Tuesday, March 27, 2007

Kumpulan Cerpen dari Kudus

 Oleh Anita Retno Lestari

 

BARU-BARU ini Gapuraja Media, sebuah penerbit yang tergolong baru di Kudus, telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul The Regala 204B. Peristiwa ini sangat menarik karena sejak dulu Kudus dikenal sebagai kota kretek yang cenderung materialistis sehingga nyaris “alergi” terhadap kesusastraan.


The Regala 204B, kumpulan cerpen (2007).
Memang, di Kudus ada Keluarga Penulis Kudus (KPK) yang berdiri pada awal dekade 90-an, tetapi sampai sekarang hanya menghasilkan buku-buku tipis kumpulan  puisi untuk kalangan sendiri. Padahal, KPK memiliki anggota yang produktif menulis puisi seperti Mukti Sutarman Espe. Nama ini sampai sekarang belum juga berani menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal, padahal sudah ratusan puisi dipublikasikan di berbagai media cetak.

Di Kudus juga ada penulis produktif Maria Magdalena Bhoernomo yang telah menulis sekitar 1.000 judul cerpen. Penulis ini justru gembira dengan terbitnya kumpulan cerpen tersebut, yang tidak memuat satu pun karyanya. Menurut dia, hal ini layak disyukuri karena bisa menjadi bukti bahwa ada penerbit di Kudus yang lebih suka menerbitkan karya penulis-penulis daerah lain sehingga dengan demikian akan membangkitkan interaksi budaya yang lebih luas.

Buku kumpulan cerpen tersebut memuat 11 judul cerpen  karya Indarpati, Nera Andiyanti, Anita Kristianasari, St Fatimah, Abdullah Khusairi, Joko Nugroho, Fitri Mayani, Ragdi F Daye, Sunly Thomas Alexander, Nursalam  AR, dan Udo Z Karzi. Nama-nama ini merupakan penulis muda. Kata pengantarnya ditulis oleh Profesor Arief Budiman. Sementara, cerpenis Semarang S Prasetyo Utomo sebagai penyeleksi.

Buku kumpulan cerpen tersebut konon dipersembahkan untuk kaum marjinal, maka cerpen-cerpen yang dimuat memiliki tema-tema mengenai kehidupan seputar kaum marjinal. Dan menurut pihak penerbit, sebagian hasil penerbitannya akan disumbangkan untuk kaum yang membutuhkannya. Hal ini menujukkan optimisme penerbit yang luar biasa, tetapi mungkin akan terkesan sumir bagi telinga kalangan penerbit di daerah lain yang sering kecewa karena usahanya menerbitkan buku-buku sastra (khususnya kumpulan cerpen) selalu merugi.

Terbitnya buku kumpulan cerpen di Kudus tersebut layak dicatat karena terkesan berani mengambil risiko rugi dengan bermodalkan optimisme meraup untung yang akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan. Meski terkesan sumir, hal ini harus dihargai. Sebab, di banyak daerah, sudah banyak penerbit yang merugi menerbitkan buku kumpulan cerpen, kecuali penulisnya selebriti dengan dukungan promosi yang gencar dan melibatkan berbagai macam sponsor.

Jika dikaitkan dengan perkembangan kesusastraan Indonesia, usaha penerbitan buku  kumpulan  cerpen  patut mendapat respons positif bagi kalangan guru sastra dan mahasiswa fakultas sastra, karena bisa memperkaya perpustakaan pribadinya. Mungkin karena itulah, dalam catatan untuk buku kumpulan cerpen  tersebut, pihak penerbit menyebut sejumlah tokoh dan lembaga pendidikan yang ada di Jawa Tengah.

Maksudnya, mungkin hendak menyapa banyak pihak agar bersedia mendukung penerbitan buku kumpulan cerpen  tersebut. Pada saat ini, memang banyak orang membeli buku dengan maksud membantu pihak penerbitnya, atau tidak untuk dibaca sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika ada tokoh politik misalnya yang tiba-tiba membeli sekian eksemplar buku untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan anak buahnya.

Adanya pihak yang bersedia belanja banyak buku, tentu akan mendukung perkembangan penerbitan buku (khususnya buku sastra), apalagi jika hal ini bisa menjadi tradisi atau fenomena baru di tengah masyarakat kita. Dengan demikian, sikap optimisme penerbit buku kumpulan cerpen tersebut bisa jadi tidak perlu dianggap sumir karena tujuannya memang hendak mentradisikan belanja buku besar- besaran untuk dibagi-bagikan kepada kolega atau komunitasnya. Misalnya, tujuan ingin menyumbangkan sebagian hasil penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut bisa benar-benar terwujud jika misalnya Bupati Kudus dan seluruh anggota DPRD Kudus serta kalangan pengusaha rokok di Kudus bersedia membeli sekian ribu eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan warga Kudus yang miskin agar mereka juga bisa mengenal karya sastra yang temanya seputar kehidupan mereka yang notabene marjinal.

Dan, akan lebih hebat lagi jika misalnya Gubernur Jateng bersama jajaran eksekutif dan legislatif serta rektor-rektor perguruan tinggi di Jawa Tengah juga bersedia membeli buku kumpulan cerpen tersebut untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak jalanan dan kaum gelandangan yang begitu banyak di sudut-sudut Kota Semarang.

Memang, yang terpapar di atas bisa jadi masih merupakan impian, tetapi bukan tidak mungkin benar-benar menjadi kenyataan jika pihak penerbit buku kumpulan cerpen tersebut sangat bersemangat ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan yang sebagian akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.

Dalam ranah sastra, segala impian selalu sah-sah saja untuk dikemas menjadi sesuatu yang menimbulkan optimisme. Dan jika menilik data empiris, setiap dekade selalu bermunculan banyak orang yang ingin mewujudkan impiannya dengan karya sastra. Misalnya, selalu saja ada penulis dan penerbit yang bersemangat menerbitkan karya- karya sastra, meskipun pada akhirnya harus gigit jari. Hal ini sudah menjadi fenomena klasik.

Oleh karena itu, jika misalnya penerbit kumpulan  cerpen tersebut merugi, mungkin tidak akan membuatnya kapok. Namanya saja usaha, segalanya harus dicoba. Untung dan buntung itu risiko logis. Maka, ada baiknya setiap penerbit memang sudah memperhitungkan semua risiko yang bakal terjadi.

Dan, untuk mencegah buntung, penerbit buku-buku sastra memang seharusnya didukung modal finansial dan modal sosial. Yang dimaksud modal finansial adalah biaya penerbitan yang berasal dari banyak kalangan. Sementara, yang dimaksud modal sosial adalah dukungan masyarakat luas yang bersedia membeli dan membaca buku.

Modal finansial dan modal sosial harus sama-sama mendukung penerbitan buku-buku sastra semacam buku kumpulan cerpen  tersebut, agar sastra kita tidak selamanya terasing di negeri sendiri. []

 

------------------ 
Anita Retno Lestari,Penggiat Komunitas Sastradipati dan Kelompok Studi Humaniora Tinggal di Pati, Jawa Tengah.

 

Sumber: Kompas, 38 Maret 2007

No comments: