SUMENEP (Media): Saat ini orang Madura telah kehilangan kemaduraannya. Suku Madura sepertinya tidak memiliki karakter, bahkan lebih menyerupai suku lain, sehingga tidak mampu mewarnai khazanah kebudayaan Indonesia.
Kritikan itu terlontar dari pengamat kebudayaan Madura D Zamawi Imron dalam Kongres Kebudayaan Madura (KKM) I yang berlangsung di Sumenep, Kabupaten Madura, Jawa Timur, kemarin.
Dalam kongres tersebut tampil pula pembicara lainnya Kadarisman Sastrodiwirjo, Prof Dr Mien Arifin, Dr Abdul Latif Wiyata, Ahmad Rozaki serta Huub de Jonge seorang sosiolog dari Universitas Nijmigen, Belanda.
Zamawi memberikan contoh dalam tata cara perkawinan, lebih banyak menggunakan adat Jawa dan Sunda ketimbang adat Madura. Termasuk pula menu makanan yang disajikan dalam pesta adat Madura. Demikian juga tradisi masyarakat Madura sebagai perantau, ketika hidupnya berhasil di perantauan, enggan kembali ke daerahnya.
''Mereka yang kembali ke Madura jumlahnya relatif sedikit. Mungkin karena adanya anggapan bahwa Pulau Madura sebagai kawasan yang gersang dan tidak dapat memberikan penghidupan yang layak.''
Di bagian lain, Mien Arifin lebih banyak memaparkan kekhasan suku Madura. Menurutnya, suku terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa dan Sunda adalah Suku Madura. Suku tersebut memiliki sistem kekerabatan yang kuat serta memiliki kepranataan yang dihayati sebagai pegangan hidup.
Salah satu ungkapan Madura populer yang sering dijadikan tuntunan falsafah kuasa atau urutan kepatuhan warga Madura adalah Bhupa, bhabu, guru, rato (kedua orang tua, sesepuh, guru, dan setelah itu baru raja atau pemerintah). Selain itu, dalam kehidupan sosial, warga Madura menjunjung tinggi asas kesetaraan, kebersamaan dalam perbedaan. (MG/Bay/H-4)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 11 Maret 2007
No comments:
Post a Comment