Jakarta, Kompas - Hubungan Persia—sekarang Iran—dengan Nusantara erat dan berkesinambungan, setidaknya sejak 1.000 tahun lalu. Kedekatan itu ikut mewarnai khazanah sastra di Nusantara, antara lain terlihat dalam karya-karya Hamzah Fansuri.
Sastrawan Abdul Hadi WM mengungkapkan hal ini dalam seminar bertajuk "Hubungan longue duree antara Persia dengan Nusantara; Mozaik Pemikiran Hamzah Fansuri" di Jakarta, Rabu (28/3). Terlepas dari kontroversi yang mengitarinya, kata Abdul Hadi, Hamzah Fansuri adalah tokoh intelektual dan kerohanian terkemuka pada zamannya.
Dalam karya Hamzah Fansuri banyak petikan ayat Al Quran, hadis Nabi, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis sufi Arab-Persia. Begitu juga tamsil dan simbolik yang biasa digunakan penyair sufi Arab dan Persia.
Hal senada juga dikemukakan Nabilah Lubis, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hamzah Fansuri dinilainya merupakan pujangga Islam populer di masanya. Nada dan contoh-contoh syair Hamzah Fansuri menjadi teladan bagi sastrawan lainnya. Tidak sebatas pada abad XVII-XVIII, melainkan juga sampai abad XX. Sejumlah penulis zaman modern juga mengambil semangat dari syair-syair Hamzah Fansuri, sebut saja seperti karya Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
Hamzah Fansuri berasal dari Barus, Sumatera Utara, dan kemunculannya dikenal pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah di Aceh pada penghujung abad XVI (1588-1604). Hamzah Fansuri merupakan pelopor di bidang kesusastraan dan spiritual. Syair-syair Hamzah Fansuri tercatat antara lain dalam buku Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, dan Syair Perahu. Ia juga menulis kitab-kitab bahasa Arab dan Persia sebagai buku telaahnya.
Menurut Achdiati Ikram, guru besar filologi yang banyak menelaah bidang sastra Melayu dari Universitas Indonesia, Persia memang memberi pengaruh luas dan mendalam pada kebudayaan Islam. Pengaruh ini baik dalam bidang etika, estetika, spiritual, dan material. Bahkan, penyerapan unsur Persia sedemikian menyatu sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam. Di Nusantara, pengaruh itu terasa kental di bidang kesusastraan.
Banyak tema dalam hikayat (sastra khas Melayu) yang diambil dari sastra Persia, seperti terdapat dalam Hikayat Indraputra, suatu hikayat yang digemari dan tersebar dalam berbagai sastra Nusantara. Bagitu juga Taj al-Salatin (Mahkota Raja-Raja) yang mengandung unsur Persia lantaran berisi bagian yang menetapkan syarat bagai raja yang baik menurut model Persia.
Pengaruh Persia di bidang ilmu pemerintah dapat dilihat pula dalam karangan Raja Ali Haji dari abad XIX, yaitu Thammarat al- Muhimmah, yang menggambarkan sifat dan kewajiban raja ideal sesuai dasar kerajaan di Persia.
Hubungan dekat
Claude Guillot, peneliti asal Perancis yang menjadi pembicara kunci dalam seminar, mengungkapkan bahwa orang Persia punya peran utama dalam hubungan bagian timur dan barat Asia melalui Jalan Sutra. "Pada abad V terdapat permukiman orang Persia di Semenanjung Melayu," ujarnya.
Di Nusantara, barang-barang seperti mangkok, piring, pecah belah berglasir, dan benda-benda lain asal Persia dari abad VIII-XV banyak ditemukan di banyak situs di bagian barat Nusantara. Selain itu, pada abad XV, bahasa Persia juga digunakan oleh golongan terpelajar di kota pelabuhan besar di Sumatera, seperti Pasai dan Barus. "Hubungan dagang, agama, dan budaya yang erat membuat pengaruh Persia tidak dapat diremehkan lantaran ikut menentukan unsur yang mewarnai Melayu," kata Claude.
Bagi Amir Abdolli, Atase Kebudayaan dan Pendidikan Republik Islam Iran untuk Indonesia, hubungan Iran-Indonesia saat ini perlu terus ditingkatkan, baik dari aspek kebudayaan dan pendidikan maupun di bidang ekonomi. "Dalam bidang pendidikan telah dilaksanakan tukar-menukar mahasiswa antarperguruan tinggi di kedua negara. Dijadwalkan pula pembukaan kursus bahasa Indonesia di Universitas Teheran," katanya. (INE)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Maret 2007
No comments:
Post a Comment