Jakarta, Kompas - Komunitas masyarakat hukum adat berhak menuntut setiap pemerintah daerah masing-masing untuk menetapkan wilayah adat mereka. Sebab, perlindungan negara terhadap entitas masyarakat hukum adat sudah diberikan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
"Prasyarat yang dapat ditetapkan sebagai wilayah adat berupa wilayah yang tidak ditujukan untuk kegiatan komersial, tetapi benar-benar wilayah yang dipergunakan untuk menghidupi komunitas pada masyarakat adat yang bersangkutan," kata pakar hukum pertanahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Maria Soemardjono SW, Kamis (22/3), saat dihubungi di Yogyakarta.
Maria dimintai tanggapannya sehubungan dengan hasil Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Pontianak, 17-21 Maret 2007, di mana masyarakat adat belum menemukan posisi tawar di depan negara.
Menurut mantan dekan Fakultas Hukum UGM itu, penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Pada umumnya, katanya, hukum adat tidak tertulis dan tidak perlu dijadikan tertulis, kecuali dikehendaki oleh masyarakat hukum adat sendiri.
Saat ini sudah ada dua contoh peraturan daerah yang menetapkan dan mengatur wilayah adat, yaitu bagi masyarakat hukum adat Lundayah, Nunukan, Kalimantan Timur, dan masyarakat adat Baduy di Lebak, Banten.
"Yang perlu didorong, partisipasi politik masyarakat adat mau mendorong setiap pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah guna perlindungan eksistensi masyarakat adat," kata Maria sambil menambahkan, tahun 2006 Presiden menjanjikan membentuk UU yang komprehensif tentang masyarakat adat. "Saatnya ditagih sekarang."
Struktur berubah
Sekretaris Bersama Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Budi Arif mengatakan, eksistensi masyarakat hukum adat kini sudah dihancurkan oleh sistem yang dikembangkan pemerintah. Pembentukan rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan provinsi benar-benar menghancurkan kearifan lokal dalam membentuk struktur sosial dan pemerintahannya.
"Masyarakat adat di Aceh kini sedang merevitalisasi kearifan lokal tentang struktur sosial yang sebelumnya pernah ada, seperti kampung untuk satuan wilayah terkecil. Kumpulan beberapa kampung kemudian membentuk mukim," katanya.
Revitalisasi struktur sosial ini terkait dengan penetapan kesatuan wilayah adat. Penetapan wilayah adat untuk penanganan sumber daya alam. (NAW)
Sumber: Kompas, Jumat, 23 Maret 2007
No comments:
Post a Comment