-- Udo Z. Karzi
LOGIS saja. Di Negarabatin ini memang berhimpun berbagai etnis, antara lain Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bugis, dan Lampung. Jawa aja macam-macam. Sunda macam-macam. Minang macam-macam. Artinya, satu etnis bisa memiliki adat yang berbeda. Begitu juga Lampung, adat-istiadatnya juga berbeda-beda.
Kita memang sangat heterogen. Tetapi, seharusnya perbedaan itu membuat kita satu sama lain saling menghormati. Seharusnya, tidak ada pihak yang mengatakan orang lain tidak tahu adat.
Sebab, bukan tidak tahu adat sebenarnya. Tetapi adatnya memang begitu. Justru karena ia berpegang teguh pada adatnya sendiri, dia menjadi begitu. Kalau begitu, ya hormati saja. Jangan pula dibilang, dia tak tahu adat.
Yang paling sering dibilang tak tahu adat oleh orang-orang tua itu ya Mamak Kenut. Biasanya, Mamak Kenut cuma bilang, "Habis kalau saya pakai adat sendirian kan aneh!"
Di kota apa iya orang bicara adat? Di sini kalau kita ngotot dengan segala tetek-bengek adat malah ditertawakan. Di sini jualan adat nggak laku.
Adat itu memang aneh. Di kota kalau orang memegang teguh adat-istiadat ya wagu. Bisa jadi tontonan orang rame. O, begitu ya adat Lampung itu. O, ternyata Lampung itu begitu. Ooo...begitu. Kota sudah membuat adatnya sendiri, itu soalnya. Kemajuan. Modern. Modernitas. Atau, apalah namanya.
Okelah, adat (tradisi) itu memang feodal, paternalistik, dan segala jenis kekolotan yang mengingkari modernisasi dan demokratisasi. Tetapi, di alam yang disebut modern dan demokratis kini, apa yang dilakukan pemerintah jauh lebih jelek. Mamak Kenut bersabda, "Janganlah marah dibilang tak tahu adat. Sedihlah kalau dibilang biadab alias tidak punya peradaban."
Lah, Mamak Kenut...bersabda? Wajar saja kalau Pithagiras ngeyel. "Mana bisa. Saya jelas nggak terima dibilang nggak tahu adat."
"La, kau orang Lampung. Tahunya kan adat Lampung. Itu pun bergantung kau Lampung mana. Orang dari etnis lain tentu saja boleh mengatakan kau tidak tahu adat (sesuai dengan mereka punya adat). Sebaliknya, kau boleh bilang orang lain tak tahu adat (seperti adat yang engkau yakini)."
Ah, sudahlah. Mat Puhit hanya ingin memaki-maki (benar-benar tak tahu adat!) pemerintah Negarabatin. "Ini pemerintahan biadab. Pemerintahan yang sekarang ini tak punya per-adab-an."
"Lo?"
"Kalau dia beradab atau memiliki peradaban. Dia tentu tak abai kesenian. Kesenian itu bukan cuma tari sembah, begawi, pemberian gelar kepada pejabat tertentu atau apa-apa yang sifatnya simbol-simbol saja. Itu kan sebagian kecil saja dari wujud kesenian. Sedang kesenian saja setitik dari apa yang disebut dengan kebudayaan."
Sementara itu, kebudayaan (yang di dalamnya ada kesenian)-lah yang membentuk peradaban. Jadi, kalau pemerintah tidak mau dibilang "biadab", muliakanlah seni-budaya. Tentu saja seni-budaya dalam arti yang sebenarnya. Bukan seni versi si anu, versi B, dll. Ini bukan menggurui: Belajarlah lagi tentang kebudayaan!Sumber: Lampung Post, Senin, 26 Juni 2006
No comments:
Post a Comment