-- Abdul Gaffar Ruskhan*
ADA yang mengatakan bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu juga. Soalnya bukankah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu? Pertanyaan itu ada benar dan ada salahnya.
Jika kita kembali ke sejarah bahasa, memang bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Tidak ada yang membantah bahasa Indonesia yang diikrarkan pada Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan bersumber dari bahasa Melayu.
Pada masa itu dan jauh sebelumnya, bahasa Melayu sudah digunakan sebagai bahasa perdagangan/perhubungan di Nusantara ini. Karena itu, bahasa Indonesia dipilih sebagai bahasa persatuan di Indonesia.
Kalau begitu, mengapa bahasa Indonesia tidak disebut saja dengan bahasa Melayu Indonesia? Penamaan itu sudah berlaku di Malaysia dan Brunei Darussalam, yakni bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam. Persoalannya bukanlah sekadar historisnya. Segi politisnya sangat berperan dalam penamaan bahasa Indonesia.
Ada perbedaan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Brunei Darussalam. Kedua negara jiran itu pada dasarnya menggunakan bahasa Melayu dengan berbagai dialeknya. Tentu berbeda halnya dengan Indonesia.
Di Indonesia bahasa yang digunakan, baik sebelum maupun sesudah Sumpah Pemuda, bermacam-macam. Berdasarkan penelitian, ada 731 bahasa daerah. Dalam Linguistic Lists dikatakan 746 bahasa daerah yang dituturkan ratusan etnik di Indonesia. Karena keragaman bahasa yang dituturkan masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia tidak dapat disebut bahasa Melayu Indonesia. Jika hal itu digunakan, ada kemungkinan bahasa Indonesia merupakan dialek bahasa Melayu. Secara politis hal itu tidak dapat demikian. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara yang digunakan oleh lebih ratusan etnik di Indonesia. Karena itu, penamaan bahasa Indonesia merupakan pilihan politis bagi bangsa Indonesia.
Ada kemauan untuk menjadikan bahasa serumpun ini (bahasa Indonesia, Melayu Malaysia, dan Melayu Brunei Darussalam) menjadi bahasa resmi di kawasan tanah Serantau. Penggunaan bahasa Serantau diharapkan dapat memudahkan penyatuan ketiga bahasa negara ditambah bahasa Melayu Singapura di kawasan negara-negara itu.
Pada dasarnya penyatuan bahasa negara-negara Serantau sudah lama dirintis. Pada 1972 sudah ada kesepakatan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia dan Malaysia. Pada 1974 disepakati wadah kerja sama kebahasaan di antara dua negara, yakni Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (Mabim). Selanjutnya, keanggotaan wadah itu bertambah dengan masuknya Brunei Darussalam pada 1985. Nama wadahnya pun berganti dengan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim).
Kerja sama kebahasaan di tingkat tiga negara lebih banyak terlihat di bidang peristilahan. Ada sekira 350 ribu istilah yang dipadankan ke bahasa tiga negara. Kira-kira 70% istilah yang dipadankan memiliki kesamaan. Hal itu menunjukkan adanya kesamaan istilah yang digunakan. Istilah padanan disepakati dalam sidang pakar tiga negara. Pelaksanaan sidang itu berlangsung di negara anggota setiap tahun secara bergantian.
Perencanaan, kebijakan, dan berbagai keputusan majelis dilakukan pada Sidang Eksekutif Mabbim yang berlangsung setiap tahun di negara anggota secara bergantian juga. Biasanya sidang dilaksanakan menjelang pertengahan Maret setiap tahun. Pada tahun ini sidang diadakan di Malaysia. Sementara itu, tahun depan bertepatan dengan Tahun Bahasa dan 80 tahun Sumpah Pemuda sidang majelis akan diadakan di Indonesia.
Salah satu program majelis yang belum terlaksana adalah keinginan menjadikan bahasa Serantau sebagai bahasa resmi pada tingkat Asia Tenggara (ASEAN). Kendalanya adalah kurangnya dukungan dari negara lain, seperti Singapura dan negara-negara yang tidak memiliki bahasa Indonesia/Melayu sebagai bahasa resmi.
* Abdul Gaffar Ruskhan, Kabid Pengkajian Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 17 Maret 2007
No comments:
Post a Comment