Sunday, May 20, 2012

Mitos Wira Melayu

-- Junaidi

NASKAH drama yang berjudul ‘’Melodi Pengakuan’’ karya Rina Nazaruddin Entin (RNE) telah dipentaskan selama tiga hari berturut-turut. Apresiasi sudah sepantasnya diberikan pada orang-orang yang memberi perhatian khusus dalam pengembangan teater di Riau. Tak banyak orang yang mau memberi perhatian pada teater. Namun, Rina bersama sang suami, Fedli Azis yang juga penggiat teater di Riau, terus melahirkan karya-karya teater yang diangkat dari kisah atau legenda yang berkembang di tanah Melayu. Kisah masa lalu dikemas-kini untuk dihadirkan pada generasi masa kini. Kreativitas seni atau sastra yang didasarkan pada kisah masa lalu sangat bermanfaat untuk mengenang dan mengenali mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat Melayu. Di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia yang dibelenggu kekuatan ekonomi, politik dan teknologi, masih ada orang yang merenung kisah masa lalu dan membawanya ke dalam kehidupan masa kini. Sebuah kreativitas yang perlu terus dihargai.

Drama ini diawali sebuah syair sebagai bentuk pengakuan bahwa drama ini didasarkan pada cerita ‘’Lancang Kuning’’: inilah sebuah kisah, kisah negeriku/negeri yang tersohor, dari dahulu/tanah pesisir, tanah Melayu/elok rupawan, tumpah darahku/negeri bertuah, simbol bermakna/sebuah legenda, Lancang Kuning bernama/banyak petuah, dibalut cerita/dikenang dan dipercaya, sepanjang masa.

Syair ini menggambarkan pentingnya pemaknaan kisah Lancang Kuning bagi orang Melayu. Perahu Lancang Kuning tak hanya sebagai simbol Melayu tapi juga mengandung nilai pengajaran. Atas dasar itulah kisah Lancang Kuning sangat layak dikonstruksikan lagi ke dalam kondisi kekinian seperti yang terdapat dalam drama ‘’Melodi Pengakuan’’.

Drama ini dibagi ke dalam empat bagian utama. Bagian pertama menampilkan dialog antara Arin dan Ibu. Arin menanyakan kisah Lancang Kuning pada Ibu. Ibu memulai cerita dengan menyampaikan semacam sinopsis cerita Lancang Kuning. Pada bagian kedua ditampilkan monolog semua tokoh secara berurutan. Setiap monolog diawali dua bait pantun yang menjelaskan inti monolog itu. Pada bagian ini semua tokoh dalam legenda Lancang Kuning memperkenalkan dirinya dan menyampaikan perbuatan yang mereka lakukan berkaitan dengan Zubaidah dan kapal Lancang Kuning.

Bagian ini diawali monolog Panglima Hasan, Datuk Laksemana, Panglima Umar, Inang, Bomo dan terakhir Zubaidah. Pada bagian ketiga, dialog antara Arin dan Ibu ditampilkan lagi. Pada bagian ini Ibu dan Arin memberi pemaknaan atas besarnya pengorbanan seorang perempuan yang diberikan Zubaidah ketika ia bersedia menjadi tumbal kapal Lancang Kuning. Dari dialog antara Arin dan Zubaidah terlihat bahwa Arin dan Ibu ingin membawa semangat pengorbanan Zubaidah ke dalam konteks kekinian. Pada bagian keempat ditampilkan lagi pengakuan semua tokoh terhadap apa yang telah mereka perbuat. Pada bagian akhir ditampilkan Ibu yang sedang mengingau ketika tidur. Ibu mengakui bahwa dirinya adalah Zubaidah. 

Dalam drama ‘’Melodi Pengakuan’’, kisah Lancang Kuning dikonstruksikan ke dalam dunia masa kini dengan kehadiran tokoh Ibu dan Arin. Sedang kisah Lancang Kuning disampaikan melalui tokoh Zubaidah, Panglima Umar, Panglima Hasan, Datuk Laksemana, Inang dan Bomo. Sebagaimana diketahui, kisah Lancang Kuning sangat penting dalam alam Melayu sehingga perahu Lancang Kuning yang terdapat dalam cerita itu dijadikan lambang Provinsi Riau.

Kehebatan Lancang Kuning makin populer dengan adanya lagu  berjudul ‘’Lancang Kuning’’. Lagu ini mengkonstruksikan kehebatan perahu Lancang Kuning yang dikomandoi seorang nakhoda. Peran nakhoda sebagai pemimpin sangat penting dalam mengarahkan perahu Lancang Kuning. Perahu Lancang Kuning diandaikan sebagai negeri Melayu yang perlu dipimpin oleh seorang pemimpin yang tepat.

Pemahaman Lancang Kuning dapat dilihat dari pengakuan Arin: ‘’sebuah kapal ibarat negeri yang menuju ke arah yang kita inginkan, kalau kita ingin ke kanan maka kananlah ia, jika kita inginkan ke kiri maka ke kirilah ia... terus kata bu guru lagi, kapal besar itu dipimpin seorang nakhoda, jika nakhodanya hebat, berpengalaman dan memahami maka kapal itu akan berlayar dengan gagahnya jika nakhodanya itu tidak memahami situasi alamat tenggelam ia...’’

Tapi dalam ‘’Melodi Pengakuan’’ kehebatan perahu Lancang Kuning dan peran nahkoda tak dijadikan perhatian utama. Drama ini lebih memfokuskan pada pengorbanan tokoh Zubaidah sebagai seorang wanita untuk menyelamatkan negeri Bukit Batu. Drama ini akan lebih menarik jika dilihat dari perspektif perempuan sebab kedua tokoh Arin dan Ibu menafsirkan kisah Lancang Kuning dari perspektif perempuan.

Kisah Lancang Kuning dibingkai (framing) ke dalam alam pikiran perempuan. Bahkan dalam drama ini, tokoh Ibu juga berperan sebagai penulis yang sedang membuat tulisan tentang kisah Lancang Kuning. Arin juga mengandaikan dirinya sebagai Zubaidah: Kalau Arin jadi Zubaidah, Arin pasti melawan dulu... Tokoh Ibu sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai Zubaidah ketika ia sedang mengigau saat tidur: ‘’Akulah Zubaidah, Akulah Zubaidah, Akulah...’’.

Arin pun mengakui bahwa Ibunya seperti Zubaidah: ‘’Bagi Arin, Ibu adalah orang yang paling kebat di dunia ini... tanpa Ibu Arin takkan bisa seperti ini, Ibu pahlawan bagi Arin... walau sendiri tanpa pasangan dengan ikhlas dan sabar membesarkan Arin.  Arin juga ingin menjadi pahlawan seperti Ibu, mungkin juga seperti Zubaidah’’.

Semangat pengorbanan Zubaidah dijadikan model semangat perjuangan oleh dua tokoh perempuan dalam drama ini. Keinginan Zubaidah menjadi pahlawan dan semangat pengorbanan dikonstruksikan Arin ke dalam dirinya untuk selalu maju jika ada pemilihan ketua kelas maupun OSIS di sekolahnya. Bagi Ibu dan Arin, perempuan itu sama seperti laki-laki yang bisa menjadi pahlawan untuk membela negerinya. 

Pengorbanan Zubaidah bisa diperdebatkan dalam kisah ini. Apakah dia mengorbankan dirinya karena memang untuk membela negeri Bukit Batu atau ia dijadikan korban oleh Panglima Hasan. Zubaidah mengakui, ‘’Apakah aku harus menyerahkan diriku untuk Lancang Kuning sementara aku adalah orang yang pas untuk itu, perempuan hamil sulung tujuh bulan. Biarlah aku berkorban untuk negeri dari pada merana karena ternoda... Suamiku saja rela mengorbankan nyawanya untuk negeri, dan akupun harus bisa...ya, aku sebagai perempuan bisa juga melakukan apa saja yang bisa dilakukan seorang lelaki’’.

Zubaidah mengagumi suaminya karena ia juga seorang wira Melayu yang berperang membela negeri Melayu.  Dalam drama ini, pengorbanan Zubaidah dibingkai sebagai perjuangan seorang pahlawan untuk menyelamatkan sebuah negeri. Pengorbanan Zubaidah semakin tragis ketika tak hanya menggorbankan dirinya sendiri tapi juga mengorbankan anak yang masih dikandungnya. Anaknya saja belum lahir tapi ia telah jadi tumbal. ‘’... aku menyerahkan diriku menyerahkan anakku yang tak berdosa dan belum sempat menghirup udara ini. Aku membujuknya, kau pahlawan anakku... belum jadi manusia seutuhnya di dunia fana ini telah menjadi pahlawan... aku bangga kepadumu...’’ Begitu luar biasanya semangat kewiraan dan pengorbanan yang dimiliki Zubaidah. 

Bila diamati secara mendalam, pengorbanan Zubaidah dan anaknya tak menghasilkan kesuksesan sebab sebenarnya tak diperlukan tumbal perempuan hamil tujuh bulan untuk mengerakkan kapal Lancang Kuning. Munculnya tumbal hanyalah cerita yang dibuat-buat Panglima Hasan bersama Bomo untuk memperdaya Zubaidah. Pengorbanan Zubaidah dan anaknya disebabkan fitnah yang dilakukan Panglima Hasan dan Bomo. Rasa sakit hati mendalam akibat cintanya ditolak Zubaidah, mendorong Panglima Hasan untuk terus menundukkan Zubaidah. Tindakan Panglima Umar membunuh Datuk Laksemana juga akibat fitnah yang dibuat Panglima Hasan. Panglima Hasan memfitnah Datuk Leksamana telah melakukan perbuatan keji bersama Zubaidah. Fitnah ini membangkitkan amarah Panglima Umar. Padahal dalam kisah Lancang Kuning, Panglima Umar adalah sosok wira Melayu, tapi karena dahsyatnya kekuatan fitnah ia tak bisa mengendalikan dirinya. Kebijaksanaan, kebesaran, semangat pengorbanan dan kesetiaan seorang pahlawan harus dikalahkan oleh fitnah. Begitu dahsyat akibat fitnah dalam mitos Melayu.

Meski penggorbanan Zubaidah dan kepahlawanan Panglima Umar dikalahkan oleh fitnah, mereka tetap dianggap sebagai wira Melayu sebab telah berazam untuk berjuang membela negeri. Semangat kewiraan merekalah yang ditransformasikan ke dalam tokoh Arin dan Ibu. Tampaknya perjuangan kepahlawan tak dilihat dari hasil akhir. Ia dilihat dari proses perjuangan itu. Dengan demikian, kisah Lancang Kuning tak hanya cerita sebuah kapal yang tak bisa diluncurkan. Tapi memiliki makna kewiraan dan pengorbanan orang Melayu untuk membela negerinya. 

Dalam drama ini, sosok kewiraan Melayu dikalahkan oleh kekuatan fitnah. Kekuatan negatif fitnah yang mengalahkan semangat kewiraan juga terlihat dalam kisah Hang Tuah. Tragedi pembunuhan yang dilakukan Hang Tuah sebagai wira Melayu terhadap Hang Jebat juga akibat fitnah. Kita menjadi gamang terhadap konsep hero Melayu yang mudah tergelincir oleh fitnah. Semoga mitos fitnah yang mengalahkan wira Melayu tak terulang lagi.
 
Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi UIR. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Mei 2012

No comments: