-- Jodhi Yudono
SEMARANG, KOMPAS.com--Pemerhati bahasa Jawa Sutadi Siswarujita menilai pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah sekarang ini sangat kurang, karena diberikan hanya dalam dua jam pelajaran setiap minggu.
"Setidaknya, sejak 1974 pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah dikurangi menjadi hanya 90 menit per minggu, padahal sebelumnya empat jam per minggu," katanya, usai diskusi ’Budaya Adiluhung Yang Murung’, di Semarang, Selasa.
Menurut Sutadi yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah itu, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah yang hanya berlangsung dalam dua jam pelajaran setiap minggunya tentu sangatlah kurang.
"Zaman saya dulu, bahasa Jawa diberikan di sekolah malah 2x3 jam atau enam jam pelajaran setiap minggu. Kalau sekarang hanya dua jam seminggu, untuk bahasan aksara Jawa pun tidak mencukupi," kata pria yang akrab disapa Ki Sutadi itu.
Ia mengakui, pelestarian bahasa Jawa memang memerlukan peran banyak pihak, termasuk sekolah, keluarga, dan pemerintah, apalagi sekarang ini penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari di keluarga sudah jarang ditemukan.
Sekarang ini, kata dia, lebih banyak digunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di keluarga masyarakat Jawa, apalagi keluarga yang campuran, misalnya ibu berasal dari Jawa, sementara ayahnya berasal dari daerah lain.
"Perkawinan campuran memang turut membuat pelestarian budaya daerah terhambat, termasuk pula urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya menyebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota, namun turut mengubah karakter," katanya.
Urbanisasi, kata dia, membuat watak dan karakter tradisional seperti halnya masyarakat pedesaan, berubah menjadi "kekotaan", termasuk penggunaan bahasa sehari-hari di keluarga yang tak lagi bahasa daerah.
Pemerintah, lanjut dia, sebenarnya turut berperan dalam melestarikan tradisional, meliputi bahasa, sastra, dan aksara melalui regulasi, seperti halnya rancangan peraturan daerah bahasa, sastra, dan aksara Jawa di Jateng.
Ia menjelaskan, sebenarnya kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah di Jateng sudah diatur sejak 2005 dengan surat keputusan (SK) gubernur Jateng sehingga mampu sedikit melestarikan pembelajaran bahasa Jawa.
"Dengan SK Gubernur Jateng tahun 2005 itu, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah diatur dan tidak boleh dihilangkan, namun waktunya yang hanya 90 menit/minggu memang masih sangat kurang," kata Sutadi. (ANT)
Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 1 Mei 2012
SEMARANG, KOMPAS.com--Pemerhati bahasa Jawa Sutadi Siswarujita menilai pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah sekarang ini sangat kurang, karena diberikan hanya dalam dua jam pelajaran setiap minggu.
"Setidaknya, sejak 1974 pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah dikurangi menjadi hanya 90 menit per minggu, padahal sebelumnya empat jam per minggu," katanya, usai diskusi ’Budaya Adiluhung Yang Murung’, di Semarang, Selasa.
Menurut Sutadi yang juga Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah itu, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah yang hanya berlangsung dalam dua jam pelajaran setiap minggunya tentu sangatlah kurang.
"Zaman saya dulu, bahasa Jawa diberikan di sekolah malah 2x3 jam atau enam jam pelajaran setiap minggu. Kalau sekarang hanya dua jam seminggu, untuk bahasan aksara Jawa pun tidak mencukupi," kata pria yang akrab disapa Ki Sutadi itu.
Ia mengakui, pelestarian bahasa Jawa memang memerlukan peran banyak pihak, termasuk sekolah, keluarga, dan pemerintah, apalagi sekarang ini penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari di keluarga sudah jarang ditemukan.
Sekarang ini, kata dia, lebih banyak digunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi di keluarga masyarakat Jawa, apalagi keluarga yang campuran, misalnya ibu berasal dari Jawa, sementara ayahnya berasal dari daerah lain.
"Perkawinan campuran memang turut membuat pelestarian budaya daerah terhambat, termasuk pula urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya menyebabkan berpindahnya penduduk dari desa ke kota, namun turut mengubah karakter," katanya.
Urbanisasi, kata dia, membuat watak dan karakter tradisional seperti halnya masyarakat pedesaan, berubah menjadi "kekotaan", termasuk penggunaan bahasa sehari-hari di keluarga yang tak lagi bahasa daerah.
Pemerintah, lanjut dia, sebenarnya turut berperan dalam melestarikan tradisional, meliputi bahasa, sastra, dan aksara melalui regulasi, seperti halnya rancangan peraturan daerah bahasa, sastra, dan aksara Jawa di Jateng.
Ia menjelaskan, sebenarnya kurikulum pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah di Jateng sudah diatur sejak 2005 dengan surat keputusan (SK) gubernur Jateng sehingga mampu sedikit melestarikan pembelajaran bahasa Jawa.
"Dengan SK Gubernur Jateng tahun 2005 itu, pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah diatur dan tidak boleh dihilangkan, namun waktunya yang hanya 90 menit/minggu memang masih sangat kurang," kata Sutadi. (ANT)
Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 1 Mei 2012
No comments:
Post a Comment