BANYAK karya-karya sastra masih menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut membuat pencitraan negatif pada perempuan. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis terlibat dalam kekerasan, penindasan, perkosaan, dan pengucilan.
Di sisi lain, sebenarnya ada banyak jalan bagi perempuan untuk "melawan". Jalan cerita perceraian atau pemurtadan, bisa saja dilakukan penulis perempuan. Perlawanan itu mungkin berhasil, bisa juga tidak, meski pada akhirnya nan- ti sangat menyakitkan. Pada akhirnya perempuan menjadi apologetik.
Demikian disampaikan Novelis Ayu Utami, dalam diskusi bertemakan "Perempuan dan Agama dalam Sastra, Pengalaman Indonesia dan Kanada" di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (22/3). Selain Ayu Utami, diskusi ini juga menampilkan nara sumber : Camilla Gibb, penulis Sweetness in The Belly, Abidah El Khaliqy, penulis Geni Jora dan Kritikus Sastra Maman S Mahayana.
Selain apologetik, kata Ayu, perempuan dapat mencari pembenaran atas nilai- nilai kebenaran. Tetapi perempuan terkadang berusaha menghindar, pergi dari lingkungannya, melancarkan kritis halus, atau mengambil sikap tanpa kejelasan.
Di luar dugaan, dalam karya sastra, ada pilihan yang makin kompleks. Menginternalisasi penindasan untuk membuatnya menjadi fetis. Masokisme membuat penindasan menjadi erotis.
Di sisi lain, dalam apologisme, penindasan tidak diakui sebagai penindasan. Penindasan menjadi indah. Misalnya, novel erotis klasik The Story of O, yang mengisahkan perempuan bernama O. Penulisnya seorang perempuan bernama Pauline Reage, perempuan tokoh sastra dan jurnalis.
Tokoh O diserahkan oleh kekasihnya ke sebuah klub rahasia di Paris, untuk menjadi pelayan seks. Di klub itu, O jatuh ke tangan lelaki separuh baya. Kisah di balik ini merupakan roman, perempuan ditempatkan menjadi sebuah bayangan. Kekasih yang lelaki adalah tokoh utamanya.
Menurut Ayu Utami, sejak Sutan Takdir Alisyabana hingga Pramoedya Ananta Toer, sastra di Indonesia telah dibebani banyak tuntutan atas tema-tema universal. Penulis perempuan tidak banyak dikenal dan jumlahnya tidak sebanyak penulis laki- laki.
Ayu berpendapat penulis perempuan muncul di tepian, membawa sebuah persoalan interior, kegalauan tubuhnya sendiri, seperti Frida Kahlo terhadap Diego Riviera. Takdir berkata lain, seakan menawarkan modernisme barat.
Pramoedya mengusung agama baru, humanisme universal. Tidak satu pun roman besar bertema besar yang dituliskan perempuan dapat dikenang saat ini. Pemikir emansipasi, penulis kebangsaan hanyalah Kartini.
Di Indonesia, penulis perempuan tidak datang dengan perkara politik keras. Marianne Katoppo dan NH Dini, mempelopori tema feminis dalam sastra. Selain itu, ada segelintir nama lain lagi, misalnya, Mira W dan Marga T.
Penulis perempuan lebih cenderung dengan kisah-kisah romantis, yang tokoh -tokohnya nyaris tidak mempunyai latar sosial budaya yang begitu spesifik. Ayu Utami menulis ketika polemik kebudayaan telah lama lewat.
"Perdebatan seni untuk seni dan politik sebagai panglima telah usang, sebab banyak orang mulai mengetahui, bahwa hal itu bukan menjadi suatu pilihan. Gara-gara postmodernisme, orang mulai meragukan wacana besar," katanya.
Pertanyaan yang muncul, bagaimana pengarang perempuan mampu menyikapi problem kaumnya, begitu rumit dan kompleks tersebut?
Menurut kritikus sastra Maman S Mahayana, persoalan seks yang diangkat sebagai tema cerita merupakan salah satu bagian dari problem perempuan yang maha kompleks. Ada persoalan yang sebenarnya jauh lebih mendasar, yaitu pembongkaran pada akar masalah. Misalnya, kebudayaan dan agama harus diterjemahkan sebagaimana mestinya.
"Fenomena yang bisa dianggap semacam gerakan dalam sastra Indonesia diperlihatkan para novelis perempuan Indonesia pasca-Saman Ayu Utami. Jika Nh Dini dan Titis Basino sebagai penulis senior berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya," katanya.
Maman menambahkan Dewi Lestari lewat Suypernova (2001) juga berhasil memahatkan mainstream baru dalam peta novel Indonesia. Dia memasukkan deskripsi ilmiah sebagai bagian integral dalam cerita. Berikutnya, muncul pula Fira Basuki yang mengeluarkan novel Jendela-jendela (2001). Nama Fira ikut melengkapi peta novelis perempuan Indonesia.
Oleh karena itu, sastrawan perempuan Indonesia harus dapat mengangkat tema -tema yang bersumber dan bermuara dari problem gender. Sastrawan perempuan harus memperlihatkan kemampuannya.
Sastrawan perempuan harus mampu mengeksploitasi dan mengeksplorasi berbagai problem sosiokultural yang ada. Tanpa pendalaman keberagaman kultural, karya-karya mereka hanya dicatat sebagai karya yang baik, bukan monumental. [AHS/U-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 26 Maret 2007
No comments:
Post a Comment