-- Jefri al Malay
PENTAS teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ oleh Sanggar Teater Mara pada 27-28 April 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin merupakan sebuah pentas teater yang kisahnya terinspirasi dari cerita rakyat Bengkalis yang berjudul ‘’Syair Ikan Terubuk’’. Dikisahkan dalam syair yang begitu dekat dengan masyarakat Bengkalis itu, Putri Puyu-puyu menolak keinginan Ikan Terubuk untuk mendapatkan cintanya dengan alasan mereka hidup di dua alam yang berbeda. Terubuk hidup di air asin sedang Putri Puyu-puyu hidup di air tawar. Penolakan itu mengakibatkan Terubuk murka dan akhirnya membuat keputusan menyerang Putri Puyu-puyu.
Di tangan Hang Kafrawi sebagai penulis naksah sekaligus sutradara dalam pentas teater “Hikayat Puyu-puyu”, menemukan celah baru untuk dijadikan tafsiran yakni pada kata “penolakan”. Ia merumuskan bahwa penolakan dengan kesadaran akan kebenaran serta keteguhan hati adalah sebuah perjuangan yang di sini tentu saja diperuntukkan bagi kaum tertindas yang terwakili dalam pentas tersebut oleh Putri Puyu-puyu. Sedang yang berkuasa dan menindas adalah Terubuk dan pasukannya. Terubuk dengan kekuasaannya merasa bisa melakukan apa saja apalagi bila kehendaknya tak terpenuhi. Dari sinilah Hang Kafrawi meramu ceritanya.
Tentu saja sebagai sebuah karya seni yang notabene lahir dari penggambaran kembali dan pencerminan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dalam hal ini, Hang Kafrawi memotret peristiwa yang belum lama terjadi di tanah Tanjung Padang, di mana sebuah perusahaan besar ingin meluluh-lantakkan keseimbangan di pulau tersebut dengan menanam tumbuhan yang tak sesuai habitatnya, semata-mata memenuhi keperluan produksi perusahaan.
Bila disimak, bukankah ada keterkaitan erat dari kedua peristiwa antara ‘’Syair Ikan Terubuk’’ dan tragedi Tanjung Padang baru-baru ini di mana setting tempatnya sama-sama terjadi di Pulau Padang. Sama ada hal itu sebuah kebetulan belaka atau seperti yang dikemukakan Hang Kafrawi bahwa karya seni (sastra) adakalanya tak hanya jadi cerminan atas apa yang berlaku pada hari ini, tapi seringkali jadi “ramalan” untuk masa yang akan datang atau berisi gagasan yang futuristik. Lihat saja karya “Syair Ikan Terubuk” yang lahir berabad yang lalu seolah-olah menggambarkan peristiwa yang berlaku pada masa kini di tanah Tanjung Padang, meski dalam bentuk yang berbeda. Karenanya dapat pula dikatakan, Hang Kafrawi tak hanya menjadikan “Syair Ikan Terubuk” sebagai inspirasi dalam pentasnya tapi juga melakukan tafsiran ulang atas cerita rakyat Kabupaten Bengkalis tersebut.
Aspek Pemanggungan
Lalu, bagaimana berbagai perihal di atas dikemas jadi sebuah pentas teater? Seperti kita ketahui, ada banyak gagasan untuk dijadikan sandaran sebuah pentas teater dinilai baik. Misalnya dengan menimbang unsur kebenaran dari penalaran suatu situasi yang bisa diterima akal sehat. Adanya unsur kejujuran dan pementasan yang bicara artinya sebuah pentas teater hendaklah menambah wawasan terhadap diri dan orang lain, memberi arti pada kondisi manusia. Dan yang tak kalah pentingnya adalah unsur tontonan, dalam artian menarik minat, perhatian serta bisa memberi pengalaman berharga. Unsur tontonan tentu saja tak hanya bicara sebatas hiburan belaka tapi juga memberi kesempatan pada penonton untuk mengindentifikasi dirinya dengan pribadi yang berada dalam pementasan yang dapat mereka pahami, berfaedah dan menarik.
Sehubungan dengan itu, dapat pula dijelaskan aspek yang tersusun menyatu dalam batang tubuh pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Di mana pementasannya diawali musik yang ditata Ridho. Suguhan musik pembukanya cukup menarik, dengan eksplorasi atas irama-irama maulud, berdah, barzanji dan marhaban yang disenandungkan beberapa orang otomatis mengajak imajinasi penonton masuk ke ceruk wilayah Riau pesisir. Ditambah syairnya yang telah diubah-suaikan dengan syair kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ dalam pementasan tersebut. Lalu tak berapa lama, masuk semua aktor, melakukan gerakan melingkar menggunakan gerak-gerak teater tradisi Mak Yong. Memang gerakan berjalan dan menari yang melingkar dalam teater tradisi Mak Yong dilakukan pemain untuk keluar masuk panggung dalam sebuah adegan yang ditingkah gendang panjang bertalu-talu.
Yang mengejutkan setelah itu adalah pemain membentuk format pola lantai tarian dan dengan suguhan musik masa kini, mereka melakukan gerakan tari ala boys band. Terlepas apa hubungannya dengan konsep garapan, tapi setakat ini tepukan penonton yang rata-rata remaja bergemuruh menyaksikan hal itu. Memang unsur tarian begitu beragam dan cukup memberi warna dalam pementasan teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Menurut saya, itu sengaja jadi pilihan bentuk atau konsep garapannya karena secara teks, ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang ditulis Hang Kafrawi yang notabene juga seorang penyair, dialog-dialognya sarat kata-kata puitis, membincangkan peristiwa demi peristiwa menggunakan perlambangan kata-kata. Kontan saja bila tak ada upaya menjelajahi unsur-unsur pemanggungan, teks naskah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ akan jadi begitu monoton di atas pentas. Karena proses perpindahan teks ke panggung sudah tentu menjadi kerja yang lain pula di tangan seorang sutradara.
Pilihan tarian yang barangkali jadi ciri khas pementasan bagi sanggar teater Mara adalah upaya menjaga tempo pementasan agar tak jadi tontonan yang menjenuhkan. Tarian yang disuguhkan adalah bentuk-bentuk gerakan yang menggambarkan kisah atau adegan yang terjadi dalam pementasan. Artinya, gerak tari tak berdiri sendiri tapi menyatu dalam adegan-adegan pemanggungan teater, salah satu misalnya bagaimana penjelajahan gerak tari membungkus penutup pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’, yakni proses penyerangan Terubuk dan pasukannya terhadap pasukan Puyu-puyu.
Pada pemilihan tokoh dan karakter, sutradara juga memberi sebuah tawaran yang menurut saya cukup menyegarkan. Sesungguhnya kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ adalah sebuah kisah yang bertemakan tragedi. Tapi lagi-lagi saya menyaksikan ada upaya lain untuk menguatkan unsur tontonan dari pentas tersebut. Digambarkan misalnya pada beberapa karakter pemain yang menggunakan gaya bermain bangsawan atau The Great Style dan juga ada beberapa aktor yang bermain sangat santai atau kalau boleh saya katakan gaya realisme ala Melayu. Di sinilah titik terang untuk mengatakan pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ merupakan peristiwa antara tragedi dan gurau senda.
Bagaimana tidak? Beberapa aktor yang bermain dengan gaya realisme ala Melayu yang saya katakan tadi, dalam hal ini terwakili oleh peran Fahrudin sebagai Malung, Jumadi sebagai Senunggang dan Sulaiman sebagai Bawal. Mereka ini merupakan pasukan Terubuk yang bermain sangat santai tak ubah seperti keseharian orang-orang Melayu Pesisir, baik dari logat maupun bahasa tubuh. Gurau senda tak lepas dari permainan atau akting mereka tapi sesungguhnya yang sedang mereka bicarakan adalah peristiwa tragedi. Ini yang saya kira moment atau sisi ironisnya. Bukankah hal itu merupakan gambaran realita dalam keseharian kita? Betapa banyak orang-orang yang kini melakukan kesewenangan, penindasan, dan maksiat lainnya hanya sembari bergurau senda dan menganggap hal itu cuma permainan belaka? Mereka tak lagi memperhitungkan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, dengan kesempatan dan kekuasaan yang dimiliki bahkan sambil tertawa terbekah-bekah, semuanya bisa tercapai dengan tidak bersusah payah.
Sedang di pihak Puyu-puyu, Riki yang berperan sebagai Badar dan Jamal sebagai Keli. Mereka adalah pengawal yang juga bermain dengan karakter lepas atau santai. Dalam ketakberdayaan dan kesedihan, suasana gurau senda tak lepas dari permainan mereka meski di satu sisi, Tuan Putri Puyu-puyu dalam keadaan cemas dan gundah. Barangkali ini juga menggambarkan sebuah situasi di mana tatkala manusia berada di ambang kegelisahan dan kesedihan bahkan ketidakberdayaan, gurau senda menjadi salah satu pilihan untuk menyikapinya. Namun demikian bukanlah sikap itu menunjukkan kekalahan yang mutlak tapi bergurau pada batasnya. Ketika sebagai pengawal yang kemudian dititahkan oleh pimpinannya Puyu-puyu untuk mempertahankan hak dan marwah mereka sampai ke titik darah penghabisan, kedua pengawal itu juga dengan tegas ikut menegakkan keyakinan dan kebenaran yang mereka junjung.
Selebihnya adalah karakter atau tokoh-tokoh dalam pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang mengkerucutkan pentas ini menjadi tontonan tragedi. Di antaranya Terubuk yang diperankan Deni Afriadi, Ridwan sebagai Tenggiri, Zulfa sebagai Kurau, Syarifuddin sebagai Belut, Siti Aminah sebagai Puyu-puyu dan Rosi sebagai Tapah. Dapat dikatakan, masing-masing ketokohan mereka membangun puncak atau klimak dari pementasan ini. Tapi kemudian apa yang dapat disimpulkan di akhir pementasan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ ini adalah peran Belut yang kemudian menurut hemat saya, dialah menjadi tokoh sentral. Karena penyerangan yang dilakukan Terubuk terhadap Puyu-puyu semata-mata disebabkan sifat Belut yang bermuka dua. Bahkan ia terkesan mengadu-domba kedua belah pihak. Belutlah dalang penyerangan tersebut. Adapun pesan inilah yang saya kira merangkum dari keseluruhan pementasan sebab begitu banyak pihak atau orang-orang yang memiliki sifat seperti belut di zaman sekarang ini. Menangkap keuntungan baik berupa materi atau kepuasan batin atas penderitaan orang lain. Dia merasakan kepuasan yang tak terkira bila rencana busuknya berjalan mulus.
Demikianlah berbagai aspek pemanggungan yang diramu Hang Kafrawi dalam pentas teaternya ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Segala bentuk penjelajahan ataupun penawaran yang dihidangkan tentu saja menjadi sajian yang dinikmati penonton dengan berbagai aneka rasa, tergantung dari mana dan siapa yang mengapresiasikannya. Dan saya kira begitulah seharusnya karya seni sampai ke pangkuan penonton. Tak ada kepastian mutlak untuk mengatakan sebuah karya seni menjadi sempurna selain dari penikmatnya masing-masing yang menentukan. Setidaknya Hang Kafrawi dan kawan-kawan telah melakukan sebuah upaya memotret peristiwa keseharian dan kemudian menjadikan karya dalam bentuk komunikasi seni pada khalayak. Begitulah salah satu kerja seniman seperti yang pernah dikatakan Rendra bahwa fenomena yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat bisa diolah dan diberi ruang tafsir secara kreatif. Dengan demikian seniman bisa menunjukkan jati dirinya karena kesenian mereka yang otentik, unik serta relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia. Terakhir, sebagai penonton dan penikmat teater, saya ucapkan syabas pada sanggar Teater Mara atas pementasannya. Jaya selalu teater di Riau.
Jefri al Malay, Penikmat teater dan alumni AKMR Jurusan Teater. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu sekaligus mengabdi di SMA 2 Bengkalis sebagai guru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Mei 2012
PENTAS teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ oleh Sanggar Teater Mara pada 27-28 April 2012 di Anjung Seni Idrus Tintin merupakan sebuah pentas teater yang kisahnya terinspirasi dari cerita rakyat Bengkalis yang berjudul ‘’Syair Ikan Terubuk’’. Dikisahkan dalam syair yang begitu dekat dengan masyarakat Bengkalis itu, Putri Puyu-puyu menolak keinginan Ikan Terubuk untuk mendapatkan cintanya dengan alasan mereka hidup di dua alam yang berbeda. Terubuk hidup di air asin sedang Putri Puyu-puyu hidup di air tawar. Penolakan itu mengakibatkan Terubuk murka dan akhirnya membuat keputusan menyerang Putri Puyu-puyu.
Di tangan Hang Kafrawi sebagai penulis naksah sekaligus sutradara dalam pentas teater “Hikayat Puyu-puyu”, menemukan celah baru untuk dijadikan tafsiran yakni pada kata “penolakan”. Ia merumuskan bahwa penolakan dengan kesadaran akan kebenaran serta keteguhan hati adalah sebuah perjuangan yang di sini tentu saja diperuntukkan bagi kaum tertindas yang terwakili dalam pentas tersebut oleh Putri Puyu-puyu. Sedang yang berkuasa dan menindas adalah Terubuk dan pasukannya. Terubuk dengan kekuasaannya merasa bisa melakukan apa saja apalagi bila kehendaknya tak terpenuhi. Dari sinilah Hang Kafrawi meramu ceritanya.
Tentu saja sebagai sebuah karya seni yang notabene lahir dari penggambaran kembali dan pencerminan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dalam hal ini, Hang Kafrawi memotret peristiwa yang belum lama terjadi di tanah Tanjung Padang, di mana sebuah perusahaan besar ingin meluluh-lantakkan keseimbangan di pulau tersebut dengan menanam tumbuhan yang tak sesuai habitatnya, semata-mata memenuhi keperluan produksi perusahaan.
Bila disimak, bukankah ada keterkaitan erat dari kedua peristiwa antara ‘’Syair Ikan Terubuk’’ dan tragedi Tanjung Padang baru-baru ini di mana setting tempatnya sama-sama terjadi di Pulau Padang. Sama ada hal itu sebuah kebetulan belaka atau seperti yang dikemukakan Hang Kafrawi bahwa karya seni (sastra) adakalanya tak hanya jadi cerminan atas apa yang berlaku pada hari ini, tapi seringkali jadi “ramalan” untuk masa yang akan datang atau berisi gagasan yang futuristik. Lihat saja karya “Syair Ikan Terubuk” yang lahir berabad yang lalu seolah-olah menggambarkan peristiwa yang berlaku pada masa kini di tanah Tanjung Padang, meski dalam bentuk yang berbeda. Karenanya dapat pula dikatakan, Hang Kafrawi tak hanya menjadikan “Syair Ikan Terubuk” sebagai inspirasi dalam pentasnya tapi juga melakukan tafsiran ulang atas cerita rakyat Kabupaten Bengkalis tersebut.
Aspek Pemanggungan
Lalu, bagaimana berbagai perihal di atas dikemas jadi sebuah pentas teater? Seperti kita ketahui, ada banyak gagasan untuk dijadikan sandaran sebuah pentas teater dinilai baik. Misalnya dengan menimbang unsur kebenaran dari penalaran suatu situasi yang bisa diterima akal sehat. Adanya unsur kejujuran dan pementasan yang bicara artinya sebuah pentas teater hendaklah menambah wawasan terhadap diri dan orang lain, memberi arti pada kondisi manusia. Dan yang tak kalah pentingnya adalah unsur tontonan, dalam artian menarik minat, perhatian serta bisa memberi pengalaman berharga. Unsur tontonan tentu saja tak hanya bicara sebatas hiburan belaka tapi juga memberi kesempatan pada penonton untuk mengindentifikasi dirinya dengan pribadi yang berada dalam pementasan yang dapat mereka pahami, berfaedah dan menarik.
Sehubungan dengan itu, dapat pula dijelaskan aspek yang tersusun menyatu dalam batang tubuh pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Di mana pementasannya diawali musik yang ditata Ridho. Suguhan musik pembukanya cukup menarik, dengan eksplorasi atas irama-irama maulud, berdah, barzanji dan marhaban yang disenandungkan beberapa orang otomatis mengajak imajinasi penonton masuk ke ceruk wilayah Riau pesisir. Ditambah syairnya yang telah diubah-suaikan dengan syair kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ dalam pementasan tersebut. Lalu tak berapa lama, masuk semua aktor, melakukan gerakan melingkar menggunakan gerak-gerak teater tradisi Mak Yong. Memang gerakan berjalan dan menari yang melingkar dalam teater tradisi Mak Yong dilakukan pemain untuk keluar masuk panggung dalam sebuah adegan yang ditingkah gendang panjang bertalu-talu.
Yang mengejutkan setelah itu adalah pemain membentuk format pola lantai tarian dan dengan suguhan musik masa kini, mereka melakukan gerakan tari ala boys band. Terlepas apa hubungannya dengan konsep garapan, tapi setakat ini tepukan penonton yang rata-rata remaja bergemuruh menyaksikan hal itu. Memang unsur tarian begitu beragam dan cukup memberi warna dalam pementasan teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Menurut saya, itu sengaja jadi pilihan bentuk atau konsep garapannya karena secara teks, ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang ditulis Hang Kafrawi yang notabene juga seorang penyair, dialog-dialognya sarat kata-kata puitis, membincangkan peristiwa demi peristiwa menggunakan perlambangan kata-kata. Kontan saja bila tak ada upaya menjelajahi unsur-unsur pemanggungan, teks naskah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ akan jadi begitu monoton di atas pentas. Karena proses perpindahan teks ke panggung sudah tentu menjadi kerja yang lain pula di tangan seorang sutradara.
Pilihan tarian yang barangkali jadi ciri khas pementasan bagi sanggar teater Mara adalah upaya menjaga tempo pementasan agar tak jadi tontonan yang menjenuhkan. Tarian yang disuguhkan adalah bentuk-bentuk gerakan yang menggambarkan kisah atau adegan yang terjadi dalam pementasan. Artinya, gerak tari tak berdiri sendiri tapi menyatu dalam adegan-adegan pemanggungan teater, salah satu misalnya bagaimana penjelajahan gerak tari membungkus penutup pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’, yakni proses penyerangan Terubuk dan pasukannya terhadap pasukan Puyu-puyu.
Pada pemilihan tokoh dan karakter, sutradara juga memberi sebuah tawaran yang menurut saya cukup menyegarkan. Sesungguhnya kisah ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ adalah sebuah kisah yang bertemakan tragedi. Tapi lagi-lagi saya menyaksikan ada upaya lain untuk menguatkan unsur tontonan dari pentas tersebut. Digambarkan misalnya pada beberapa karakter pemain yang menggunakan gaya bermain bangsawan atau The Great Style dan juga ada beberapa aktor yang bermain sangat santai atau kalau boleh saya katakan gaya realisme ala Melayu. Di sinilah titik terang untuk mengatakan pentas teater ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ merupakan peristiwa antara tragedi dan gurau senda.
Bagaimana tidak? Beberapa aktor yang bermain dengan gaya realisme ala Melayu yang saya katakan tadi, dalam hal ini terwakili oleh peran Fahrudin sebagai Malung, Jumadi sebagai Senunggang dan Sulaiman sebagai Bawal. Mereka ini merupakan pasukan Terubuk yang bermain sangat santai tak ubah seperti keseharian orang-orang Melayu Pesisir, baik dari logat maupun bahasa tubuh. Gurau senda tak lepas dari permainan atau akting mereka tapi sesungguhnya yang sedang mereka bicarakan adalah peristiwa tragedi. Ini yang saya kira moment atau sisi ironisnya. Bukankah hal itu merupakan gambaran realita dalam keseharian kita? Betapa banyak orang-orang yang kini melakukan kesewenangan, penindasan, dan maksiat lainnya hanya sembari bergurau senda dan menganggap hal itu cuma permainan belaka? Mereka tak lagi memperhitungkan hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, dengan kesempatan dan kekuasaan yang dimiliki bahkan sambil tertawa terbekah-bekah, semuanya bisa tercapai dengan tidak bersusah payah.
Sedang di pihak Puyu-puyu, Riki yang berperan sebagai Badar dan Jamal sebagai Keli. Mereka adalah pengawal yang juga bermain dengan karakter lepas atau santai. Dalam ketakberdayaan dan kesedihan, suasana gurau senda tak lepas dari permainan mereka meski di satu sisi, Tuan Putri Puyu-puyu dalam keadaan cemas dan gundah. Barangkali ini juga menggambarkan sebuah situasi di mana tatkala manusia berada di ambang kegelisahan dan kesedihan bahkan ketidakberdayaan, gurau senda menjadi salah satu pilihan untuk menyikapinya. Namun demikian bukanlah sikap itu menunjukkan kekalahan yang mutlak tapi bergurau pada batasnya. Ketika sebagai pengawal yang kemudian dititahkan oleh pimpinannya Puyu-puyu untuk mempertahankan hak dan marwah mereka sampai ke titik darah penghabisan, kedua pengawal itu juga dengan tegas ikut menegakkan keyakinan dan kebenaran yang mereka junjung.
Selebihnya adalah karakter atau tokoh-tokoh dalam pentas ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ yang mengkerucutkan pentas ini menjadi tontonan tragedi. Di antaranya Terubuk yang diperankan Deni Afriadi, Ridwan sebagai Tenggiri, Zulfa sebagai Kurau, Syarifuddin sebagai Belut, Siti Aminah sebagai Puyu-puyu dan Rosi sebagai Tapah. Dapat dikatakan, masing-masing ketokohan mereka membangun puncak atau klimak dari pementasan ini. Tapi kemudian apa yang dapat disimpulkan di akhir pementasan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ ini adalah peran Belut yang kemudian menurut hemat saya, dialah menjadi tokoh sentral. Karena penyerangan yang dilakukan Terubuk terhadap Puyu-puyu semata-mata disebabkan sifat Belut yang bermuka dua. Bahkan ia terkesan mengadu-domba kedua belah pihak. Belutlah dalang penyerangan tersebut. Adapun pesan inilah yang saya kira merangkum dari keseluruhan pementasan sebab begitu banyak pihak atau orang-orang yang memiliki sifat seperti belut di zaman sekarang ini. Menangkap keuntungan baik berupa materi atau kepuasan batin atas penderitaan orang lain. Dia merasakan kepuasan yang tak terkira bila rencana busuknya berjalan mulus.
Demikianlah berbagai aspek pemanggungan yang diramu Hang Kafrawi dalam pentas teaternya ‘’Hikayat Puyu-puyu’’. Segala bentuk penjelajahan ataupun penawaran yang dihidangkan tentu saja menjadi sajian yang dinikmati penonton dengan berbagai aneka rasa, tergantung dari mana dan siapa yang mengapresiasikannya. Dan saya kira begitulah seharusnya karya seni sampai ke pangkuan penonton. Tak ada kepastian mutlak untuk mengatakan sebuah karya seni menjadi sempurna selain dari penikmatnya masing-masing yang menentukan. Setidaknya Hang Kafrawi dan kawan-kawan telah melakukan sebuah upaya memotret peristiwa keseharian dan kemudian menjadikan karya dalam bentuk komunikasi seni pada khalayak. Begitulah salah satu kerja seniman seperti yang pernah dikatakan Rendra bahwa fenomena yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat bisa diolah dan diberi ruang tafsir secara kreatif. Dengan demikian seniman bisa menunjukkan jati dirinya karena kesenian mereka yang otentik, unik serta relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia. Terakhir, sebagai penonton dan penikmat teater, saya ucapkan syabas pada sanggar Teater Mara atas pementasannya. Jaya selalu teater di Riau.
Jefri al Malay, Penikmat teater dan alumni AKMR Jurusan Teater. Kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu sekaligus mengabdi di SMA 2 Bengkalis sebagai guru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Mei 2012
No comments:
Post a Comment