-- Ester Lince Napitupulu & Agnes Swetta Pandia
JAKARTA- KOMPAS.com - Ujian nasional Bahasa Indonesia masih menjadi penyebab ketidaklulusan siswa perlu dievaluasi secara serius. Pengujian Bahasa Indonesia yang menekankan pada pemahaman wacana, justru menjebak siswa karena pilihan jawabannya mirip dan bisa diperdebatkan.
Jajang Priatna, Ketua Asosiasi Guru dan Bahasa Sastra Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/5/2012), mengatakan ada ketidaknyambungan antara yang diajarkan sehari-hari di sekolah oleh guru dengan evaluasi ujian nasional. "Pembelajaran sehari-hari lebih menekankan keterampilan berbahasa, sehingga banyak praktik menulis dan berbicara. Padaha UN cenderung menguji daya nalar siswa," ujarnya.
Jajang mengatakan, sepertinya masih ada perbedaan konsep dasar antara guru dengan pembuat soal UN. Sebab, para guru Bahasa Indonesia saja memiliki jawaban yang berbeda dengan argumentasi masing-masing dalam membahas satu soal yang sama. Dalam pemahaman wacana, konsep dasar dari soal yang menanyakan seperti ide pokok, simpulan, fakta, dan opini masih berbeda.
Selain itu, pilihan jawaban ganda yang tersedia antara satu pilihan dengan pilihan lainnya nampak berbeda tipis sehingga mengecoh.
"Dengan pemahaman konsep dasar soal wacana belum sama, ya jawaban bisa berbeda. Para guru juga sering berbeda jawaban, apalagi siswa. Karena itu, supaya tidak terus terjadi perbedaan, pemerintah perlu menyosialisasikan soal konsep dasar yang dimiliki guru dan pembuat soal yang belum sama ini," kata Jajang.
Selain itu, pemerintah semestinya mau memberikan kunci jawaban UN Bahasa Indonesia. Dengan demikian, para guru bisa mengetahui jawaban versi pemerintah dan argumennya.
Jajang mengatakan para guru Bahasa Indonesia pun perlu mengevaluasi pembelajaran selama ini. Para guru perlu memtovivasi siswa untuk tekun membaca wacana yang panjang-panjang.
Secara terpisah, Abdul Chaer, pengajar Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta, mengatakan kegagalan siswa dalam UN Bahasa Indonesia yang terjadi berulangkali bisa jadi akibat apa yang diujikan, tidak sesuai dengan yang diajarkan guru. Apalagi soal pemahaman wacana dengan teks yang panjang tidak mudah segera dipahami.
Ditambah lagi, keadaan sekolah yang tidak sama kondisi dan kualitasnya, namun materi soal UN Bahasa Indonesia yang diujikan sama secara nasional, membuat kegagalan UN Bahasa Indonesia sering terjadi. Selain itu, sikap anak-anak terhadap Bahasa Indonesia yang mulai meremehkan, menyebabkan Bahasa Indonesia dinilai tidak penting.
"Ini persoalan masyarakat kita secara umum, yang mulai mengangagp Bahasa Indonesia tidak penting dan membanggakan dibandingkan bahasa asing semisal bahasa Inggris. Ditambah pemerintah merestui penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah RSBI, " kata mantan pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.
Abdul Chaer mengatakan jika tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia untuk memshami dan dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, semestinya ujian yang dilaksanakan bukan dalam bentuk pilihan ganda. Lebih baik langsung menulis atau mengarang.
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 25 Mei 2012
JAKARTA- KOMPAS.com - Ujian nasional Bahasa Indonesia masih menjadi penyebab ketidaklulusan siswa perlu dievaluasi secara serius. Pengujian Bahasa Indonesia yang menekankan pada pemahaman wacana, justru menjebak siswa karena pilihan jawabannya mirip dan bisa diperdebatkan.
Pembelajaran sehari-hari lebih menekankan keterampilan berbahasa, sehingga banyak praktik menulis dan berbicara. Padaha UN cenderung menguji daya nalar siswa
-- Jajang Priatna
Jajang Priatna, Ketua Asosiasi Guru dan Bahasa Sastra Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/5/2012), mengatakan ada ketidaknyambungan antara yang diajarkan sehari-hari di sekolah oleh guru dengan evaluasi ujian nasional. "Pembelajaran sehari-hari lebih menekankan keterampilan berbahasa, sehingga banyak praktik menulis dan berbicara. Padaha UN cenderung menguji daya nalar siswa," ujarnya.
Jajang mengatakan, sepertinya masih ada perbedaan konsep dasar antara guru dengan pembuat soal UN. Sebab, para guru Bahasa Indonesia saja memiliki jawaban yang berbeda dengan argumentasi masing-masing dalam membahas satu soal yang sama. Dalam pemahaman wacana, konsep dasar dari soal yang menanyakan seperti ide pokok, simpulan, fakta, dan opini masih berbeda.
Selain itu, pilihan jawaban ganda yang tersedia antara satu pilihan dengan pilihan lainnya nampak berbeda tipis sehingga mengecoh.
"Dengan pemahaman konsep dasar soal wacana belum sama, ya jawaban bisa berbeda. Para guru juga sering berbeda jawaban, apalagi siswa. Karena itu, supaya tidak terus terjadi perbedaan, pemerintah perlu menyosialisasikan soal konsep dasar yang dimiliki guru dan pembuat soal yang belum sama ini," kata Jajang.
Selain itu, pemerintah semestinya mau memberikan kunci jawaban UN Bahasa Indonesia. Dengan demikian, para guru bisa mengetahui jawaban versi pemerintah dan argumennya.
Jajang mengatakan para guru Bahasa Indonesia pun perlu mengevaluasi pembelajaran selama ini. Para guru perlu memtovivasi siswa untuk tekun membaca wacana yang panjang-panjang.
Secara terpisah, Abdul Chaer, pengajar Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta, mengatakan kegagalan siswa dalam UN Bahasa Indonesia yang terjadi berulangkali bisa jadi akibat apa yang diujikan, tidak sesuai dengan yang diajarkan guru. Apalagi soal pemahaman wacana dengan teks yang panjang tidak mudah segera dipahami.
Ditambah lagi, keadaan sekolah yang tidak sama kondisi dan kualitasnya, namun materi soal UN Bahasa Indonesia yang diujikan sama secara nasional, membuat kegagalan UN Bahasa Indonesia sering terjadi. Selain itu, sikap anak-anak terhadap Bahasa Indonesia yang mulai meremehkan, menyebabkan Bahasa Indonesia dinilai tidak penting.
"Ini persoalan masyarakat kita secara umum, yang mulai mengangagp Bahasa Indonesia tidak penting dan membanggakan dibandingkan bahasa asing semisal bahasa Inggris. Ditambah pemerintah merestui penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah RSBI, " kata mantan pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.
Abdul Chaer mengatakan jika tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia untuk memshami dan dapat menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, semestinya ujian yang dilaksanakan bukan dalam bentuk pilihan ganda. Lebih baik langsung menulis atau mengarang.
Sumber: Edukasi, Kompas.com, Jumat, 25 Mei 2012
No comments:
Post a Comment