Kembalikan Hak Masyarakat Lokal
JAKARTA, KOMPAS.com--Indonesia memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang bisa diolah menjadi beragam bentuk kreativitas. Sayangnya, berbagai bentuk kearifan lokal itu masih terabaikan dalam desain pembangunan bangsa ini.
Harian Kompas dan Bentara Budaya menggelar sarasehan dengan tema Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita di Bentara Budaya Jakarta, Senin (30/4). Hadir sebagai narasumber, Wakil Pemimpin Umum Kompas ST Sularto, Gubernur DIY dan Sultan Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, serta budayawan Sindhunata. (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Kekayaan dan kearifan lokal masyarakat menjadi barang komodifikasi yang dikuasai orang lain. Dalam pembangunan, masyarakat lokal kehilangan hak- haknya, mereka sulit mendapatkan akses ekonomi yang dibangun di atas tanah mereka.
”Isu strategis yang perlu dikerjakan pemerintah adalah bagaimana agar masyarakat lokal mendapatkan kembali hak-hak lokalnya,” kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dalam acara Sarasehan ”Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita” yang digelar Bentara Budaya Jakarta, Senin (30/4). Sarasehan juga dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Pemimpin Umum Harian Kompas ST Sularto, dan budayawan Sindhunata.
Hak lokal itu, menurut Sultan, bukan sekadar hak untuk mendapatkan akses ekonomi lokal, melainkan juga hak sosial budaya. Ia mencontohkan, suku Dayak di Kalimantan terpinggirkan ketika hutan yang menjadi lumbung untuk memenuhi hajat hidup mereka dirampas orang. Mereka tidak mampu bersaing dengan pendatang karena tidak punya kesempatan dididik hidup tanpa mengandalkan hutan.
Masyarakat di Indonesia timur, seperti Maluku, misalnya, tercerabut dari akar budaya maritim yang menjadi akar kebudayaan mereka. Penyebabnya, pembangunan Indonesia yang sebenarnya negara kepulauan sangat berorientasi pada daratan.
Mengangkat tradisi
Mari mengatakan, Kemenpar dan EK kini fokus mengembangkan kekayaan tradisi ke berbagai bentuk kreativitas. Kreativitas ini kemudian dimanfaatkan untuk memajukan masyarakat lokal berkelanjutan.
Pemimpin Umum Harian Kompas ST Sularto mengatakan, upaya untuk mengangkat budaya dan tradisi masyarakat sudah sejak lama dilakukan Bentara Budaya dan Kompas. Bentara Budaya memberikan tempat bagi para pelaku budaya yang terpinggirkan dan sulit menampilkan karya-karyanya.
Budayawan sekaligus salah satu penggagas berdirinya Bentara Budaya, Sindhunata, mengatakan, tantangan yang dihadapi sekarang adalah memformulasikan kembali bentuk seni tradisi agar diminati generasi penerus. Menurut Sindhunata, ”perkawinan” antara budaya tradisional dan modern akan menghidupkan kembali seni-seni tradisi yang sudah hampir punah. (IND)
Sumber: Kompas, Selasa, 1 Mei 2012
JAKARTA, KOMPAS.com--Indonesia memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang bisa diolah menjadi beragam bentuk kreativitas. Sayangnya, berbagai bentuk kearifan lokal itu masih terabaikan dalam desain pembangunan bangsa ini.
Harian Kompas dan Bentara Budaya menggelar sarasehan dengan tema Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita di Bentara Budaya Jakarta, Senin (30/4). Hadir sebagai narasumber, Wakil Pemimpin Umum Kompas ST Sularto, Gubernur DIY dan Sultan Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, serta budayawan Sindhunata. (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Kekayaan dan kearifan lokal masyarakat menjadi barang komodifikasi yang dikuasai orang lain. Dalam pembangunan, masyarakat lokal kehilangan hak- haknya, mereka sulit mendapatkan akses ekonomi yang dibangun di atas tanah mereka.
”Isu strategis yang perlu dikerjakan pemerintah adalah bagaimana agar masyarakat lokal mendapatkan kembali hak-hak lokalnya,” kata Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dalam acara Sarasehan ”Kekayaan Tradisi dan Masa Depan Keindonesiaan Kita” yang digelar Bentara Budaya Jakarta, Senin (30/4). Sarasehan juga dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Pemimpin Umum Harian Kompas ST Sularto, dan budayawan Sindhunata.
Hak lokal itu, menurut Sultan, bukan sekadar hak untuk mendapatkan akses ekonomi lokal, melainkan juga hak sosial budaya. Ia mencontohkan, suku Dayak di Kalimantan terpinggirkan ketika hutan yang menjadi lumbung untuk memenuhi hajat hidup mereka dirampas orang. Mereka tidak mampu bersaing dengan pendatang karena tidak punya kesempatan dididik hidup tanpa mengandalkan hutan.
Masyarakat di Indonesia timur, seperti Maluku, misalnya, tercerabut dari akar budaya maritim yang menjadi akar kebudayaan mereka. Penyebabnya, pembangunan Indonesia yang sebenarnya negara kepulauan sangat berorientasi pada daratan.
Mengangkat tradisi
Mari mengatakan, Kemenpar dan EK kini fokus mengembangkan kekayaan tradisi ke berbagai bentuk kreativitas. Kreativitas ini kemudian dimanfaatkan untuk memajukan masyarakat lokal berkelanjutan.
Pemimpin Umum Harian Kompas ST Sularto mengatakan, upaya untuk mengangkat budaya dan tradisi masyarakat sudah sejak lama dilakukan Bentara Budaya dan Kompas. Bentara Budaya memberikan tempat bagi para pelaku budaya yang terpinggirkan dan sulit menampilkan karya-karyanya.
Budayawan sekaligus salah satu penggagas berdirinya Bentara Budaya, Sindhunata, mengatakan, tantangan yang dihadapi sekarang adalah memformulasikan kembali bentuk seni tradisi agar diminati generasi penerus. Menurut Sindhunata, ”perkawinan” antara budaya tradisional dan modern akan menghidupkan kembali seni-seni tradisi yang sudah hampir punah. (IND)
Sumber: Kompas, Selasa, 1 Mei 2012
No comments:
Post a Comment