Judul : Allah, Liberty and Love: The Courage to Reconcile Faith and Freedom
Penulis : Irshad Manji
Penerbit : Free Press, Juni 2011
Tebal : xxv + 261 hlm
IRSHAD Manji adalah sang reformis Islam yang tak kenal menyerah. The New York Times menyebut dirinya "mimpi buruk Osama bin Laden", sementara The Jakarta Post mengidentifikasi dirinya sebagai satu di antara tiga perempuan yang menciptakan perubahan positif di dalam Islam kontemporer. Pemenang Chutzpah Award pertama Oprah Winfrey ini berani berpikir dan menyiarkan pikiran pembaruannya kepada publik (umat Islam), yang di satu sisi menentangnya habis-habisan bahkan mengancam akan membunuhnya, tetapi di sisi lain justru mendapat sambutan hangat dari para aktivis demokrasi.
Buku terdahulunya, The Trouble with Islam Today: A Muslim's Call for Reform in Her Faith, menjadi karya best seller dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Di dalam buku tersebut, wartawan dan feminis asal Kanada ini tampil sebagai seorang anak muda yang marah. Namun, di dalam buku terbarunya ini dia beralih dari kemarahan menuju aspirasi.
Di dalam Allah, Liberty and Love, Irshad Manji membuka sebuah jalan untuk muslim dan nonmuslim untuk mengangkat rasa takut yang menghentikan begitu banyak orang dari hidup bersama kemuliaan menuju integritas Tuhan: rasa takut mengganggu orang-orang lain di sebuah dunia multikultural sebaik dengan rasa takut untuk mempertanyakan komunitas kita sendiri. Dia menunjukkan bagaimana siapa pun dari kita bisa merukunkan agama dengan kebebasan dan secara demikian menemukan Allah dari kemerdekaan dan cinta—Tuhan universal yang mencintai kita cukup memberi kita pilihan-pilihan dan kesanggupan kita mewujudkan mereka.
Dia mengajarkan bagaimana kita memulai pada suatu perjalanan personal menuju keberanian moral–keinginan berbicara ketika setiap orang yang lain ingin membungkam kita. Menurut pengakuannya, seorang temannya yang agnostik memperkenalkan dirinya kepada konsep “keberanian moral,” suatu frasa yang tak pernah didengarnya sebelumnya. Keberanian moral yang digagas oleh Robert F. Kennedy digambarkan sebagai keinginan menuturkan kebenaran kepada kekuasaan di dalam komunitasmu demi kepentingan suatu kebaikan yang lebih besar. Keberanian moral memungkinkan kita untuk mengetuk kesadaran kita, untuk menempatkan kembali konformitas dengan individualitas dan menarik lebih dekat ke Sumber yang menciptakan kita dengan pendekatan untuk mengetahui diri kita sendiri. "Itu menyingsingkan kesadaranku betapa perlunya keberanian moral bagi setiap orang yang ingin hidup bersama keseluruhan—integritas—apakah di dalam suatu tradisi agama atau di luar agama sekaligus. (hlm. xxi-xxii).
Keberanian moral, menurut Irshad Manji, adalah tantangan buat zaman kita. Muslim dan nonmuslim yang hidup di dalam demokrasi mesti mengembangkan punggung untuk memperluas kebebasan individual, bukan menghalanginya, karena tanpa kebebasan berpikir dan berekspresi tak bisa ada integritas diri atau integrasi masyarakat. (xxiii). Ketika muncul perdebatan yang buruk seputar pendirian masjid dekat Ground Zero di New York City, Manji bereaksi begini, "Di dalam suatu lingkungan emosional yang dalamnya para individu membeku ke dalam suku-suku bangsa, keberanian moral kadangkala mirip sebuah mimpi berteriak" (hlm. xxiv).
Keberanian moral, kata Manji, diperlukan secara mendesak, dan itu dimulai dengan cinta. Meskipun untuk menjadi berani nan sejati, cinta membutuhkan untuk ditemani dengan serangkaian pertanyaan. Demi memperkuat dirinya, Manji bersandar pada dua hal. Pertama, hampir setiap jus Alquran dibuka dengan memuji Allah sebagai "maha pengasih dan maha penyayang". Kedua, Alquran yang memiliki tiga kali lipat ayat-ayat yang mendesak muslim untuk berpikir ketimbang mempromosikan keyakinan buta. Mengombinasikan seruan kitab suci untuk menggunakan pikiranku dengan penegasan dari Allah sebagai kebajikan tertinggi, dan aku beroleh sebuah jalan untuk mendamaikan Allah, kebebasan dan cinta. (hlm. xxv)
Buku ini diawali dengan suatu introduksi bertajuk Dari Kemarahan Menuju Aspirasi, untuk kemudian disusul dengan tujuh esai ilmiah yang bertolak dari pengalamannya di dalam parit-parit untuk berbagi cerita yang pedih secara mendalam, sering lucu dan selalu menyingkapkan tentang zaman yang dibingungkan secara moral ini. Ketujuh esai itu adalah: (1) Some things are more important than fear; (2) Identity can trap you, but integrity will set you free; (3) Culture is not sacred; (4) You define your honor; (5) Offense is the price of diversity; (6) In times of moral crisis, moderation is a cop-out; (7) Lack of meaning is the real death threat. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan bacaan-bacaan yang dianjurkan dan indeks.
Sejumlah pujian diberikan terhadap buku ini. Fareed Zakaria menuturkan, “Irshad Manji tak pernah menyerah. Di dalam Allah, Liberty and Love, dia menuturkan pergulatan lanjutannya untuk suatu reformasi Islam nan autentik, sesuatu yang berakar secara mendalam di dalam tradisi Islam sendiri. Manji berada di garis depan dari sejumlah tren penting yang secara krusial secara perlahan mengubah dunia Islam.” N.J. Dawood, penerjemah Alquran, berkomentar begini, "Irshad Manji sekali lagi menunjukkan dirinya menjadi seorang reformis Islam dengan keberanian yang menonjol. Dirinya meneguhkan pendirian bahwa semua agama, termasuk Islam, memenuhi ajaran moral abadi mereka melalui cinta, kebebasan, dan nalar universal. Untuk memahami bagaimana kebajikan-kebajikan ini bisa bersekutu dengan Allah dan Alquran—bukan dalam teori, melainkan dalam dunia nyata kita yang morat-marit—Anda mesti membaca buku ini."
Alhasil, Allah, Liberty and Love adalah panduan yang paling mewah untuk menjadi seorang warga negara global yang berani. n
Iwan Nurdaya-Djafar, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Mei 2012
Penulis : Irshad Manji
Penerbit : Free Press, Juni 2011
Tebal : xxv + 261 hlm
IRSHAD Manji adalah sang reformis Islam yang tak kenal menyerah. The New York Times menyebut dirinya "mimpi buruk Osama bin Laden", sementara The Jakarta Post mengidentifikasi dirinya sebagai satu di antara tiga perempuan yang menciptakan perubahan positif di dalam Islam kontemporer. Pemenang Chutzpah Award pertama Oprah Winfrey ini berani berpikir dan menyiarkan pikiran pembaruannya kepada publik (umat Islam), yang di satu sisi menentangnya habis-habisan bahkan mengancam akan membunuhnya, tetapi di sisi lain justru mendapat sambutan hangat dari para aktivis demokrasi.
Buku terdahulunya, The Trouble with Islam Today: A Muslim's Call for Reform in Her Faith, menjadi karya best seller dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Di dalam buku tersebut, wartawan dan feminis asal Kanada ini tampil sebagai seorang anak muda yang marah. Namun, di dalam buku terbarunya ini dia beralih dari kemarahan menuju aspirasi.
Di dalam Allah, Liberty and Love, Irshad Manji membuka sebuah jalan untuk muslim dan nonmuslim untuk mengangkat rasa takut yang menghentikan begitu banyak orang dari hidup bersama kemuliaan menuju integritas Tuhan: rasa takut mengganggu orang-orang lain di sebuah dunia multikultural sebaik dengan rasa takut untuk mempertanyakan komunitas kita sendiri. Dia menunjukkan bagaimana siapa pun dari kita bisa merukunkan agama dengan kebebasan dan secara demikian menemukan Allah dari kemerdekaan dan cinta—Tuhan universal yang mencintai kita cukup memberi kita pilihan-pilihan dan kesanggupan kita mewujudkan mereka.
Dia mengajarkan bagaimana kita memulai pada suatu perjalanan personal menuju keberanian moral–keinginan berbicara ketika setiap orang yang lain ingin membungkam kita. Menurut pengakuannya, seorang temannya yang agnostik memperkenalkan dirinya kepada konsep “keberanian moral,” suatu frasa yang tak pernah didengarnya sebelumnya. Keberanian moral yang digagas oleh Robert F. Kennedy digambarkan sebagai keinginan menuturkan kebenaran kepada kekuasaan di dalam komunitasmu demi kepentingan suatu kebaikan yang lebih besar. Keberanian moral memungkinkan kita untuk mengetuk kesadaran kita, untuk menempatkan kembali konformitas dengan individualitas dan menarik lebih dekat ke Sumber yang menciptakan kita dengan pendekatan untuk mengetahui diri kita sendiri. "Itu menyingsingkan kesadaranku betapa perlunya keberanian moral bagi setiap orang yang ingin hidup bersama keseluruhan—integritas—apakah di dalam suatu tradisi agama atau di luar agama sekaligus. (hlm. xxi-xxii).
Keberanian moral, menurut Irshad Manji, adalah tantangan buat zaman kita. Muslim dan nonmuslim yang hidup di dalam demokrasi mesti mengembangkan punggung untuk memperluas kebebasan individual, bukan menghalanginya, karena tanpa kebebasan berpikir dan berekspresi tak bisa ada integritas diri atau integrasi masyarakat. (xxiii). Ketika muncul perdebatan yang buruk seputar pendirian masjid dekat Ground Zero di New York City, Manji bereaksi begini, "Di dalam suatu lingkungan emosional yang dalamnya para individu membeku ke dalam suku-suku bangsa, keberanian moral kadangkala mirip sebuah mimpi berteriak" (hlm. xxiv).
Keberanian moral, kata Manji, diperlukan secara mendesak, dan itu dimulai dengan cinta. Meskipun untuk menjadi berani nan sejati, cinta membutuhkan untuk ditemani dengan serangkaian pertanyaan. Demi memperkuat dirinya, Manji bersandar pada dua hal. Pertama, hampir setiap jus Alquran dibuka dengan memuji Allah sebagai "maha pengasih dan maha penyayang". Kedua, Alquran yang memiliki tiga kali lipat ayat-ayat yang mendesak muslim untuk berpikir ketimbang mempromosikan keyakinan buta. Mengombinasikan seruan kitab suci untuk menggunakan pikiranku dengan penegasan dari Allah sebagai kebajikan tertinggi, dan aku beroleh sebuah jalan untuk mendamaikan Allah, kebebasan dan cinta. (hlm. xxv)
Buku ini diawali dengan suatu introduksi bertajuk Dari Kemarahan Menuju Aspirasi, untuk kemudian disusul dengan tujuh esai ilmiah yang bertolak dari pengalamannya di dalam parit-parit untuk berbagi cerita yang pedih secara mendalam, sering lucu dan selalu menyingkapkan tentang zaman yang dibingungkan secara moral ini. Ketujuh esai itu adalah: (1) Some things are more important than fear; (2) Identity can trap you, but integrity will set you free; (3) Culture is not sacred; (4) You define your honor; (5) Offense is the price of diversity; (6) In times of moral crisis, moderation is a cop-out; (7) Lack of meaning is the real death threat. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan bacaan-bacaan yang dianjurkan dan indeks.
Sejumlah pujian diberikan terhadap buku ini. Fareed Zakaria menuturkan, “Irshad Manji tak pernah menyerah. Di dalam Allah, Liberty and Love, dia menuturkan pergulatan lanjutannya untuk suatu reformasi Islam nan autentik, sesuatu yang berakar secara mendalam di dalam tradisi Islam sendiri. Manji berada di garis depan dari sejumlah tren penting yang secara krusial secara perlahan mengubah dunia Islam.” N.J. Dawood, penerjemah Alquran, berkomentar begini, "Irshad Manji sekali lagi menunjukkan dirinya menjadi seorang reformis Islam dengan keberanian yang menonjol. Dirinya meneguhkan pendirian bahwa semua agama, termasuk Islam, memenuhi ajaran moral abadi mereka melalui cinta, kebebasan, dan nalar universal. Untuk memahami bagaimana kebajikan-kebajikan ini bisa bersekutu dengan Allah dan Alquran—bukan dalam teori, melainkan dalam dunia nyata kita yang morat-marit—Anda mesti membaca buku ini."
Alhasil, Allah, Liberty and Love adalah panduan yang paling mewah untuk menjadi seorang warga negara global yang berani. n
Iwan Nurdaya-Djafar, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Mei 2012
No comments:
Post a Comment