Butuh Dana Rp 300 Miliar, Belum Banyak Negara Menyumbang
Yogyakarta, Kompas - Dana internasional dari berbagai negara, dan sejumlah pakar multidisiplin, tengah dikoordinasikan untuk program identifikasi dan pendataan. Selanjutnya akan diikuti rencana kerja untuk merehabilitasi kerusakan yang menimpa situs Candi Prambanan dan Istana Air Tamansari di Yogyakarta.
Permasalahan pada kedua situs yang masing-masing berada di perbatasan Jawa Tengah (Jateng) dan DI Yogyakarta (DIY), dan di Kompleks Keraton Yogyakarta itu, kini sedang dibahas dalam Pertemuan Ahli-ahli Internasional untuk Rehabilitasi Situs Warisan Dunia Prambanan, dan Istana Air Tamansari Pasca Gempa, 5-8 Maret 2007, di Hotel Mercure Yogyakarta.
"Saya belum bisa menyebutkan besarnya dana untuk program rehabilitasi ini, meskipun tim kami dari BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) sudah menghitungnya beberapa saat setelah gempa merusakkan situs-situs itu," kata Hari Untoro Dradjat, Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kepada pers pada pembukaan sidang, Senin (5/3). Forum ini dihadiri antara lain Richard Engelhardt, Penasihat Budaya Regional Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk Kawasan Asia-Pasifik; Hubert J Gijzen, Direktur Unesco untuk Indonesia; Arief Rahman, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco; serta sejumlah pakar dari India, China, Jepang, Arab Saudi, Australia, Amerika Serikat, Italia, dan Perancis.
Rp300 miliar
Hari mengemukakan, perhitungan biaya rehabilitasi secara menyeluruh sebenarnya sudah ada, sejak 14 Juni 2006, sekitar dua setengah bulan setelah gempa berkekuatan 5,9 skala Richter, 27 Mei 2006, mengguncang Jateng dan DIY kala itu.
"Dari penelitian di lapangan, kerusakan fisik dari luar sudah kami ketahui, tetapi struktur dalamnya kami belum tahu. Ini yang sulit. Posisi Candi Prambanan itu kan mlintir (bergeser memutar), karena persis di depan candi itulah terdapat rekahan, bekas jalur gempa," kata Hari Untoro. Hari pertama pertemuan kemarin diisi dengan presentasi delapan makalah pakar, dan Selasa (6/3) hari ini dijadwalkan dua program kunjungan lapangan ke Candi Prambanan dan ke Candi Lumbung dan Candi Sewu (juga di sekitar Candi Prambanan).
Menurut catatan Kompas, biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi candi Hindu terbesar di Indonesia dan dibangun pada abad VIII itu sekitar Rp 300 miliar. Kebutuhan dana sebesar itu, kata Kepala Dinas Kebudayaan DIY Condroyono, telah diajukan ke Unesco, dan Unesco-lah yang akan membantu menggalang dana dari berbagai negara (Kompas edisi DIY, 17-2-2007).
Hubert J Gijzen, dalam sambutannya kemarin, menyebutkan, dana yang sudah masuk—dan karenanya Unesco sangat berterima kasih—datang dari Pemerintah Arab Saudi senilai 250.000 dollar AS, khusus disumbangkan untuk perlindungan bangunan warisan budaya di Yogyakarta. Unesco, melalui Komite Warisan Dunia, telah membantu dana pendampingan darurat 75.000 dollar AS. Tidak diperoleh informasi masuknya dana dari negara lain, kecuali dari Arab Saudi dan Unesco sendiri.
Kajian pakar
Hubert J Gijzen mengemukakan, rehabilitasi dan restorasi situs budaya yang hancur diharapkan tak hanya berfokus pada pembangunan fisik semata, tetapi juga mempertimbangkan berbagai faktor. Para pakar menjadi pendamping program rehabilitasi. "Proses rehabilitasi harus melibatkan rencana yang komprehensif. Bencana sendiri dapat dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan upaya pelestarian berkelanjutan yang lebih besar," ujar Gijzen sambil mendorong agar lembaga yang berkompeten di Indonesia punya program konservasi jangka panjang bagi Prambanan, yang telah masuk dalam Daftar Warisan Dunia sejak 1991.
Hari menambahkan, tim peneliti BP3 mengidentifikasi kerusakan Candi Prambanan—yang terletak di jalur gempa itu—amat parah. Struktur candi bergeser, dan sejumlah batu runtuh.
Sedangkan Tamansari yang berarsitektur campuran Jawa dan Portugis (dibangun 1765) antara lain retak atau runtuh di bagian Sumur Gumuling, Dermaga Manuk Beri, Gapura Agung, dan Pulo Cemeti. (AB3/HRD)
Sumber: Kompas, Selasa, 6 Maret 2007
No comments:
Post a Comment