Oleh Anita Retno Lestari
BARU-BARU ini Gapuraja Media, sebuah penerbit yang tergolong baru di Kudus, telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul The Regala 204B. Peristiwa ini sangat menarik karena sejak dulu Kudus dikenal sebagai kota kretek yang cenderung materialistis sehingga nyaris “alergi” terhadap kesusastraan.
Memang, di Kudus ada Keluarga
Penulis Kudus (KPK) yang berdiri pada awal dekade 90-an, tetapi
sampai sekarang hanya menghasilkan buku-buku tipis kumpulan puisi untuk
kalangan sendiri. Padahal, KPK memiliki anggota yang produktif menulis puisi
seperti Mukti Sutarman Espe. Nama ini sampai sekarang belum juga berani
menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal, padahal sudah ratusan puisi
dipublikasikan di berbagai media cetak. The Regala 204B, kumpulan cerpen (2007).
Di Kudus juga ada penulis
produktif Maria Magdalena Bhoernomo yang telah menulis sekitar 1.000
judul cerpen. Penulis ini justru gembira dengan terbitnya kumpulan cerpen tersebut,
yang tidak memuat satu pun karyanya. Menurut dia, hal ini layak disyukuri
karena bisa menjadi bukti bahwa ada penerbit di Kudus yang lebih suka
menerbitkan karya penulis-penulis daerah lain sehingga dengan demikian akan
membangkitkan interaksi budaya yang lebih luas.
Buku kumpulan cerpen tersebut
memuat 11 judul cerpen karya Indarpati, Nera Andiyanti, Anita
Kristianasari, St Fatimah, Abdullah Khusairi, Joko Nugroho, Fitri Mayani, Ragdi
F Daye, Sunly Thomas Alexander, Nursalam AR, dan Udo Z Karzi. Nama-nama ini merupakan
penulis muda. Kata pengantarnya ditulis oleh Profesor Arief Budiman. Sementara,
cerpenis Semarang S Prasetyo Utomo sebagai penyeleksi.
Buku kumpulan cerpen tersebut
konon dipersembahkan untuk kaum marjinal, maka cerpen-cerpen yang
dimuat memiliki tema-tema mengenai kehidupan seputar kaum marjinal. Dan menurut
pihak penerbit, sebagian hasil penerbitannya akan disumbangkan untuk kaum yang
membutuhkannya. Hal ini menujukkan optimisme penerbit yang luar biasa, tetapi
mungkin akan terkesan sumir bagi telinga kalangan penerbit di daerah lain yang
sering kecewa karena usahanya menerbitkan buku-buku sastra (khususnya kumpulan cerpen)
selalu merugi.
Terbitnya buku kumpulan cerpen di Kudus tersebut
layak dicatat karena terkesan berani mengambil risiko rugi dengan bermodalkan
optimisme meraup untung yang akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.
Meski terkesan sumir, hal ini harus dihargai. Sebab, di banyak daerah, sudah
banyak penerbit yang merugi menerbitkan buku kumpulan cerpen, kecuali
penulisnya selebriti dengan dukungan promosi yang gencar dan melibatkan
berbagai macam sponsor.
Jika dikaitkan dengan perkembangan
kesusastraan Indonesia, usaha penerbitan buku kumpulan cerpen
patut mendapat respons positif bagi kalangan guru sastra dan mahasiswa fakultas
sastra, karena bisa memperkaya perpustakaan pribadinya. Mungkin karena itulah,
dalam catatan untuk buku kumpulan cerpen tersebut, pihak penerbit
menyebut sejumlah tokoh dan lembaga pendidikan yang ada di Jawa Tengah.
Maksudnya, mungkin hendak menyapa banyak
pihak agar bersedia mendukung penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut.
Pada saat ini, memang banyak orang membeli buku dengan maksud membantu pihak
penerbitnya, atau tidak untuk dibaca sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu
heran jika ada tokoh politik misalnya yang tiba-tiba membeli sekian eksemplar
buku untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan anak buahnya.
Adanya pihak yang bersedia belanja banyak
buku, tentu akan mendukung perkembangan penerbitan buku (khususnya buku
sastra), apalagi jika hal ini bisa menjadi tradisi atau fenomena baru di tengah
masyarakat kita. Dengan demikian, sikap optimisme penerbit buku kumpulan cerpen tersebut
bisa jadi tidak perlu dianggap sumir karena tujuannya memang hendak
mentradisikan belanja buku besar- besaran untuk dibagi-bagikan kepada kolega
atau komunitasnya. Misalnya, tujuan ingin menyumbangkan sebagian hasil
penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut bisa benar-benar
terwujud jika misalnya Bupati Kudus dan seluruh anggota DPRD Kudus serta
kalangan pengusaha rokok di Kudus bersedia membeli sekian ribu
eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan warga Kudus yang
miskin agar mereka juga bisa mengenal karya sastra yang temanya seputar
kehidupan mereka yang notabene marjinal.
Dan, akan lebih hebat lagi jika misalnya
Gubernur Jateng bersama jajaran eksekutif dan legislatif serta rektor-rektor
perguruan tinggi di Jawa Tengah juga bersedia membeli buku kumpulan cerpen tersebut
untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak jalanan dan kaum gelandangan yang begitu banyak
di sudut-sudut Kota Semarang.
Memang, yang terpapar di atas bisa jadi
masih merupakan impian, tetapi bukan tidak mungkin benar-benar menjadi
kenyataan jika pihak penerbit buku kumpulan cerpen tersebut
sangat bersemangat ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan yang
sebagian akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.
Dalam ranah sastra, segala impian selalu
sah-sah saja untuk dikemas menjadi sesuatu yang menimbulkan optimisme. Dan jika
menilik data empiris, setiap dekade selalu bermunculan banyak orang yang ingin
mewujudkan impiannya dengan karya sastra. Misalnya, selalu saja ada penulis dan
penerbit yang bersemangat menerbitkan karya- karya sastra, meskipun pada
akhirnya harus gigit jari. Hal ini sudah menjadi fenomena klasik.
Oleh karena itu, jika misalnya
penerbit kumpulan cerpen tersebut merugi, mungkin tidak akan
membuatnya kapok. Namanya saja usaha, segalanya harus dicoba. Untung dan
buntung itu risiko logis. Maka, ada baiknya setiap penerbit memang sudah
memperhitungkan semua risiko yang bakal terjadi.
Dan, untuk mencegah buntung, penerbit
buku-buku sastra memang seharusnya didukung modal finansial dan modal sosial.
Yang dimaksud modal finansial adalah biaya penerbitan yang berasal dari banyak
kalangan. Sementara, yang dimaksud modal sosial adalah dukungan masyarakat luas
yang bersedia membeli dan membaca buku.
Modal finansial dan modal sosial harus
sama-sama mendukung penerbitan buku-buku sastra semacam buku kumpulan cerpen tersebut,
agar sastra kita tidak selamanya terasing di negeri sendiri. []
------------------
Anita Retno Lestari,Penggiat Komunitas Sastradipati dan Kelompok Studi
Humaniora Tinggal di Pati, Jawa Tengah.
Sumber: Kompas, 38 Maret 2007
No comments:
Post a Comment