-- Tirta Rismahadi Wijaya
SEKADAR refleksi, pendidikan nasional membukukan banyak catatan keberhasilan. Di antaranya yang cukup spektakuler dan membanggakan adalah mobil Esemka karya siswa SMK di Solo, Jawa Tengah. Namun, di balik itu terselip catatan tidak menggembirakan, budaya literal sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita karena tidak mendapat tempat lagi di benak para siswa. Ini menjadi catatan penting dan mendasar yang luput dari perhatian.
Dewasa ini, hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan televisi (media visual) sebagai konsumsi baku untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Hampir di setiap sudut ruangan rumah penduduk terdapat televisi. Selain praktis, aksesnya yang cepat membuat media ini semakin diminati warga.
Tayangan-tayangan di televisi memang sangat menarik, sehingga membuat pemirsa terlena oleh keadaan. Tayangan hiburan lebih banyak digemari, baik di kalangan orangtua, dewasa, bahkan remaja (mahasiswa). Acara sinetron yang tayang setiap hari dengan cerita yang tidak masuk akal adalah menu yang selalu dinanti-nanti.
Mudahnya akses televisi (TV) serta luasnya jangkauan, memudahkan masyarakat untuk menikmatinya. Di satu sisi, kehadiran TV yang menyajikan hiburan dianggap solusi pelepas lelah dari mumetnya pikiran di tengah persoalan kehidupan yang semakin sulit. Di sisi lain, hampir 70 persen lebih tayangan televisi sangat tidak mendidik dan banyak diisi tayangan drama dengan pesan berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas. Selain itu, hampir setiap stasiun TV didominasi oleh infotainment.
Padahal, semakin sering anak-anak menonton TV berdampak pada perkembangan mental mereka hingga menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik. Di lain pihak, kebanyakan menonton TV dapat menyebabkan kemalasan di kalangan pelajar.
Porsi untuk belajar sangat kecil ketimbang menonton televisi. Kebanyakan waktu mereka tersita hanya karena tontonan yang tidak mendidik dan tidak bermoral. Remaja Indonesia pun sekarang lebih pas dibilang generasi visual. Padahal generasi visual adalah musuh utama budaya literal.
Inilah sebenarnya tantangan besar pendidikan di Indonesia, kini. Budaya membaca dan menulis semakin tidak populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang kurang menarik dan sangat membosankan. Bahkan, banyak di antara mereka menganggap kegiatan membaca dan menulis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Maka, tidak heran apabila siswa enggan melakukan kegiatan yang berbau literal. Lebih tragis lagi, mahasiswa yang diharapkan mampu membuat sebuah laporan ilmiah, ternyata skripsinya saja membeli dari orang lain.
Budaya membaca tampaknya memang belum terbangun dengan baik di Indonesia. Para siswa masih menganggap kegiatan membaca dan menulis sebagai hal yang menguras otak dan membuat pusing. Di samping itu, kesadaran membaca dan menulis belum dijadikan kebutuhan pokok seperti halnya makan dan minum sehingga hal tersebut sangat sulit untuk dibiasakan.
Sampai saat ini, pendidikan nasional belum mampu menyiapkan SDM yang mampu menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Perlu orientasi pendidikan nasional untuk meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Terdistorsinya pendidikan di Indonesia mulai dari mutu dan relevansi serta pendekatan pendidikan terlihat ketika lulusan-lulusan lembaga pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan bangsa.
Lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara maupun swasta sebaiknya memperhatikan sistem dan metode pembelajaran yang proaktif melibatkan anak didik, serta membiasakan budaya literal. Tanggung jawab ini tidak hanya bagi para pendidik, melainkan tanggung jawab seluruh individu untuk membimbing dan mengarahkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, terutama orangtua siswa.
Ini juga merupakan tugas besar seluruh komponen bangsa, agar kita tidak kembali menjadi budak dari pengetahuan itu sendiri. Bukankah dengan belajar, membaca dan menulis, kita akan melihat seluruh isi dunia?
Negara yang sedang berkembang dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah seperti Indonesia, sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup. Eksplorasi di berbagai bidang memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni. SDM yang cukup dan memadai, akan tumbuh dari mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajar, membaca dan menulis.
Terkikisnya budaya baca di kalangan pelajar dan mahasiswa akan memperburuk citra pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan yang kita anggap sebagai tolak ukur kemajuan bangsa ternyata sangat memprihatinkan.
Pelajar sebagai aktor dunia pendidikan masih enggan membaca dan menulis. Bisa dibanyangkan, bagaimana kualitas peserta didik negeri ini di masa mendatang. Padahal, dengan membaca paling tidak akan membuka wawasan dan pengetahuan minimal untuk pribadinya.
Jika diingat kebangkitan nasional seabad lalu, akar gerakan itu bermula dari budaya literal, yaitu belajar, membaca, menulis dan berpikir sehingga tercipta pola pikir kebangsaan. Lihat saja, hampir semua tokoh bangsa yang mempelopori kebangkitan dan kemerdekaan adalah orang-orang yang selalu bergelut dengan budaya literal.
Rupanya, budaya membaca yang dulu menjadi ciri khas peradaban bangsa begitu jauh tersisihkan. Kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi bukan berarti selalu membawa efek negatif. Tetapi, hal tersebut harus disikapi dengan arif diikuti keseimbangan berpikir. Budaya nonton yang kian menjalar bukan sebagai sebab dari makin malasnya generasi bangsa tetapi bagaimana kesadaran akan pentingnya pendidikan kembali ditanamkan.
Tirta Rismahadi Wijaya, Direktur Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC) Ciputat.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 4 Mei 2012
SEKADAR refleksi, pendidikan nasional membukukan banyak catatan keberhasilan. Di antaranya yang cukup spektakuler dan membanggakan adalah mobil Esemka karya siswa SMK di Solo, Jawa Tengah. Namun, di balik itu terselip catatan tidak menggembirakan, budaya literal sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita karena tidak mendapat tempat lagi di benak para siswa. Ini menjadi catatan penting dan mendasar yang luput dari perhatian.
Dewasa ini, hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan televisi (media visual) sebagai konsumsi baku untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Hampir di setiap sudut ruangan rumah penduduk terdapat televisi. Selain praktis, aksesnya yang cepat membuat media ini semakin diminati warga.
Tayangan-tayangan di televisi memang sangat menarik, sehingga membuat pemirsa terlena oleh keadaan. Tayangan hiburan lebih banyak digemari, baik di kalangan orangtua, dewasa, bahkan remaja (mahasiswa). Acara sinetron yang tayang setiap hari dengan cerita yang tidak masuk akal adalah menu yang selalu dinanti-nanti.
Mudahnya akses televisi (TV) serta luasnya jangkauan, memudahkan masyarakat untuk menikmatinya. Di satu sisi, kehadiran TV yang menyajikan hiburan dianggap solusi pelepas lelah dari mumetnya pikiran di tengah persoalan kehidupan yang semakin sulit. Di sisi lain, hampir 70 persen lebih tayangan televisi sangat tidak mendidik dan banyak diisi tayangan drama dengan pesan berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas. Selain itu, hampir setiap stasiun TV didominasi oleh infotainment.
Padahal, semakin sering anak-anak menonton TV berdampak pada perkembangan mental mereka hingga menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik. Di lain pihak, kebanyakan menonton TV dapat menyebabkan kemalasan di kalangan pelajar.
Porsi untuk belajar sangat kecil ketimbang menonton televisi. Kebanyakan waktu mereka tersita hanya karena tontonan yang tidak mendidik dan tidak bermoral. Remaja Indonesia pun sekarang lebih pas dibilang generasi visual. Padahal generasi visual adalah musuh utama budaya literal.
Inilah sebenarnya tantangan besar pendidikan di Indonesia, kini. Budaya membaca dan menulis semakin tidak populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang kurang menarik dan sangat membosankan. Bahkan, banyak di antara mereka menganggap kegiatan membaca dan menulis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Maka, tidak heran apabila siswa enggan melakukan kegiatan yang berbau literal. Lebih tragis lagi, mahasiswa yang diharapkan mampu membuat sebuah laporan ilmiah, ternyata skripsinya saja membeli dari orang lain.
Budaya membaca tampaknya memang belum terbangun dengan baik di Indonesia. Para siswa masih menganggap kegiatan membaca dan menulis sebagai hal yang menguras otak dan membuat pusing. Di samping itu, kesadaran membaca dan menulis belum dijadikan kebutuhan pokok seperti halnya makan dan minum sehingga hal tersebut sangat sulit untuk dibiasakan.
Sampai saat ini, pendidikan nasional belum mampu menyiapkan SDM yang mampu menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Perlu orientasi pendidikan nasional untuk meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Terdistorsinya pendidikan di Indonesia mulai dari mutu dan relevansi serta pendekatan pendidikan terlihat ketika lulusan-lulusan lembaga pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan bangsa.
Lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara maupun swasta sebaiknya memperhatikan sistem dan metode pembelajaran yang proaktif melibatkan anak didik, serta membiasakan budaya literal. Tanggung jawab ini tidak hanya bagi para pendidik, melainkan tanggung jawab seluruh individu untuk membimbing dan mengarahkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, terutama orangtua siswa.
Ini juga merupakan tugas besar seluruh komponen bangsa, agar kita tidak kembali menjadi budak dari pengetahuan itu sendiri. Bukankah dengan belajar, membaca dan menulis, kita akan melihat seluruh isi dunia?
Negara yang sedang berkembang dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah seperti Indonesia, sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup. Eksplorasi di berbagai bidang memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni. SDM yang cukup dan memadai, akan tumbuh dari mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajar, membaca dan menulis.
Terkikisnya budaya baca di kalangan pelajar dan mahasiswa akan memperburuk citra pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan yang kita anggap sebagai tolak ukur kemajuan bangsa ternyata sangat memprihatinkan.
Pelajar sebagai aktor dunia pendidikan masih enggan membaca dan menulis. Bisa dibanyangkan, bagaimana kualitas peserta didik negeri ini di masa mendatang. Padahal, dengan membaca paling tidak akan membuka wawasan dan pengetahuan minimal untuk pribadinya.
Jika diingat kebangkitan nasional seabad lalu, akar gerakan itu bermula dari budaya literal, yaitu belajar, membaca, menulis dan berpikir sehingga tercipta pola pikir kebangsaan. Lihat saja, hampir semua tokoh bangsa yang mempelopori kebangkitan dan kemerdekaan adalah orang-orang yang selalu bergelut dengan budaya literal.
Rupanya, budaya membaca yang dulu menjadi ciri khas peradaban bangsa begitu jauh tersisihkan. Kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi bukan berarti selalu membawa efek negatif. Tetapi, hal tersebut harus disikapi dengan arif diikuti keseimbangan berpikir. Budaya nonton yang kian menjalar bukan sebagai sebab dari makin malasnya generasi bangsa tetapi bagaimana kesadaran akan pentingnya pendidikan kembali ditanamkan.
Tirta Rismahadi Wijaya, Direktur Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC) Ciputat.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 4 Mei 2012
No comments:
Post a Comment