-- Y Alpriyanti
CERITA tentang keberadaan sosok Syekh Siti Jenar, hingga kini sebenarnya bisa dikatakan masih merupakan sebuah kontroversi. Artinya, pada satu sisi banyak yang meyakini utamanya mereka yang jadi "pengikut" dan ajarannya bahwa tokoh ini memang ada. Di pihak lain, percaya Syekh Siti Jenar hanyalah fiktif.
Kontroversi itu juga menyangkut persoalan ajarannya. Sebagian berpandangan, konsep Manunggaling Kawula Gusti ajarannya yang terkenal itu adalah semacam "adaptasi" ajaran Wahdatul Wujud yang dicetuskan ulama sufi Al Hallaj dan Ibn Arabi. Artinya, Manunggaling Kawula Gusti adalah Wahdatul Wujud versi Jawa dan Siti Jenar adalah Al Hallaj Jawa.
Di pihak lain, ada pula yang berpandangan, Manunggaling Kawula Gusti tidaklah identik dengan Wahdatul Wujud. Ajaran ini lebih sebagai ekspresi keingin-an sebagian orang Jawa (masa lalu) yang di satu sisi telah memeluk Islam dan ingin diakui sebagai Islam, namun pada saat bersamaan tidak cukup "siap" melaksanakan syariat Islam paripurna akibat kuatnya pengaruh paham kepercayaan dari era Majapahit.
Mana yang benar di antara kedua pandangan itu? Yang pasti, di tengah keseluruhan kontroversi itu, ajaran Syekh Siti Jenar memang ada. Dan, yang pasti, seperti halnya terjadi pada Al Hallaj, Syekh Siti Jenar mengalami nasib sama. Ia dinyatakan sesat oleh pihak penguasa ketika itu (Demak) dan lantas dihukum mati.
Dalam konteks ini, bila ditelusuri baik pada Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar, justifikasi yang digunakan untuk menyatakan kesesatan itu tidak lain ternyata adalah bahwa ajaran itu "telah mengguncangkan umat" sehingga "mengganggu stabilitas kerajaan". Artinya, dasar yang digunakan untuk menyatakan sesat itu lebih karena "terganggunya kestabilan sebuah kekuasaan".
Pada tataran ini, bisa dilihat bahwa soal sesungguhnya di balik "penumpasan: baik terhadap Al Hallaj maupun Siti Jenar bukanlah semata-mata karena ajarannya. Melainkan "sifat" ajaran itu yang cenderung berbeda dengan pamahaman umum yang ada saat itu.
Dan, seperti yang diketahui, sesuatu yang berbeda dari mainstream, selain senantiasa terlihat ganjil, pula tak jarang sebagai sebuah ancaman atau musuh. Lebih-lebih jika itu ditarik dalam konteks kepentingan kekuasaan. Sebab, bagi setiap kekuasaan kapanpun dan di ma-napun sesuatu yang ganjil pastilah berbahaya dan membahayakan kelanggengan kekuasaan.
Begitupun halnya Al Hallaj atau Siti Jenar. "Bahaya" ajaran mereka tidak semata karena "kekeliruan" di dalamnya, melainkan kemungkinan "potensi ancaman" yang dikandungnya. Makanya, ia harus ditumpas.
DENGAN latar belakang "pemahaman" seperti itulah Teater Syahid UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, dikomandoi Arie F Batubara memilih lakon Syekh Siti Jenar-Babad Geger Pengging karya Saini KM untuk dipanggungkan di TIM sejak Jumat kemarin hingga Minggu 27 Mei besok. Boleh jadi, "pemahaman" ini kurang tepat. Tapi, sebagai sebuah pemahaman, boleh-boleh saja, bukan? Sebenarnya, selain yang ditulis Saini, masih naskah lain yang juga menguakkan kisah tentang Syekh Siti Jenar. Yaitu, yang ditulis Vredi Kastam Martha dengan judul "Syeh Siti Jenar". Namun, karena alasan pemahaman dan pendekatan tadi, karya Saini KM dipandang lebih cocok.
Sebetulnya, jika dicermati, kisah Syekh Siti Jenar yang ditulis Saini KM tidaklah dapat disebut cerita sejarah hidup Syekh Siti Jenar. Kisah ini lebih persis disebut refleksi pemikiran Saini sebagai intelektual yang juga sastrawan dalam menangkap hakikat hubungan manusia dengan Khalik di satu sisi dan bagaimana menguasai serta menghadapi pikiran berbeda lainnya.
Jadi, sekali lagi, di sini sama sekali tidak cerita atau pembahasan mengenai ajaran Syekh Siti Jenar, melainkan lebih sebagai pergulatan pemikiran Saini KM baik tentang esensi ajaran itu, maupun tafsirnya bagaimana ajaran yang diposisikan penguasa.
Demikianlah lantas konflik dalam lakon bergulir. Yakni, bagaimana Saini menggiring pergulatan pemikirannya ke dalam suatu bangunan dramatik yang menghadirkan konflik Syekh Siti Jenar dan Kerajaan Demak. Di sini, Saini memposisikan Syekh Siti Jenar menang dalam pertarungan, namun kalah dalam kekuasaan.
Tentu saja, tak penting betul memperdebatkan mengapa Saini memilih begitu. Sepenuhnya itu merupakan kewenangan Saini. Dan Teater Syahid, juga tak hendak mempersoalkan pilihan itu, karena sebagai penggarap, Ari F Batubara tidak punya pilihan lain.
KONTEKSTUALIASASI kekinian di sini sebenarnya tidaklah bisa dipandang sebagai sebuah pilihan, tetapi tuntutan dari setiap pemanggungan naskah lakon. Kenapa? Karena pada setiap pementasan sebuah lakon, senantiasa tidak bisa lepas keterkaitannya dengan realitas ruang dan waktu di mana dan kapan pertunjukan itu. Sebab, sebagai sebuah karya seni, seyogiyanyalah sebuah pertunjukan tidak berjarak dengan publik (penonton).
Maka, pementasan Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging karya Saini KM yang dihadirkan Teater Syahid kali ini, dengan sadar lantas memanfaatkan peluang bahwa lakon ini bukan lakon tentang sejarah atau ajaran yang diberikan sang pengarang. Sehingga, Teater Syahid pun lantas tidak harus terjebak untuk "bernyinyir-nyinyir" dengan sejarah dan ajaran. Sebagai konsekuensinya, yang tampil di atas panggung akan lebih memperlihatkan aspek kekinian dari misteri Syeh Siti Jenar.
Karena itu, dalam hal "perwujudan" fisikal para tokohnya di panggung, pilihannya lebih pada "kekinian" itu. Dengan demikian, ketika misalnya menyaksikan kehadiran para wali di atas panggung nanti, Anda jangan heran melihat penampilan para wali tidak seperti yang terlanjur Anda bayangkan selama ini.
Selamat menyaksikan!
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 26 Mei 2012
CERITA tentang keberadaan sosok Syekh Siti Jenar, hingga kini sebenarnya bisa dikatakan masih merupakan sebuah kontroversi. Artinya, pada satu sisi banyak yang meyakini utamanya mereka yang jadi "pengikut" dan ajarannya bahwa tokoh ini memang ada. Di pihak lain, percaya Syekh Siti Jenar hanyalah fiktif.
Kontroversi itu juga menyangkut persoalan ajarannya. Sebagian berpandangan, konsep Manunggaling Kawula Gusti ajarannya yang terkenal itu adalah semacam "adaptasi" ajaran Wahdatul Wujud yang dicetuskan ulama sufi Al Hallaj dan Ibn Arabi. Artinya, Manunggaling Kawula Gusti adalah Wahdatul Wujud versi Jawa dan Siti Jenar adalah Al Hallaj Jawa.
Di pihak lain, ada pula yang berpandangan, Manunggaling Kawula Gusti tidaklah identik dengan Wahdatul Wujud. Ajaran ini lebih sebagai ekspresi keingin-an sebagian orang Jawa (masa lalu) yang di satu sisi telah memeluk Islam dan ingin diakui sebagai Islam, namun pada saat bersamaan tidak cukup "siap" melaksanakan syariat Islam paripurna akibat kuatnya pengaruh paham kepercayaan dari era Majapahit.
Mana yang benar di antara kedua pandangan itu? Yang pasti, di tengah keseluruhan kontroversi itu, ajaran Syekh Siti Jenar memang ada. Dan, yang pasti, seperti halnya terjadi pada Al Hallaj, Syekh Siti Jenar mengalami nasib sama. Ia dinyatakan sesat oleh pihak penguasa ketika itu (Demak) dan lantas dihukum mati.
Dalam konteks ini, bila ditelusuri baik pada Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar, justifikasi yang digunakan untuk menyatakan kesesatan itu tidak lain ternyata adalah bahwa ajaran itu "telah mengguncangkan umat" sehingga "mengganggu stabilitas kerajaan". Artinya, dasar yang digunakan untuk menyatakan sesat itu lebih karena "terganggunya kestabilan sebuah kekuasaan".
Pada tataran ini, bisa dilihat bahwa soal sesungguhnya di balik "penumpasan: baik terhadap Al Hallaj maupun Siti Jenar bukanlah semata-mata karena ajarannya. Melainkan "sifat" ajaran itu yang cenderung berbeda dengan pamahaman umum yang ada saat itu.
Dan, seperti yang diketahui, sesuatu yang berbeda dari mainstream, selain senantiasa terlihat ganjil, pula tak jarang sebagai sebuah ancaman atau musuh. Lebih-lebih jika itu ditarik dalam konteks kepentingan kekuasaan. Sebab, bagi setiap kekuasaan kapanpun dan di ma-napun sesuatu yang ganjil pastilah berbahaya dan membahayakan kelanggengan kekuasaan.
Begitupun halnya Al Hallaj atau Siti Jenar. "Bahaya" ajaran mereka tidak semata karena "kekeliruan" di dalamnya, melainkan kemungkinan "potensi ancaman" yang dikandungnya. Makanya, ia harus ditumpas.
DENGAN latar belakang "pemahaman" seperti itulah Teater Syahid UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, dikomandoi Arie F Batubara memilih lakon Syekh Siti Jenar-Babad Geger Pengging karya Saini KM untuk dipanggungkan di TIM sejak Jumat kemarin hingga Minggu 27 Mei besok. Boleh jadi, "pemahaman" ini kurang tepat. Tapi, sebagai sebuah pemahaman, boleh-boleh saja, bukan? Sebenarnya, selain yang ditulis Saini, masih naskah lain yang juga menguakkan kisah tentang Syekh Siti Jenar. Yaitu, yang ditulis Vredi Kastam Martha dengan judul "Syeh Siti Jenar". Namun, karena alasan pemahaman dan pendekatan tadi, karya Saini KM dipandang lebih cocok.
Sebetulnya, jika dicermati, kisah Syekh Siti Jenar yang ditulis Saini KM tidaklah dapat disebut cerita sejarah hidup Syekh Siti Jenar. Kisah ini lebih persis disebut refleksi pemikiran Saini sebagai intelektual yang juga sastrawan dalam menangkap hakikat hubungan manusia dengan Khalik di satu sisi dan bagaimana menguasai serta menghadapi pikiran berbeda lainnya.
Jadi, sekali lagi, di sini sama sekali tidak cerita atau pembahasan mengenai ajaran Syekh Siti Jenar, melainkan lebih sebagai pergulatan pemikiran Saini KM baik tentang esensi ajaran itu, maupun tafsirnya bagaimana ajaran yang diposisikan penguasa.
Demikianlah lantas konflik dalam lakon bergulir. Yakni, bagaimana Saini menggiring pergulatan pemikirannya ke dalam suatu bangunan dramatik yang menghadirkan konflik Syekh Siti Jenar dan Kerajaan Demak. Di sini, Saini memposisikan Syekh Siti Jenar menang dalam pertarungan, namun kalah dalam kekuasaan.
Tentu saja, tak penting betul memperdebatkan mengapa Saini memilih begitu. Sepenuhnya itu merupakan kewenangan Saini. Dan Teater Syahid, juga tak hendak mempersoalkan pilihan itu, karena sebagai penggarap, Ari F Batubara tidak punya pilihan lain.
KONTEKSTUALIASASI kekinian di sini sebenarnya tidaklah bisa dipandang sebagai sebuah pilihan, tetapi tuntutan dari setiap pemanggungan naskah lakon. Kenapa? Karena pada setiap pementasan sebuah lakon, senantiasa tidak bisa lepas keterkaitannya dengan realitas ruang dan waktu di mana dan kapan pertunjukan itu. Sebab, sebagai sebuah karya seni, seyogiyanyalah sebuah pertunjukan tidak berjarak dengan publik (penonton).
Maka, pementasan Syekh Siti Jenar Babad Geger Pengging karya Saini KM yang dihadirkan Teater Syahid kali ini, dengan sadar lantas memanfaatkan peluang bahwa lakon ini bukan lakon tentang sejarah atau ajaran yang diberikan sang pengarang. Sehingga, Teater Syahid pun lantas tidak harus terjebak untuk "bernyinyir-nyinyir" dengan sejarah dan ajaran. Sebagai konsekuensinya, yang tampil di atas panggung akan lebih memperlihatkan aspek kekinian dari misteri Syeh Siti Jenar.
Karena itu, dalam hal "perwujudan" fisikal para tokohnya di panggung, pilihannya lebih pada "kekinian" itu. Dengan demikian, ketika misalnya menyaksikan kehadiran para wali di atas panggung nanti, Anda jangan heran melihat penampilan para wali tidak seperti yang terlanjur Anda bayangkan selama ini.
Selamat menyaksikan!
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 26 Mei 2012
No comments:
Post a Comment