-- Tracey Yani Harjatanaya
PBB mengategorikan Indonesia sebagai negara yang mampu mencapai target kedua program education for all-nya UNESCO, yaitu pendidikan dasar yang universal sebelum 2015.
Namun, ini tak berarti kita dapat berpuas hati. Isu kecurangan dalam ujian nasional (UN) yang selalu diperbincangkan setiap tahun, misalnya, dapat menjadi tolak ukur jalannya keseluruhan sistem pendidikan Indonesia yang masih jauh dari sempurna. Penugasan anggota kepolisian dan penggunaan kamera pemantau guna mengawasi jalannya UN di sekolah-sekolah, suatu hal yang tak pernah terjadi di negara lain, menunjukkan adanya ketidakpercayaan publik akan sistem dan kualitas pendidikan Indonesia.
Empat isu pokok
Sekurang-kurangnya ada empat hal yang bisa diperbaiki guna meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama, berhubungan dengan akses dan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup sarana dan prasarana yang ada di lingkungan sekolah.
Dalam kaitan ini pemerintah harus dapat menyediakan infrastruktur jalan dan transportasi yang memadai agar anak dapat bersekolah dengan nyaman. Kasus anak-anak di Banten yang harus menantang maut, menyeberangi jembatan yang runtuh di atas arus Sungai Ciberang yang deras agar bisa sekolah, tak boleh lagi terjadi. UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak dan negara dalam hal ini berkewajiban memenuhi hak itu.
Kedua, program pendidikan dasar gratis memang dari segi kuantitas dapat dikatakan berhasil karena angka partisipasi siswa SD hampir mencapai 100 persen, tetapi tidak dari segi kualitas. Badan Pusat Statistik (2010) mencatat, 13 persen siswa SD tidak menyelesaikan pendidikan. UNESCO di Global Monitoring Report 2011 juga melaporkan, 80 persen dari murid kelas IV SD di Indonesia masih memiliki kemampuan membaca di bawah standar internasional.
Ketiga, privatisasi dalam bidang pendidikan—walau diperlukan untuk menunjang kinerja pemerintah—telah memperlebar jurang pencapaian prestasi antara anak dari keluarga berkecukupan dan anak dari keluarga tak mampu. Salah satu contoh dapat dilihat dari dominasi siswa/siswi dari sekolah swasta yang meraih prestasi di ajang olimpiade ataupun kompetisi bergengsi lain.
Ketimpangan ini dapat terjadi karena sekolah swasta dengan uang sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri mempunyai anggaran lebih besar untuk terus memperbarui infrastruktur dan fasilitasnya. Swasta juga memiliki daya tarik lebih kuat bagi calon guru dengan kompetensi yang tinggi. Selain gaji yang lebih tinggi, lingkungan kerja pun lebih baik.
Keempat, mengacu pada ketiga hal di atas, dapat dipastikan kesetaraan akan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa/siswi di seluruh pelosok Indonesia sulit tercapai. Padahal, pendidikan seyogianya mempersiapkan siapa saja—baik yang terlahir di keluarga kaya maupun miskin—untuk bisa mendapatkan kesejahteraan hidup.
Akan tetapi, tren masyarakat dan dunia kerja yang menekankan pencapaian akademis membuat persekolahan yang bertumpu pada ekonomi pasar secara tidak langsung berperan memperuncing ketidaksetaraan ekonomi-sosial yang ada. Meminjam rumusan Pierre Bourdieu, anak dari keluarga kaya punya tendensi untuk bertahan di piramida sosial atas karena mereka ditunjang budaya keluarga yang sejalan dengan budaya dominan: materi dan jaringan yang tidak dimiliki anak yang terlahir di keluarga miskin.
Walaupun keempat hal di atas masih menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan Indonesia, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dibenahi. Bantuan pendidikan, seperti bantuan operasional sekolah dan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari total APBN/APBD, adalah awal yang baik.
Momen refleksi
Namun, tanpa arah yang jelas, komitmen dan konsistensi dalam penerapannya dari semua pihak, masalah yang dipaparkan di atas tak akan pernah terselesaikan. Pendidikan multikultural yang bertujuan memberikan pendidikan bermutu bagi setiap anak—tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi—yang berlandaskan pada nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan bisa menjadi solusi yang cocok bagi negara multikultur ini.
Sebagai salah satu generasi muda bangsa, saya berharap pemerintah beserta para pemangku kepentingan pendidikan dapat menggunakan momen Hari Pendidikan Nasional kali ini untuk refleksi diri akan kinerja mereka. Evaluasi yang konstruktif juga perlu dilakukan untuk mendorong terjadinya perubahan yang sistematis. Dengan begitu, impian Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia akan keberhasilannya dalam mencetak generasi muda yang bermutu dan berkarakter baik dapat tercapai.
Tracey Yani Harjatanaya, Dewan Pembina Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Mei 2012
PBB mengategorikan Indonesia sebagai negara yang mampu mencapai target kedua program education for all-nya UNESCO, yaitu pendidikan dasar yang universal sebelum 2015.
Namun, ini tak berarti kita dapat berpuas hati. Isu kecurangan dalam ujian nasional (UN) yang selalu diperbincangkan setiap tahun, misalnya, dapat menjadi tolak ukur jalannya keseluruhan sistem pendidikan Indonesia yang masih jauh dari sempurna. Penugasan anggota kepolisian dan penggunaan kamera pemantau guna mengawasi jalannya UN di sekolah-sekolah, suatu hal yang tak pernah terjadi di negara lain, menunjukkan adanya ketidakpercayaan publik akan sistem dan kualitas pendidikan Indonesia.
Empat isu pokok
Sekurang-kurangnya ada empat hal yang bisa diperbaiki guna meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama, berhubungan dengan akses dan infrastruktur. Infrastruktur yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup sarana dan prasarana yang ada di lingkungan sekolah.
Dalam kaitan ini pemerintah harus dapat menyediakan infrastruktur jalan dan transportasi yang memadai agar anak dapat bersekolah dengan nyaman. Kasus anak-anak di Banten yang harus menantang maut, menyeberangi jembatan yang runtuh di atas arus Sungai Ciberang yang deras agar bisa sekolah, tak boleh lagi terjadi. UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak dan negara dalam hal ini berkewajiban memenuhi hak itu.
Kedua, program pendidikan dasar gratis memang dari segi kuantitas dapat dikatakan berhasil karena angka partisipasi siswa SD hampir mencapai 100 persen, tetapi tidak dari segi kualitas. Badan Pusat Statistik (2010) mencatat, 13 persen siswa SD tidak menyelesaikan pendidikan. UNESCO di Global Monitoring Report 2011 juga melaporkan, 80 persen dari murid kelas IV SD di Indonesia masih memiliki kemampuan membaca di bawah standar internasional.
Ketiga, privatisasi dalam bidang pendidikan—walau diperlukan untuk menunjang kinerja pemerintah—telah memperlebar jurang pencapaian prestasi antara anak dari keluarga berkecukupan dan anak dari keluarga tak mampu. Salah satu contoh dapat dilihat dari dominasi siswa/siswi dari sekolah swasta yang meraih prestasi di ajang olimpiade ataupun kompetisi bergengsi lain.
Ketimpangan ini dapat terjadi karena sekolah swasta dengan uang sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri mempunyai anggaran lebih besar untuk terus memperbarui infrastruktur dan fasilitasnya. Swasta juga memiliki daya tarik lebih kuat bagi calon guru dengan kompetensi yang tinggi. Selain gaji yang lebih tinggi, lingkungan kerja pun lebih baik.
Keempat, mengacu pada ketiga hal di atas, dapat dipastikan kesetaraan akan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa/siswi di seluruh pelosok Indonesia sulit tercapai. Padahal, pendidikan seyogianya mempersiapkan siapa saja—baik yang terlahir di keluarga kaya maupun miskin—untuk bisa mendapatkan kesejahteraan hidup.
Akan tetapi, tren masyarakat dan dunia kerja yang menekankan pencapaian akademis membuat persekolahan yang bertumpu pada ekonomi pasar secara tidak langsung berperan memperuncing ketidaksetaraan ekonomi-sosial yang ada. Meminjam rumusan Pierre Bourdieu, anak dari keluarga kaya punya tendensi untuk bertahan di piramida sosial atas karena mereka ditunjang budaya keluarga yang sejalan dengan budaya dominan: materi dan jaringan yang tidak dimiliki anak yang terlahir di keluarga miskin.
Walaupun keempat hal di atas masih menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan Indonesia, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dibenahi. Bantuan pendidikan, seperti bantuan operasional sekolah dan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari total APBN/APBD, adalah awal yang baik.
Momen refleksi
Namun, tanpa arah yang jelas, komitmen dan konsistensi dalam penerapannya dari semua pihak, masalah yang dipaparkan di atas tak akan pernah terselesaikan. Pendidikan multikultural yang bertujuan memberikan pendidikan bermutu bagi setiap anak—tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi—yang berlandaskan pada nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan bisa menjadi solusi yang cocok bagi negara multikultur ini.
Sebagai salah satu generasi muda bangsa, saya berharap pemerintah beserta para pemangku kepentingan pendidikan dapat menggunakan momen Hari Pendidikan Nasional kali ini untuk refleksi diri akan kinerja mereka. Evaluasi yang konstruktif juga perlu dilakukan untuk mendorong terjadinya perubahan yang sistematis. Dengan begitu, impian Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia akan keberhasilannya dalam mencetak generasi muda yang bermutu dan berkarakter baik dapat tercapai.
Tracey Yani Harjatanaya, Dewan Pembina Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
Sumber: Kompas, Rabu, 2 Mei 2012
No comments:
Post a Comment