JAKARTA (Lampost): Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dianggap telah melanggar hak konstitusional masyarakat.
Pasalnya, biaya yang seharusnya ditanggung pemerintah malah dibebankan kepada orang tua siswa.
"Sebagai gambaran total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) SMA 70 Jakarta sekitar Rp15 miliar bersumber dari orang tua siswa, sedangkan pemerintah hanya sekitar Rp4,7 miliar," ujar mantan Ketua Komite SMA 70 Musni Umar.
Musni mengatakan itu dalam sidang uji materi Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, kemarin.
Ayat yang digugat itu berbunyi: “Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Akibatnya, kata Musni, yang juga sebagai orang tua siswa SMA 70, RSBI dan SBI hanya menciptakan ketidakadilan. Sebab, siswa yang bisa bersekolah di SMA 70 Jakarta hanya dari kalangan yang memiliki kemampuan finansial.
Musni membeberkan konsep RSBI menerapkan beban anggaran kepada siswa didik. Pada sumbangan peserta didik baru (SPDB) untuk kelas reguler dan akselerasi sebesar Rp11,2 juta, SPDB kelas internasional Rp31 juta untuk tahun pertama, Rp24 juta untuk tahun kedua, Rp18 juta untuk tahun ketiga.
Selain itu, kata Musni, ada sumbangan rutin bulanan (SRB) pada kelas reguler Rp450 ribu dan kelas akselerasi Rp1 juta. "Kepala sekolah, guru, dan karyawan pegawai negeri sipil (PNS) digaji oleh negara. Namun, sejak ada RSBI/SBI, orang tua siswa, melalui komite sekolah, harus menggaji lagi mereka. Konsep RSBI/SBI menciptakan sekolah di atas sekolah," ujar Musni.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dengan tegas meminta pemerintah harus segera meniadakan RSBI/SBI. Sebab, RSBI/SBI justru mengerdilkan identitas bangsa terkait dengan penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar formal dalam pembelajaran.
Menurutnya, model pembelajaran RSBI/SBI bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945. "Pemerintah harus segera meniadakan keberadaan RSBI dan SBI karena penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran melanggar konstitusi. Seperti pada Pasal 36 UUD 1945: 'Bahasa negara ialah bahasa Indonesia’," ujar Daoed saat memberi keterangan selaku ahli yang diajukan MK.
Tidak Terpengaruh
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Suyanto, selaku pihak termohon dan mewakili pemerintah, mengatakan persidangan yang telah delapan kali berlangsung tersebut hanya berkutat pada persoalan praksis.
Padahal, menurut dia, pemohon yang merupakan beberapa orang tua murid RSBI dan aktivis pendidikan meminta uji materi ke MK terhadap pasal. "Saya yakin majelis tidak akan berpengaruh terhadap persoalan remeh-temeh," katanya.
Suyanto mengatakan kini terdapat sekitar 1.300 RSBI di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut hanya 0,65% dari seluruh sekolah. Karena itu, menurut Suyanto, pihaknya mempertanyakan perihal tuntutan akan keadilan dari jumlah tersebut. "Saya kira keadilan sudah diletakkan dalam prinsip penyelenggaraan," ujarnya. (MI/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Mei 2012
Pasalnya, biaya yang seharusnya ditanggung pemerintah malah dibebankan kepada orang tua siswa.
"Sebagai gambaran total Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) SMA 70 Jakarta sekitar Rp15 miliar bersumber dari orang tua siswa, sedangkan pemerintah hanya sekitar Rp4,7 miliar," ujar mantan Ketua Komite SMA 70 Musni Umar.
Musni mengatakan itu dalam sidang uji materi Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, kemarin.
Ayat yang digugat itu berbunyi: “Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Akibatnya, kata Musni, yang juga sebagai orang tua siswa SMA 70, RSBI dan SBI hanya menciptakan ketidakadilan. Sebab, siswa yang bisa bersekolah di SMA 70 Jakarta hanya dari kalangan yang memiliki kemampuan finansial.
Musni membeberkan konsep RSBI menerapkan beban anggaran kepada siswa didik. Pada sumbangan peserta didik baru (SPDB) untuk kelas reguler dan akselerasi sebesar Rp11,2 juta, SPDB kelas internasional Rp31 juta untuk tahun pertama, Rp24 juta untuk tahun kedua, Rp18 juta untuk tahun ketiga.
Selain itu, kata Musni, ada sumbangan rutin bulanan (SRB) pada kelas reguler Rp450 ribu dan kelas akselerasi Rp1 juta. "Kepala sekolah, guru, dan karyawan pegawai negeri sipil (PNS) digaji oleh negara. Namun, sejak ada RSBI/SBI, orang tua siswa, melalui komite sekolah, harus menggaji lagi mereka. Konsep RSBI/SBI menciptakan sekolah di atas sekolah," ujar Musni.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dengan tegas meminta pemerintah harus segera meniadakan RSBI/SBI. Sebab, RSBI/SBI justru mengerdilkan identitas bangsa terkait dengan penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar formal dalam pembelajaran.
Menurutnya, model pembelajaran RSBI/SBI bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945. "Pemerintah harus segera meniadakan keberadaan RSBI dan SBI karena penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran melanggar konstitusi. Seperti pada Pasal 36 UUD 1945: 'Bahasa negara ialah bahasa Indonesia’," ujar Daoed saat memberi keterangan selaku ahli yang diajukan MK.
Tidak Terpengaruh
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Suyanto, selaku pihak termohon dan mewakili pemerintah, mengatakan persidangan yang telah delapan kali berlangsung tersebut hanya berkutat pada persoalan praksis.
Padahal, menurut dia, pemohon yang merupakan beberapa orang tua murid RSBI dan aktivis pendidikan meminta uji materi ke MK terhadap pasal. "Saya yakin majelis tidak akan berpengaruh terhadap persoalan remeh-temeh," katanya.
Suyanto mengatakan kini terdapat sekitar 1.300 RSBI di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut hanya 0,65% dari seluruh sekolah. Karena itu, menurut Suyanto, pihaknya mempertanyakan perihal tuntutan akan keadilan dari jumlah tersebut. "Saya kira keadilan sudah diletakkan dalam prinsip penyelenggaraan," ujarnya. (MI/U-2)
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Mei 2012
No comments:
Post a Comment