-- Benny ‘’Bens’’ Sani
HAL yang paling merisaukan hati komedian adalah ketika mereka tidak ditertawakan oleh penontonnya. Resah, gugup, galau (meminjam istilah anak zaman sekarang), hingga berkeringat dingin menjadi hal yang tak dapat dielakkan ketika seorang komedian kurang mampu (kalau tak mau dibilang gagal) memancing tawa penontonnya.
Profesi komedian itu unik, karena di saat orang dengan profesi lain enggan ditertawakan atas keseriusannya, seorang komedian justru perlu ditertawakan atas keseriusannya. Semakin banyak yang menertawakan dirinya, semakin serius mereka bekerja. Mengutip perkataan motivator terkenal Mario Teguh yang mengatakan keseriusan komedian itu dengan cara being very funny dan mereka adalah makhluk dunia yang sebenarnya. Karena kehidupan di dunia itu having serious fun atau having fun seriously.
Maka tak heran kita melihat seorang komedian yang mengeluarkan seluruh jurus mautnya, demi untuk ditertawakan. Permainan kata, mimik wajah dan bahasa tubuh menjadi amunisi bagi seorang komedian saat tampil di hadapan penontonnya. Bahkan tak jarang kita melihat komedian harus bermain fisik demi mengejar kelucuan. Suka tak suka kita sudah terlalu banyak mengonsumsi tayangan komedi yang mengeksplorasi fisik.
Adalah sesuatu hal yang ironis ketika kita ‘dipaksa’ menyukai komedi yang menjadikan fisik sebagai menu utama tontonan. Kekurangan fisik (cacat tubuh), kemolekan tubuh perempuan dan kekerasan fisik dengan adegan pukul-memukul styrofoam begitu akrab dikonsumsi penonton dalam tayangan komedi di Tanah Air. Celakanya, waktu tayang program komedi tersebut masih dalam rentang waktu menonton bagi anak-anak. Sengaja tak sengaja, kekonyolan ini menjadi pengajaran yang negatif bagi mereka untuk dilakukannya di lingkungan pergaulan mereka sehari-hari.
Dalam sebuah mention-nya di media sosial twitter, pemilik akun jurnalperempuan berkicau: Alangkah bahagianya kita tertawa bukan karena kita dicaci-maki sebagai banci, cebol, pendek, jelek, janda, perawan dan diperkosa.’’ Kita patut memberi apresiasi atas kerisauan si pemilik akun akan maraknya tayangan komedi yang tak patut dikonsumsi, utamanya bagi kalangan anak-anak. Karena kepolosan mereka terlebih jika tak ada filter (dalam hal ini dari orangtua), rentan akan duplikasi nilai-nilai negatif yang mereka terima.
Kita tentu masih ingat bagaimana almarhum Pak Bendot, komedian senior yang menjadi langganan untuk disungkurkan, dijatuhkan, didorong-dorong oleh lawan mainnya. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga ke era kini. Anehnya kita justru terpingkal-pingkal melihat kekonyolan ini.
Masih akrab di ingatan kita ketika Olga Syahputra dikecam banyak kalangan (terutama perempuan) gara-gara menjadikan kasus perkosaan di angkot sebagai bahan leluconnya di sebuah program ulang tahun salah satu stasiun televisi swasta. Meski akhirnya dia minta maaf atas keteledorannya, tapi tak serta-merta dapat menghapus luka hati para pengecamnya, khususnya keluarga korban perkosaan.
Di era Pak Harto berkuasa, kita juga sempat mendengar seorang komedian senior harus dicekal gara-gara menjadikan gambar uang lima ratus rupiah (zaman itu) sebagai bahan lawakan. Anda masih ingat kan bahwa yang tertera di uang tersebut gambar orangutan? Konon Pak Harto tersinggung diidentikkan dengan gambar tersebut.
Ada juga komedian senior yang harus berurusan dengan penguasa di era Gus Dur sebagai presiden. Gerak tubuh si komedian yang mengidentikkan diri sebagai pemimpin yang buta, tak pelak dapat kecaman dari kalangan organisasi kepemudaan yang jadi pendukung fanatik Gus Dur.
Berbagai kasus di atas, sepatutnya jadi cerminan bagi komedian untuk lebih dewasa dan arif dalam menampilkan kehebatan mereka dalam mengocok perut penonton. Meski terkadang harus kita akui kealpaan tersebut lebih bersifat spontanitas di atas panggung (dan ini sering jadi alibi), namun bukan hal yang susah juga bagi komedian untuk membuat rambu-rambu bagi mereka sendiri tanpa harus kehilangan sisi kreativitas. Bukankah seni mengajarkan juga soal etika?
Di masa lalu (mungkin) banyak komedian yang berangkat dari seni tradisi. Dagelan, ketoprak, lenong, bangsawan dan randai kuantan di Riau menjadi wahana dalam mengasah kelucuan para komedian tradisonal. Biasanya, para komedian yang lahir dari sini berasal dari kalangan masyarakat kebanyakan. Dengan tingkat perekonomian yang relatif rendah, mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Akibatnya mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang juga (maaf) minim. Materi lawakan yang mereka tampilkan lebih pada persoalan keseharian yang diangkat secara sederhana. Bagi mereka, bisa menampilkan cerita kehidupan sehari-sehari mereka saja sudah cukup. Karenanya pola-pola permainan fisik, kalimat-kalimat yang terasa pasaran dan cenderung kasar tak bisa dihindari dari materi lawakan mereka.
Seiring kemajuan zaman, dunia komedi mulai dilirik kalangan berpendidikan tinggi well yang ditandai munculnya komedian dari kalangan kampus. Warkop DKI bolehlah kita bilang sebagai pelopornya. Era komedian kampus ini terus berlanjut dengan munculnya komedian yang sukses di generasinya masing-masing. Patrio, CAGUR dan Bajaj adalah beberapa nama terkenal yang jadi ikon komedian kampus. Layaknya mahasiswa mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih baik. Namun apakah tingkat pendidikan yang tinggi menjamin komedian jadi lebih cerdas dalam pertunjukannya?
Mungkin tidak juga. Nyatanya kita masih juga disuguhi materi atau konsep lawakan yang relatif sama. Cacian, kata-kata porno nan vulgar, hingga kekerasan fisik masih menjadi sesuatu yang ‘seksi’ dan menjual bagi industri pertelevisian kita. Industri? Benar, kini eranya industri pertelevisian. Bicara industri, kita harus ingat hukum pasar. Apa yang jadi permintaan pasar, itulah yang akan disediakan sehingga jadi komoditas. Artinya, si produser akan terus menyodorkan jualan mereka (dalam hal ini tontonan komedi) selama penonton masih menyukainya. Dan mereka selalu menggunakan rating sebagai tolok ukur kesuksesan acara. Makin tinggi rating, makin banyak iklan yang masuk, makin gencarlah mereka memproduksi paket acara tersebut.
Masalahnya rating penonton tayangan komedi sejenis ini memang cukup tinggi, tak peduli stasiun televisi apapun tetap jadi primadona. Meski Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berkali-kali memberi somasi hingga teguran keras, nyatanya tayangan komedi sejenis ini tetap saja laris manis.
Apa ini memang selera masyarakat kita? Kalau iya, kita patut prihatin atas kenyataan ini. Masyarakat kita (mungkin) telah mengalami pergeseran budaya yang lumayan mengkhawatirkan ketika caci-maki, kata-kata porno dan vulgar, kekerasan fisik dan bergaya kebanci-bancian justru jadi idaman. Mungkin masyarakat kita sudah lelah dengan persoalan-persoalan yang serius dan berat yang membelit kehidupan di negeri ini. Politik, korupsi, ketidakadilan, beban ekonomi yang makin berat, sudah terlalu memenuhi isi kepala kita. Benar, bahwa tertawa membuat kita bisa membuat kita lebih rileks, lepas dan segar kembali. Karena menurut para ahli kesehatan, ketika kita tertawa maka banyak oksigen yang kita hirup, sehingga memberi manfaat bagi tekanan darah dan kerja otak. Tapi tertawa karena hal-hal yang tak pantas, juga tidaklah bijak.
Selagi kita mau membentengi diri dengan lebih cerdas memilih dan memilah tayangan yang lebih pantas untuk kita konsumsi, kita masih bisa menyelamatkan moral dan budaya negeri ini. Kita masih bisa ikut mengontrol mekanisme pasar dalam industri televisi. Bukankah ketika tidak menontonnya, rating mereka akan turun? Yang artinya sponsor dan iklan akan pamit mundur. Kita masih bisa menertawakan para komedian, tanpa mereka harus berubah jadi (maaf) banci, korban pukul-pukulan styrofoam, atau jadi korban cacian karena kekurangan fisik mereka. Tertawakanlah komedian sebelum komedi itu dilarang!
Benny ‘’Bens’’ Sani, Praktisi public speaking dan Sekretaris Pengda PaSKI Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Mei 2012
HAL yang paling merisaukan hati komedian adalah ketika mereka tidak ditertawakan oleh penontonnya. Resah, gugup, galau (meminjam istilah anak zaman sekarang), hingga berkeringat dingin menjadi hal yang tak dapat dielakkan ketika seorang komedian kurang mampu (kalau tak mau dibilang gagal) memancing tawa penontonnya.
Profesi komedian itu unik, karena di saat orang dengan profesi lain enggan ditertawakan atas keseriusannya, seorang komedian justru perlu ditertawakan atas keseriusannya. Semakin banyak yang menertawakan dirinya, semakin serius mereka bekerja. Mengutip perkataan motivator terkenal Mario Teguh yang mengatakan keseriusan komedian itu dengan cara being very funny dan mereka adalah makhluk dunia yang sebenarnya. Karena kehidupan di dunia itu having serious fun atau having fun seriously.
Maka tak heran kita melihat seorang komedian yang mengeluarkan seluruh jurus mautnya, demi untuk ditertawakan. Permainan kata, mimik wajah dan bahasa tubuh menjadi amunisi bagi seorang komedian saat tampil di hadapan penontonnya. Bahkan tak jarang kita melihat komedian harus bermain fisik demi mengejar kelucuan. Suka tak suka kita sudah terlalu banyak mengonsumsi tayangan komedi yang mengeksplorasi fisik.
Adalah sesuatu hal yang ironis ketika kita ‘dipaksa’ menyukai komedi yang menjadikan fisik sebagai menu utama tontonan. Kekurangan fisik (cacat tubuh), kemolekan tubuh perempuan dan kekerasan fisik dengan adegan pukul-memukul styrofoam begitu akrab dikonsumsi penonton dalam tayangan komedi di Tanah Air. Celakanya, waktu tayang program komedi tersebut masih dalam rentang waktu menonton bagi anak-anak. Sengaja tak sengaja, kekonyolan ini menjadi pengajaran yang negatif bagi mereka untuk dilakukannya di lingkungan pergaulan mereka sehari-hari.
Dalam sebuah mention-nya di media sosial twitter, pemilik akun jurnalperempuan berkicau: Alangkah bahagianya kita tertawa bukan karena kita dicaci-maki sebagai banci, cebol, pendek, jelek, janda, perawan dan diperkosa.’’ Kita patut memberi apresiasi atas kerisauan si pemilik akun akan maraknya tayangan komedi yang tak patut dikonsumsi, utamanya bagi kalangan anak-anak. Karena kepolosan mereka terlebih jika tak ada filter (dalam hal ini dari orangtua), rentan akan duplikasi nilai-nilai negatif yang mereka terima.
Kita tentu masih ingat bagaimana almarhum Pak Bendot, komedian senior yang menjadi langganan untuk disungkurkan, dijatuhkan, didorong-dorong oleh lawan mainnya. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga ke era kini. Anehnya kita justru terpingkal-pingkal melihat kekonyolan ini.
Masih akrab di ingatan kita ketika Olga Syahputra dikecam banyak kalangan (terutama perempuan) gara-gara menjadikan kasus perkosaan di angkot sebagai bahan leluconnya di sebuah program ulang tahun salah satu stasiun televisi swasta. Meski akhirnya dia minta maaf atas keteledorannya, tapi tak serta-merta dapat menghapus luka hati para pengecamnya, khususnya keluarga korban perkosaan.
Di era Pak Harto berkuasa, kita juga sempat mendengar seorang komedian senior harus dicekal gara-gara menjadikan gambar uang lima ratus rupiah (zaman itu) sebagai bahan lawakan. Anda masih ingat kan bahwa yang tertera di uang tersebut gambar orangutan? Konon Pak Harto tersinggung diidentikkan dengan gambar tersebut.
Ada juga komedian senior yang harus berurusan dengan penguasa di era Gus Dur sebagai presiden. Gerak tubuh si komedian yang mengidentikkan diri sebagai pemimpin yang buta, tak pelak dapat kecaman dari kalangan organisasi kepemudaan yang jadi pendukung fanatik Gus Dur.
Berbagai kasus di atas, sepatutnya jadi cerminan bagi komedian untuk lebih dewasa dan arif dalam menampilkan kehebatan mereka dalam mengocok perut penonton. Meski terkadang harus kita akui kealpaan tersebut lebih bersifat spontanitas di atas panggung (dan ini sering jadi alibi), namun bukan hal yang susah juga bagi komedian untuk membuat rambu-rambu bagi mereka sendiri tanpa harus kehilangan sisi kreativitas. Bukankah seni mengajarkan juga soal etika?
Di masa lalu (mungkin) banyak komedian yang berangkat dari seni tradisi. Dagelan, ketoprak, lenong, bangsawan dan randai kuantan di Riau menjadi wahana dalam mengasah kelucuan para komedian tradisonal. Biasanya, para komedian yang lahir dari sini berasal dari kalangan masyarakat kebanyakan. Dengan tingkat perekonomian yang relatif rendah, mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Akibatnya mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang juga (maaf) minim. Materi lawakan yang mereka tampilkan lebih pada persoalan keseharian yang diangkat secara sederhana. Bagi mereka, bisa menampilkan cerita kehidupan sehari-sehari mereka saja sudah cukup. Karenanya pola-pola permainan fisik, kalimat-kalimat yang terasa pasaran dan cenderung kasar tak bisa dihindari dari materi lawakan mereka.
Seiring kemajuan zaman, dunia komedi mulai dilirik kalangan berpendidikan tinggi well yang ditandai munculnya komedian dari kalangan kampus. Warkop DKI bolehlah kita bilang sebagai pelopornya. Era komedian kampus ini terus berlanjut dengan munculnya komedian yang sukses di generasinya masing-masing. Patrio, CAGUR dan Bajaj adalah beberapa nama terkenal yang jadi ikon komedian kampus. Layaknya mahasiswa mereka memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih baik. Namun apakah tingkat pendidikan yang tinggi menjamin komedian jadi lebih cerdas dalam pertunjukannya?
Mungkin tidak juga. Nyatanya kita masih juga disuguhi materi atau konsep lawakan yang relatif sama. Cacian, kata-kata porno nan vulgar, hingga kekerasan fisik masih menjadi sesuatu yang ‘seksi’ dan menjual bagi industri pertelevisian kita. Industri? Benar, kini eranya industri pertelevisian. Bicara industri, kita harus ingat hukum pasar. Apa yang jadi permintaan pasar, itulah yang akan disediakan sehingga jadi komoditas. Artinya, si produser akan terus menyodorkan jualan mereka (dalam hal ini tontonan komedi) selama penonton masih menyukainya. Dan mereka selalu menggunakan rating sebagai tolok ukur kesuksesan acara. Makin tinggi rating, makin banyak iklan yang masuk, makin gencarlah mereka memproduksi paket acara tersebut.
Masalahnya rating penonton tayangan komedi sejenis ini memang cukup tinggi, tak peduli stasiun televisi apapun tetap jadi primadona. Meski Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berkali-kali memberi somasi hingga teguran keras, nyatanya tayangan komedi sejenis ini tetap saja laris manis.
Apa ini memang selera masyarakat kita? Kalau iya, kita patut prihatin atas kenyataan ini. Masyarakat kita (mungkin) telah mengalami pergeseran budaya yang lumayan mengkhawatirkan ketika caci-maki, kata-kata porno dan vulgar, kekerasan fisik dan bergaya kebanci-bancian justru jadi idaman. Mungkin masyarakat kita sudah lelah dengan persoalan-persoalan yang serius dan berat yang membelit kehidupan di negeri ini. Politik, korupsi, ketidakadilan, beban ekonomi yang makin berat, sudah terlalu memenuhi isi kepala kita. Benar, bahwa tertawa membuat kita bisa membuat kita lebih rileks, lepas dan segar kembali. Karena menurut para ahli kesehatan, ketika kita tertawa maka banyak oksigen yang kita hirup, sehingga memberi manfaat bagi tekanan darah dan kerja otak. Tapi tertawa karena hal-hal yang tak pantas, juga tidaklah bijak.
Selagi kita mau membentengi diri dengan lebih cerdas memilih dan memilah tayangan yang lebih pantas untuk kita konsumsi, kita masih bisa menyelamatkan moral dan budaya negeri ini. Kita masih bisa ikut mengontrol mekanisme pasar dalam industri televisi. Bukankah ketika tidak menontonnya, rating mereka akan turun? Yang artinya sponsor dan iklan akan pamit mundur. Kita masih bisa menertawakan para komedian, tanpa mereka harus berubah jadi (maaf) banci, korban pukul-pukulan styrofoam, atau jadi korban cacian karena kekurangan fisik mereka. Tertawakanlah komedian sebelum komedi itu dilarang!
Benny ‘’Bens’’ Sani, Praktisi public speaking dan Sekretaris Pengda PaSKI Riau.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Mei 2012
No comments:
Post a Comment