-- Zacky Khairul Umam*
"Indonesia pada abad ke-21 akan menjadi negara maju dan sejahtera. Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, produktif, memiliki daya saing, serta mampu mengelola seluruh kekayaan alam dan sumber daya lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang." Itu pernyataan Presiden Yudhoyono (22/3) menanggapi kerangka dasar Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan resmi di Istana Negara yang dihadiri ratusan pejabat, elite, dan tokoh nasional.
Capaian yang dinyatakan dalam Visi Indonesia 2030, meliputi empat hal, yakni pertama, Indonesia akan masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar US$18 ribu per tahun. Itu berarti Indonesia berada di posisi setelah China, India, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia akan masuk daftar 500 perusahaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang berkelanjutan. Dan keempat, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata.
Visi Indonesia 2030 itu baru sekedar impian ekonomi pembangunan bangsa. Tentu saja hal itu bukan diletakkan sebagai gebrakan semata, melainkan sebagai komitmen bersama melalui aksi strategis yang menyeluruh. Optimisme bangsa harus diletakkan sebagai prakondisi yang mutlak. Tujuan utama yang dicapai sesungguhnya ekuivalen dengan tujuan pembangunan milenium (MDGs) dan/atau pembangunan berkelanjutan mondial, terutama masalah pemberantasan kemiskinan menuju taraf kesejahteraan bangsa.
Landasan ekonomi yang kuat atau berdikari (berdiri di atas kaki sendiri ala Soekarno) merupakan syarat bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Roda perekonomian menjadi semacam 'hukum besi' bagi fundamen kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, betapapun pentingnya landasan ekonomi yang kuat, harus ada elemen yang lebih mendasar untuk memacu perubahan kebangsaan. Ibaratnya, jika ekonomi ialah bagian dari perangkat keras, perangkat lunaknya pun harus diubah, ditransformasikan, dan dibentuk dalam cita-cita kemajuan.
Yakni, sebuah karakter atau watak kultural kebangsaan yang menjadi struktur bawah sadar yang menentukan sifat alamiah bangsa itu sendiri. Karakter kultural itu tidak dapat dikuantifikasi maju atau tidaknya, sebagaimana ukuran digital yang jelas laiknya kita memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Standarisasi perubahan yang masuk wilayah kebudayaan tidak bisa direduksi dalam deretan angka yang bersifat linier/positivistik. Apalagi di saat langgam perubahan banyak dipengaruhi logika ekonomi hasrat (libidinal economy), kesadaran untuk mewaspadainya dalam ruang kultural mesti dilakukan justru untuk menghindari klaim ekonomis dari kemajuan kebudayaan bangsa.
Yang saya maksud dengan karakter sebagai perangkat lunak ini merupakan agregat dari berbagai kemajemukan (baca: multikulturalisme) yang tidak bisa diukur secara pukul rata antaridentitas kultural yang berbeda. Oleh karena itu, nation character building sesungguhnya bukan rencana pembangunan yang dominatif dan hegemonik. Ukuran-ukuran kemajuan kebudayaan justru bersifat nisbi dan partikular.
Dalam komunitasnya yang partikular, manusia bertindak sebagai subyek, 'sang pencari makna hidup', yang tidak bisa disubordinasi oleh (politik/strategi) kebudayaan yang adiluhung. Dengan kata lain, manusia menjadi peziarah nilai hidup yang dirajut untuk menjalani hidup dalam tingkatan-tingkatan common sense (akal sehat), ilmu pengetahuan, estetika, dan agama. Hal itu harus disadari untuk menafsir kaitan antara kapital, tekonologi informasi, dan hasrat ekonomi konsumtif dalam dinamika kebudayaan kini (Mudji Sutrisno, 2007).
Multikulturalisme memberikan pemahaman bahwa hakikat kebudayaan yang eksistensial justru terletak pada bagaimana membiarkan dinamika berjalan tanpa melalui suprastruktur politis atau kekuasaan yang terlampau bertindak sebagai panoptikon yang mengawasi berbagai aspek. Kenyataan multikultur mesti disadari sebagai labirin bagi kehidupan yang saling mengisi, bukan mengontrol dan menghakimi.
Aspek kehidupan sosial kultural itu yang harusnya juga diperhatikan. Pluralisme yang kini berkembang hanya sebatas pada pengakuan koeksisten atas kemajemukan dan mesti dikembangkan lebih lanjut untuk menopang kesadaran proeksisten dalam struktur masyarakat multikultural.
Menafsir peradaban keindonesiaan, oleh karenanya, berarti menafsir tentang beribu isi kepala masyarakat Indonesia dalam menentukan nilai yang selalu bersifat dinamis. Kini, perdebatan tentang hakikat esensial kebudayaan, seperti polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane era 1930-an, tidak lagi substansial. Justru yang lebih penting ialah prinsip dinamika itu sendiri yang tidak hadir melalui perspektif esensialitas yang selalu bersifat tunggal, monolitik, dan sebangun.
Dan di tengah arus informasi yang amat cepat, yang diperlukan ialah kesadaran dan kewaspadaan dalam melakukan filter dan pemilahan, karena yang hadir ialah pertautan simbolik yang semu. Antara nilai-nilai kebaikan dan keburukan sudah bercampur sedemikian rupa sehingga kita sering terkecoh dalam hiperrealitas yang menipu. Kewaspadaan---mungkin melalui nilai-nilai kearifan lokal, agama, atau akal sehat---mutlak menjadi wahana kolektif bangsa di tengah pendulum kapitalisme lanjut yang merambah relung-relung kebudayaan kita. Yang baik justru tidak terserap pada simulakra simbolik dari berbagai realitas yang semu, seperti konsumerisme, dan selebihnya mampu menyerap makna hidup dari deretan informasi yang masuk kehidupan sehari-hari.
Praktis, dari setiap diri kita, tidak lekang dari pengaruh faktor-faktor ekonomis yang selalu berusaha menyaingi kebudayaan kita. Atau lebih khususnya lagi, kadang kita terjebak dalam menentukan sesuatu melalui ukuran-ukuran yang konsumeristik tanpa mau bersusah payah mempertahankan kebersahajaan dan prinsip hidup yang cukup. Sistem kapital yang merambah dengan strategi-strategi monopolistik hadir mempengaruhi cara berpikir masyarakat tentang pentingnya hasrat kapital yang instan persis tanpa mau berpikir panjang akibat buruknya.
Untuk itu, perlu kita renungkan bahwa setiap hari, bahkan setiap detik, ruang kebudayaan kita (baca: cara mencari makna hidup) padat dipenuhi gegap gempita informasi yang berjejal dan tatkala tidak diwaspadai, ruang refleksi sosial menjadi tumpul.
Memenuhi Visi Indonesia 2030 itu, aspek kultural tidak bisa diprioritaskan paling belakang. Kalau perlu diurutkan dalam agenda primer. Sehingga, penting membentuk habitus baru. Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak harus disadari. Tindakan praktis itu menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Pierre Bourdieu, dan Haryatmoko, 2007)
Mentransformasi habitus berarti mentransformasi kultur peradaban. Habitus corruptio, misalnya, harus diubah sebagai sebuah sesat moral dan defisit sosial. Bangsa yang baik tumbuh besar melalui komitmen publik untuk menghindari pelbagai kejahatan, karena ada sebuah kaidah yang menyatakan corruptio optimi pessima (kejahatan oleh orang baik merupakan kejahatan yang terburuk). Habitus yang lebih penting ialah memelihara etos kebudayaan sebagai aspek immaterial bagi spirit etik kemajuan bangsa.
Jadi, ekonomi pembangunan pada Visi Indonesia 2030 bukan satu-satunya pilar kemajuan bangsa, sementara pilar fundamental karakter kebangsaan dan kewargaan dikesampingkan. Akan menjadi lebih paradoks lagi tatkala etos pertumbuhan ekonomi dipakai untuk meneropong etos kebudayaan multikultural yang jelas-jelas tidak membutuhkan deretan angka-angka.
* Zacky Khairul Umam, peneliti di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya UI, Jakarta
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Maret 2007
No comments:
Post a Comment