu sendiri sebagai seni bahasa. Sedangkan fiksi, cerpen maupun novel, dituntut untuk memenuhi unsur-unsur pembangun cerita, seperti alur, plot, ending, penokohan dan karakterisasi. Ini juga demi daya tarik fiksi itu sendiri.

Tetapi, di luar konsvensi sastra itu ada masyarakat pembaca yang peradaban dan budayanya (termasuk etika dan moralnya) sudah dibentuk oleh nilai-nilai yang sudah diwariskan secara turun-temurun, terutama nilai-nilai moral dan agama. Nilai-niliai inilah yang pada akhirnya akan sering berbenturan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh karya sastra, karena kepada masyarakat yang sudah memiliki perangkat nilai itulah karya sastra itu 'dipertaruhkan'.

Jika begitu, apakah nilai-nilai moral dan agama yang oleh kalangan 'pemberontak nilai' seperti Ayu Utami dianggap membelenggu kretivitas itu yang salah? Apakah demi sastra, demi kebebasan berekspresi dan berimajinasi itu, moral dan agama tidak diperlukan lagi atau bahkan harus ditolak. Secara implisit, dilihat pada novel-novel dan esei-eseinya (terutama esei tentang seks) Ayu berkecenderungan demikian. Sedangkan Abidah berkecenderungan sebaliknya, dan menurutnya yang salah adalah pemahaman manusia tentang agama, bukan agama itu sendiri.

Dalam seminar tersebut, Ayu bahkan sempat mengemukakan kesumpekannya dalam lilitan nilai-nilai moral dan agama, dan lilitan itu makin kompleks karena ia berjenis kelamin perempuan. Sebabnya, dalam masyarakat Timur (Asia), perempuan 'dibelenggu' oleh batasan-batasan ketabuan -- salah satu ekspresi moral masyarakat Timur. ''Berjenis kelamin perempuan, ber-ras Asia, dan beragama Katolik, mempengaruhi ruang gerak saya sebagai penulis,'' katanya dalam seminar itu.

Tetapi, di mata Abidah, yang salah bukan agama, namun pandangan orang yang pandir dan penuh kepentingan jender (laki-laki) tentang agama. Menurutnya, biang kerok semua itu adalah budaya dan pemahaman agama yang keliru. Banyak tafsir agama yang bermuatan budaya laki-laki, untuk kepentingan laki-laki, dan merampas hak perempuan. Karena itulah, melalui karya-karyanya, seperti novel Gani Jora, Abidal mencoba membela kaum Muslimah dalam mendapatkan haknya. Dan, hak itu, menurutnya, telah diatur dalam Alquran.

Tumbuh di tengah masyarakat yang multikultural, sebagai seorang non-Muslim, Camilla Gibb justru memiliki pandangan yang jernih tentang nilai-nilai agama dan praktek keberagamaan di masyarakat (Muslim). Lewat sosok Lily dalam novel Sweetness in the Belly ia memotret pemeluk Islam yang sejati, jauh dari kesan teroris.

Satu-satunya semangat yang diperlihatkan Gibb adalah membela kaum perempuan yang tertindas, bukan mendiskreditkan moral atau agama. Di tangan Gibb, karya sastra atau novel, menjadi media untuk membela nasib kaum perempuan dari ketertindasan, tanpa menyalahkan agama. Dan, ini pula yang diperlihatkan novel-novel Abidah.

Ayu sebenarnya memperlihatkan semangat pembelaan yang sama, namun ia menjadikan moral dan agama sebagai 'kambing hitam'. Akar penyebabnya jelas: yang diperjuangkan Ayu adalah 'kebebasan seksual' bagi kaum perempuan. Sedangkan Gibb dan Abidah memperjuangkan harkat, martabat dan kebebasan perempuan dari segala bentuk penidasan.

Dalam semangat seperti di atas, karya sastra (novel), dalam pandangan Maman S Mahayana, dapat menjadi media penyadaran atau semacam pencerahan. Pembaca novel tanpa sadar seperti memperoleh penyadaran, betapa penindasan dan penganiayaan perempuan terjadi di mana-mana atas nama martabat keluarga, norma sosial, keluhuran budaya, bahkan kesucian agama.

* Mariana A Sardino, Pengamat sastra dan perempuan

Sumber: Republika, Minggu, 25 Maret 2007

Sunday, March 25, 2007

Esai: Kenangan Dini, Pencerahan Spiritualisme

-- S Prasetyo Utomo*

Genre sastra kita sungguh kering dari penciptaan otobiografi yang berkadar literer. Kebanyakan otobiografi ditulis dengan kejutan politik, beranjak dari visi dan polemik kekuasaan. Beruntung kita memiliki Nh Dini yang selalu mencipta otobiografi—yang disebutnya sebagai "seri kenangan"—dengan kekuatan style, eksotisme, detail setting, dan kesadaran empati yang memancar dari dalamnya. Ini dapat kita telusuri dalam seluruh bangun seri kenangan terbarunya, La Grande Borne (PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).

Ia berbeda dengan Nawal el-Saadawi ketika mencipta biografi seorang tokoh yang bernama Firdaus dalam novel Perempuan di Titik Nol. Nawal el-Saadawi menggunakan kekuatan literer dan ketajaman bahasanya untuk memancarkan aspirasi feminisme. Ia mendobrak budaya patriarki. Kekuatan diksi, style, unsur-unsur sastrawi diarahkan untuk membongkar kebusukan budaya dan kekuasaan yang didominasi kaum laki-laki. Jadilah karakterisasi tokoh hitam-putih. Nh Dini bukanlah seorang feminis serupa itu. Ia mengekspresikan kehidupan dan kegetiran kenangan kewanitaannya tanpa memperalat unsur-unsur sastrawi demi kepentingan feminisme.

Ia juga tak setara dengan Elie Weisel, yang menulis otobiografi Malam (La Nuit). Otobiografi ini begitu sarat muatan humanisme, tetapi pada ujungnya menyisakan kegetiran penindasan politik Nazi Hitler. Dengan otobiografinya itu, Elie Weisel membukakan mata dunia akan ketertindasan bangsa Yahudi. Nh Dini tak memberikan perlawanan ideologi maupun politik dalam seri kenangannya, tak meradang atas nama "kaum yang tertindas" sebagaimana Nawal el-Saadawi. Ia tak mengeksplorasi penderitaannya sebagai wanita Timur yang ditindas sang suami yang berasal dari peradaban Barat. Ia sedang membebaskan nuraninya, mengekspresikan spiritualisme dalam tekanan-tekanan hidup yang berat. Ia mengisahkan seri kenangan ini, di tengah-tengah setting dan kultur Barat, dengan kekuatan spiritualisme Timur.

Pencerahan

Hal yang cukup menarik, seri kenangan ini ditulis pada kurun waktu yang cukup jauh dari kejadian sesungguhnya, yakni pada dekade 70-an. Ada ruang kontemplasi dan pengendapan yang cukup matang bagi Nh Dini untuk menuturkan kembali kisah-kisahnya. Justru pada saat ia hidup seorang diri, jauh dari suami dan kedua anak yang dikasihinya, Lintang dan Padang, di bumi kelahirannya, dia rangkai kembali serpihan-serpihan kehidupan ketika tinggal di kawasan Grande Borne.

Seri kenangan ini merupakan bagian kehidupan Nh Dini pada saat hubungan rumah tangganya dengan Yves Coffin, sang suami, mengalami pelapukan dari dalam. Telah terjadi disharmoni dengan suami, kehilangan kekasih, dan juga digerogoti penyakit yang memadamkan cahaya hidupnya. Akan tetapi, ia bukanlah seorang tokoh yang lahir dari leluhur yang gamang pada tekanan-tekanan kehidupan. Dalam darahnya mengalir trah pengikut Pangeran Diponegoro, yang memberinya sugesti untuk menemukan pencerahan dari tekanan-tekanan berat hidupnya.

Berulangkali Nh Dini kembali mencari pencerahan dari spiritualisme Timur, yang mengendap dalam sanubarinya. Ia menyebut pengalaman hidupnya memang dikehendaki Tuhan agar mengenyam aneka ragam kehidupan, tidak selalu sama, mendatar tanpa variasi. Ia wajib mengikuti jalan yang digariskan untuknya dengan kerelaan serta kepasrahan tanpa batas. Untuk meneruskan kehidupan, pelita masih menyala dalam batinnya walaupun hanya berupa kedipan lemah. Akan tetapi, ini bukan berarti fatalisme. Ia bukan selembar kulit belulang yang dibentuk dan digambari sebagaimana anak wayang yang dimainkan ki dalang.

Bahkan, terhadap kucing kesayangannya, yang dipanggil Miu, Nh Dini bisa membebaskan humanisme dan spiritualismenya. Dengan kehadiran Miu, eksistensinya sebagai manusia semakin sempurna. Miu menjadi makhluk satu-satunya di rumah yang memberi keleluasaan bagi Nh Dini untuk berbicara dalam bahasa Jawa ngoko. Kesempatannya berbahasa Jawa krama inggil dilakukannya pada saat ia berdoa dan berbicara dengan Gusti Allah.

Eksistensi kekasih dalam kehidupan Nh Dini bukanlah sebuah pelarian atau pencarian akan kesenangan nafsu. Baginya, Maurice, yang disebutnya dengan Kapten Bagus, bukanlah keisengan, melainkan anugerah tak ternilai, tidak dapat dibandingkan dengan semua kekayaan duniawi. Ia memang sempat meratap dalam bahasa Jawa ketika diketahuinya kekasihnya mengalami kecelakaan, "Gusti Allaaaaah, kados pundi Maurice lan dalem meniko...." (Tuhan Allah, bagaimana Maurice dan hambaMu ini...). Akan tetapi, ia selalu kembali mendapat cahaya untuk bangkit menghadapi hidup. Kekosongan ditinggal kekasih bukan berarti ia dapat mengisi dengan kehadiran kekasih baru.

Nh Dini juga menjalani spiritualisme manusia Jawa, dengan berpuasa Senin-Kamis dan pada Minggu Kliwon, hari weton-nya. Ia masih sempat berzikir, memohon pengampunan kepada Gusti Allah, dan sampai pada suatu kesadaran bahwa Tuhan mencipta manusia dengan sifat dan rupa yang berbeda-beda. Ini dianggap sebagai keagungan-Nya.

Seratus persen fakta

Dalam pemahaman sekilas, kita dapat saja mengatakan perkembangan alur yang dijalin Nh Dini dalam seri kenangan ini berjalan lamban. Akan tetapi, sesungguhnya, di balik detail peristiwa dan perkembangan alur yang terkesan lamban itu ia menyimpan mutiara-mutiara perenungan yang cemerlang. Ia juga tidak melihat peristiwa dari sudut pandangnya sendiri, yang menggaris karakterisasi menjadi hitam-putih. Bagaimanapun ia masih melihat sisi-sisi baik yang memancar pada diri suaminya, Yves Coffin (yang selalu disebut dalam idiom kultur Jawa: "bapaknya anak-anak") sehingga terkesan penuturannya manusiawi.

Nilai buku ini justru terletak pada kesederhanaan peristiwa- peristiwa yang dimunculkannya. Di sinilah ia mengolah peristiwa sehari-hari dalam style yang hidup, yang mengekspresikan ketenangan spiritualisme Jawa. Bukan dalam perlawanan yang tajam menikam sebagaimana novelis-feminis Nawal el-Saadawi. Ia sendiri menyadari bahwa seri kenangannya kali ini—yang sering kali disalahpahami sebagai novel—dijalinnya dengan seratus persen fakta, yang ditulis tanpa beban teori-teori feminisme.

* S Prasetyo Utomo, Cerpenis dan Pemerhati Sastra, Tinggal di Semarang

Sumber: Kompas, Minggu, 25 Maret 2007

Buku: Sejarah yang Bikin Bingung

Judul buku: Seabad Kontroversi Sejarah
Penulis: Asvi Warman Adam
Penerbit: Ombak
Cetakan: Maret 2007
Tebal: ix + 180 halaman

Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Buku ini menawarkan tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas.

Contoh kategori pertama, benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Prof Mr Gertrudes Johan Resink (1911-1997) membantah pernyataan tersebut. Termasuk dalam kategori pertama adalah sejarah yang berhubungan dengan mantan Presiden Soeharto.

Selama ini PKI ditulis menyatu dengan Gerakan 30 September (G30S), seakan partai tersebut dalang tunggal dari percobaan kudeta 1965. Padahal versi lain tentang adanya keterlibatan militer, Sukarno, Soeharto, bahkan unsur asing (CIA dan lain-lain). Malah belakangan muncul versi baru yang melihat peristiwa dari 30 September 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai suatu kesatuan dan disebut "kudeta merangkak".

Kategori kedua antara lain menyangkut Budi Utomo yang kelahirannya 20 Mei 1908 diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terdapat kritik terhadap organisasi ini yang dinilai bersifat kedaerahan (Jawa). Kategori ketiga adalah hal-hal yang tidak jelas dalam sejarah Indonesia. Contohnya mengenai naskah asli surat Supersemar, Peristiwa Malari (11 Januari) 1974.

Buku ini bisa dijadikan salah satu pegangan bagi guru dn siswa serta masyarakat yang selama Orde Baru telah menjadi korban rekayasa sejarah rezim penguasa. Selama ini publik menjadi bingung karena begitu banyak peristiwa yang kabur atau dikaburkan. [R-8]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 25 Maret 2007

Buku: Belajar Membedah 'Mitos'

Judul : Mitologi
Penulis : Roland Barthes
Penerjemah : Nurhadi & A Sihabul Millah
Penerbit : Kreasi Wacana
Cetakan : (Edisi Revisi) Desember 2006
Tebal buku : xiii + 244 halaman

Roland Barthes pernah mengatakan 'Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya'. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu.

Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis ini, telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk mempelajari semiologi. Secara teoritik, menurutnya, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Semiologi sebagai cabang ilmu bahasa terbagi dua, yakni semiologi tingkat pertama yang disebutnya dengan linguistik dan semiologi tingkat kedua yang ia sebut 'mitos'.

Pembagian semiologi dalam dua tingkatan bahasa itu merupakan mahakaryanya selama mengarungi dunia semiologi. 'Mitos' bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. 'Mitos' bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur.

Pasalnya, 'mitos' yang dimaksud Roland Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda.

Untuk lebih memperdalam pengetahuan kita tentang konsep 'mitos' ala Barthesian itu, kini telah hadir, untuk kedua kalinya, buku Mitologi karya Roland Barthes yang sempat dua tahun tenggelam dari pasaran. Buku ini menceritakan secara gamblang tentang konsep 'mitos' yang selama ini telah menggegerkan dunia. Tidak hanya itu, lewat buku ini, Barthes ingin menunjukkan bahwa semua yang ada di dunia ini, baik itu manusia, benda, maupun gerakan-gerakan alam, ternyata menyimpan sebuah makna penting.

Menurut Barthes, 'mitos' adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos itu, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).

Dalam semiologi terdapat tiga tahapan penting pembentuk makna, yaitu penanda, pertanda, dan tanda. Penanda merupakan subyek, pertanda ialah obyek, dan tanda merupakan hasil perpaduan keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam 'mitos' (semiotika tingkat kedua), penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiologi.

Salah satu contoh 'mitos' yang diangkat Barthes dalam buku ini ialah permainan gulat. 'Mitos' gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh, ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan mencemoohnya. 'Mitos' gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis, sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah 'mitos' gulat itu terungkap.

Selama ini, banyak orang yang tidak menyadari signifikansi semiotika dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam interaksi sosial banyak sekali makna-makna yang belum terungkap. Mulai dari bahasa manusia (verbal dan nonverbal), benda (gambar), hingga gerakan-gerakan alam. Mitos dalam hal ini menjadi medium untuk membedah makna-makna tersebut. Selain sebagai ilmu, mitos juga dapat digunakan sebagai cara pandang atau paradigma dalam menganalisa suatu peristiwa. Inilah kelebihan dari teori 'mitos' Barthesian.

Mempelajari makna-makna simbolik, baik pada manusia maupun benda, merupakan hal yang sangat menarik. Karena banyak orang yang belum bisa menguraikan makna dengan sempurna dalam simbol-simbol kehidupan. Buku ini merupakan salah satu penuntun yang akan mengantarkan kita untuk membedah berbagai makna dalam kehidupan ini.

Buku ini merupakan karya terpenting Roland Barthes tentang konsep mitologinya. Bahasa lugas, puitis, ringan, dan sederhana menjadi ciri khas sosok semiotikus Roland Barthes. Bahasan-bahasan yang diangkat Barthes dalam buku ini merupakan hasil aplikasi semiologi dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah tulisan yang sangat berharga bagi dunia semiologi. Oleh karena itu, buku ini cocok dibaca siapa pun khususnya mahasiswa. Akhirnya, hidup di dunia ini tidak hanya berwarna satu, tetapi banyak warna yang harus kita bedah dan tafsiri. Semoga dengan hadirnya mitologi Roland Barthes di tengah-tengah kita, mampu menambah wawasan kita dalam mengurai sekian makna yang belum terungkap. Selamat membaca!

Rizem Aizid,
Alumnus PP Annuqayah Latee Guluk-Guluk, Sumenep, Madura

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007

Sastra: Pengarang Perempuan Jadi Agen Perubahan

JAKARTA (Media): Pengarang perempuan harus menjadi agen perubahan sosial, dalam pembelaan terhadap nasib perempuan, melalui karya mereka.

Karya sastra para pengarang perempuan itu juga harus mampu mendekonstruksikan tafsir-tafsir atasan ajaran agama yang diskriminatif terhadap perempuan.

Pendapat itu diungkapkan oleh Ketua Yayasan Puan Amal Hayati, sekaligus mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid, dalam pembukaan seminar bertema Perempuan dan Agama dalam Sastra: Pengalaman Indonesia dan Kanada, di Jakarta, Kamis (22/3).

''Hampir tidak ada perubahan sosial yang lepas dari pengaruh sastrawan," kata Sinta. Tetapi, selama ini catatan sejarah dan analisis sosial masih lebih mengedepankan peran kepala pemerintahan, kepala negara, atau aktivis gerakan dalam mengadvokasi terjadinya perubahan daripada peran sastrawan.

Padahal pendekatan sastra kerap digunakan dalam menyebarluaskan suatu ajaran agama. Menurut Sinta, hal itu membuktikan bahwa sastra mampu berperan dalam diseminasi politik dan ideologi.

Ia memberi contoh pada masa pra-Revolusi Prancis, sosialisasi nilai-nilai kebebasan dan persamaan disampaikan lewat puisi dan cerita. ''Ini kemudian memunculkan semangat dan etos yang melahirkan pergerakan sosial,'' kata Sinta.

Namun Sinta mengingatkan, sastrawan juga rentan terhadap fungsi agen kekuasaan. Karya sastra juga dapat berfungsi sebagai instrumen pelindung status quo. ''Mereka dapat memunculkan karya-karya yang melestarikan budaya patriarkat,'' kata Sinta.

Oleh sebab itu, pemunculan pengarang perempuan harus menjadi kesempatan untuk melakukan perubahan sosial. Caranya, menurut Sinta, dengan menyebarkan nilai-nilai yang melawan budaya patriarkat, berempati pada nasib perempuan, dan menampilkan karya sastra yang berpihak.

Pendapat lain muncul dari Maman S Mahayana, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Sejak Ayu Utami menulis novel Saman, penulis perempuan terjebak pada tema seks sebagai alat sensasi dan alat perjuangan ideologi yang diterjemahkan secara artifisial.

''Tulisan mereka belum menyentuh substansi problem sosiologi, kultural, dan ideologi,'' kata Maman. Selain itu, bangunan narasi yang ditampilkan juga belum kukuh. Tetapi, Maman menyebutkan beberapa karya pengarang perempuan Indonesia yang dianggapnya sebagai perkecualian, yaitu Geni Jora karya Abidah el Khalieqy, Tarian Bumi karya Oka Rusmini, dan Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih. Karakter-karakter perempuan dalam tiga novel tersebut menunjukkan perempuan yang berani menerjang kultur dan religi.

Sementara itu, penulis asal Kanada Camilla Gibb yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan, saat ini adalah masa yang paling bagus bagi para penulis muslim untuk menulis tentang Islam sesuai sudut pandang mereka. Menurutnya, saat ini dunia Barat juga tengah mencari tahu dan membaca lebih banyak tentang Islam. (Isy/H-4).

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Maret 2007

Saturday, March 24, 2007

Wacana: Terjebak antara Pengarang dan Penulis

-- Faisal Kamandobat*


APA perbedaan pengarang (aucthor) dan penulis (writer)? Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, apalagi bila disusul beberapa pertanyaan berikut: bagaimana membedakannya? Apa ukuran yang kita gunakan? Kenapa dibedakan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui persamaan pengarang dan penulis. Kerja keduanya sama-sama berhubungan dengan bahasa. Bahasa dalam pengertian paling luas dan mendasar: formula yang membentuk kesadaran (bahkan ketidaksadaran, menurut psikoanalisis) dan pandangan hidup manusia. Seandainya terdapat seorang pengarang atau penulis mengaku mampu bekerja tanpa bahasa, orang tersebut bisa dibilang sedang berdusta.

Ibu guru memberi pelajaran mengarang, murid-muridnya menulis cerita. Pak guru memberi tugas menulis karya ilmiah, para siswa menulis laporan penelitian. Mengarang sering diasosiasikan dengan karya sastra yang fiksional, sedangkan menulis dengan ilmu yang sifatnya faktual: seakan-akan mengarang sastra tidak memerlukan studi ilmiah, dan menulis karya ilmiah tidak memerlukan bahasa imajinasi yang fiksional.

Bukan bentuk, tetapi fungsi


Kita akan tahu asumsi tersebut keliru. Terbukti dengan adanya karya ilmiah yang ditulis dengan bahasa literer atau kental unsur sastranya. Filsuf, ekonom, dan ilmuwan politik Karl Marx menulis karyanya dengan bahasa yang literer, penuh simbol dan metafora, contohnya dalam Capital. Demikian pula Darwin yang terkenal dengan bukunya, The Origin of Species.

Sebaliknya, terdapat banyak karya sastra yang penuh muatan ilmiah, dan mengolah fakta-fakta dengan metodologi tertentu. Umberto Eco misalnya, secara konsisten menggunakan logika abduksi sebagai metode dalam novelnya, The Name of the Rose. Demikian pula Jorge Luis Borges yang menggunakan labirin sebagai konsep (bahkan semacam metode) untuk membahas matematika dan metafisika dalam prosa-prosanya, khususnya Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, dan Perpustakaan Babel.

Artinya, asumsi tersebut keliru karena adanya kesalahan dalam menentukan kategori. Seseorang disebut pengarang bukan karena sifat karyanya literer-fiksional, dan disebut penulis bukan karena sifat karyanya ilmiah dan faktual (barang siapa tetap menggunakan kategori ini untuk membedakan pengarang dan penulis, jalan pikiran orang tersebut pasti akan tersesat).

Yang membedakan keduanya bukan bentuk bahasa, melainkan fungsinya. Fungsi bahasa bagi pengarang adalah untuk mencipta wacana, sementara bagi penulis untuk menyampaikan pesan. Marx, Darwin, Eco, dan Borges adalah pengarang, karena karya mereka melahirkan wacana. Sementara banyak karya sastra dan ilmiah yang tidak melahirkan wacana, dengan alasan yang berlainan; entah bahasanya kurang kuat, penalarannya kurang akurat, atau sekadar mengulang karya sebelumnya.

Seorang pengarang niscaya menempatkan bahasa sebagai basis dari gagasannya, melampaui fungsi instrumentalnya sebagai media komunikasi. Gagasan seorang pengarang memberi bobot baru terhadap bahasa, sehingga mampu mengubah struktur kesadaran, pandangan hidup, dan landasan baru dalam memandang dunia. Adapun penulis menjadikan bahasa semata sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan agar para pembacanya memahami makna yang disampaikan.

Pengaruh yang mendasar


Apa yang membuat sebuah karya sastra dan ilmiah menjadi wacana sehingga penciptanya layak disebut pengarang? Pertanyaan itu juga tidak mudah dijawab, karena banyaknya ukuran yang bisa digunakan, dan jangan-jangan kita akan salah lagi (dan lagi) dalam menentukan kategori. Tulisan ini kembali berusaha menjawabnya, dan jika jawaban itu ternyata kelak bisa dibuktikan salah, maka itu berarti kita telah menawarkan sepercik gagasan kepada pembaca, dan oleh sebab itu bolehlah disebut sebagai "wacana".

Sebuah karya ilmiah bisa menjadi wacana karena di dalamnya terdapat tiga hal. Pertama, ide kreatif yang didukung dasar filosofi yang kuat. Marx bisa dikatakan adalah orang pertama yang mengemukakan hukum ekonomi sebagai hukum yang menentukan perkembangan masyarakat dan sejarah. Kebudayaan (seperti agama, negara, dan institusi sosial lainnya), dicipta semata agar manusia dapat mengatur kebutuhan ekonominya. Melalui budaya, agama, dan negara, manusia mendistribusikan kebutuhan ekonominya, bukan sebaliknya.

Kedua, gagasannya memiliki pengaruh melampaui disiplinnya, bahkan pandangan hidup secara keseluruhan. Sebelum Darwin, Lamarck telah menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia, tetapi Darwin-lah yang membuat teori evolusi berpengaruh melampaui disiplin biologi, seperti pandangan yang ditawarkan kitab suci serta dunia mitos. Lebih luas lagi gagasan Marx yang mengubah pandangan manusia tak semata secara teoretis, tetapi juga praksis. Kita tahu, di abad lalu komunisme menguasai sepertiga dunia.

Ketiga, pemikirannya dapat dibuktikan kebenarannya. Darwin melahirkan teori evolusi dengan melakukan observasi terhadap serangkaian fakta-fakta ilmiah, demikian pula Marx dengan teori ekonominya. Gagasan mereka bukan spekulasi penalaran belaka, melainkan didukung bukti-bukti empiris. Tanpa itu, gagasan mereka akan rapuh, persis seperti mitos-mitos yang ditentangnya.

Sastra tak jauh beda


Bila karya ilmuwan menjadi wacana melalui tiga hal di atas, karya sastra tidak jauh beda. Membaca novel Eco, The Name of The Rose, kita akan mendapati ide yang didukung basis filosofis yang kuat, salah satunya bobot relevatif (kewahyuan) filsafat Aristoteles. Sebelum Eco mungkin sudah ada yang mengatakannya, tetapi Eco melakukannya secara lebih konstruktif dengan cara menghubungkan ide tersebut dengan berbagai ide yang menentang dan yang mendukungnya, termasuk filsafat Abad Pertengahan yang terkungkung teologi apokalipsis. Demikian pula Borges, yang secara konstruktif memberi bobot filosofis terhadap labirin, dan melalui itu ia mencipta model berpikir tertentu.

Karya Eco dan Borges juga berpengaruh hingga di luar disiplinnya. Novel Eco tak hanya mengubah pandangan manusia terhadap novel, tetapi juga terhadap agama dan filsafat Abad Pertengahan. Demikian pula Borges, karyanya berpengaruh secara generik terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan. Eco sendiri, bahkan Michael Foucault, adalah filsuf dan ilmuwan yang menimba ilham dari prosa-prosa Borges.

Lalu apa gagasan dalam karya sastra dapat dibuktikan secara ilmiah? Tak terhitung karya sastra yang penuh muatan ilmiah, karena sastrawan lazim menggunakan disiplin tertentu dalam menciptakan karyanya. Namun, bukan di situ posisi unik sastra dalam hubungannya dengan ilmu. Bila Marx dan Darwin mengajukan pertanyaan filosofis dan menyelesaikannya secara ilmiah, sastra membaca kesimpulan ilmiah melalui serangkaian pertanyaan imajinatif sehingga dari sana terbuka wilayah baru bagi spekulasi para filsuf dan ilmuwan, persis seperti pengaruh Borges dan Eco terhadap khazanah humaniora kontemporer.

Kita juga memiliki karya-karya ilmiah dan sastrawi yang sebetulnya memiliki karakteristik seperti karya-karya mereka yang "pengarang" dan bukan sekadar "penulis". Pemikiran Tan Malaka, sajak-sajak Chairil Anwar, dan prosa-prosa Iwan Simatupang di antaranya.

Lalu kenapa karya mereka tidak punya pengaruh mendasar di luar disiplinnya? Jawabannya, karena mereka adalah orang- orang cemerlang yang hidup di tengah bangsa dengan tradisi pengetahuan yang buruk (kita berharap jawaban ini salah). Bangsa yang belum memiliki tradisi pengetahuan yang kuat membutuhkan banyak "pengarang", bukan sekadar "penulis".

Salah satu bukti karya ilmiah, filsafat, dan sastra yang melahirkan wacana adalah ketika ia menjadi tonggak dalam disiplinnya. Misalnya dalam membahas kapitalisme (baik ekonomi, politik, maupun budayanya) kita tidak bisa lepas dari landasan yang diberikan Marx. Begitu pula mengenai asal-usul manusia sulit lepas dari Darwin. Novel Eco tidak bisa dilewati ketika kita membahas dunia Abad Pertengahan, juga Borges dalam kaitannya dengan sastra filsafi dan fantasi.

Katakanlah, karya mereka memiliki otoritas terhadap wacana. Chairil Anwar memiliki otoritas terhadap puisi Indonesia modern. Sulit bicara puisi Indonesia modern tanpa Chairil Anwar. Demikian pula Tan Malaka dan Iwan Simatupang dalam filsafat dan prosa di negeri ini. Nama-nama mereka—termasuk tentu saja Marx, Darwin, Eco, dan Borges—sering disebut bukan sekadar nama melainkan semacam "istilah" yang merujuk pada gagasan tertentu yang pengaruhnya luas. Itu membuktikan mereka adalah pengarang (author), mempunyai "otoritas" terhadap wacana, dan bukan sekadar penulis (writer) yang menyampaikan sebuah "pesan".

Apa yang kita inginkan, pengarang atau penulis? Kita tak bisa menjawabnya kecuali dengan berdusta. Karena, secara etos mereka yang penulis lebih elegan bila bekerja layaknya pengarang, sedangkan secara etis mereka yang pengarang lebih elegan bila tetap memandang dirinya sekadar penulis. Sejauh ditempatkan pada konteks etis dan etos itulah polemik seputar "kematian pengarang" (the death of author) yang diusung Roland Barthes dan ramai didiskusikan beberapa tahun silam di sini relevan untuk direnung.

* Faisal Kamandobat, Penyair, Eksponen Bale Sastra Kecapi Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 24 Maret 2007