Lokalitas dalam karya sastra acap dimaknai secara artifisial, sekadar mengutip idiom-idiom lokal ke dalam ekspresi bahasa sastra, sama-sekali tidak memberi substansial atas kelokalan tersebut.
Fakta inilah yang terungkap dalam diskusi yang membicarakan puisi-puisi karya Udo Z. Karzi di Lantai 1 Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Sabtu malam (24-6). Dalam acara Jumpa Bilik Sastra yang digelar UKMBS Unila itu, penyair yang biasa menulis puisi dalam bahasa Lampung ini, mengawali acara dengan membacakan karya-karyanya.
Ada enam buah puisi dari ratusan puisi karya Udo Zul yang dibacakan, semua ditulis dalam bahasa Lampung, meskipun ada juga terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Terhadap terjemahan puisi ke dalam bahasa Indonesia, Ahmad Yunus Kedaton yang tampil sebagai pembahas, menilai Udo Zul kurang percaya diri.
"Mestinya Udo Zul membiarkan puisinya tetap dalam bahasa Lampung. Tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia," kata Ahmad Yunus dalam diskusi yang dipandu penyair Jimmy Maruli Alfian.
Terlepas soal itu, Ahmad Yunus melihat ada pemberontakan dalam puisi-puisi Udo Zul, mirip seperti yang dilakukan sastrawan dari Kepulauan Karibia. Menulis puisi dalam bahasa Lampung adalah sebuah counter terhadap kultur yang imperial. "Saya berharap Udo Zul menulis puisi seperti ini sebagai suatu bentuk perlawanan kultural," katanya.
Harapan serupa juga diungkapkan para undangan di antaranya Panji Utama, Ari Pahala Hutabarat, Aris Hadiyanto, Anton Kurniawan, Y. Wibowo, Galih Pribadi S.S., Edy Samudra Kertagama, dan lain-lain. Mereka berharap ada konsep yang diperjuangkan Udo Zul dengan pilihan ekspresi bahasa puisinya. "Saya pikir pilihan Udo Zul ini tepat. Ketika bahasa Lampung mulai tersisih dari bahasa pergaulan, ia malah memilih bahasa yang tersisih itu dalam ekspresi karya sastranya," kata Panji Utama.
Ari Pahala Hutabarat menilai, lokalitas dalam puisi Udo Zul ini hanya pada bahasa Lampung, tak ada substansi kultural Lampung di dalamnya. "Idealnya, lokalitas itu menjadi substansi puisi-puisi berbahasa Lampung itu."
Di kalangan sastrawan Lampung, Udo Z. Karzi dikenal sebagai "pelopor" penulisan puisi moderen dalam bahasa Lampung. Sebuah buku puisinya dalam dwibahasa Lampung-Indonesia, diterbitkan pemerintah daerah dalam rangka mensosialisasikan puisi-puisi tersebut. Namun, Udo Zul mengakui tidak berpretensi untuk menulis tradisi atau budaya Lampung dalam sajak-sajaknya.
"Selama ini saya menulis puisi berbahasa Lampung karena ada nilai yang ingin saya sampaikan. Nilai pertama adalah bahasa Lampung itu sendiri, nilai lain adalah makna puisi saya itu. Soal apakah itu mengandung unsur lokal, tradisi Lampung, nilai budaya Lampung atau apa pun, saya tak ambil pusing, " kata dia.
Menurut Udo Zul, begitu puisi selesai ia tulis, ia tidak membayangkan apakah orang akan mengerti saat membacanya atau tidak. Sebab, seorang penyair sejatinya hanya berpikir tentang berkarya. Mengenai makna puisi, sejatinya menjadi urusan pembaca.
"Setiap teks sastra mengandung banyak tafsir, dan setiap pembaca memilik tafsir yang berbeda-beda. Silakan saja menafsirkan puisi saya seperti keinginan masing-masing pembaca," katanya.* Budi P. Hatees dan Dwi Wahyu Handayani, keduanya wartawan Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juni 2006
Komentar
Kepenyairan Udo Z. Karzi di mata saya seperti sebuah ranjang tempat pergumulan budaya tradisi dan modern berlangsung. Karya-karyanya mengangkat fenomena sosial modern dengan tetap mengusung tatanan filosofis tradisi (Lampung).
Mengapresiasi sajak-sajak Udo Z. Karzi menggunakan bahasa Lampung, ternyata bukan hanya sastra yang hadir dalam medium bahasa Lampung saja. Udo hanya menulis. Memberi makna pada teksnya dan meminjam idiom rasa bahasa Lampung untuk sajaknya.
(Yudi Nopriansyah, jurnalis)
No comments:
Post a Comment