AMIR Hamzah mempunyai nama lengkap Tengku Amir Hamzah. Lahir di Tanjung Pura, Langkat-Sumatera Utara pada 28 Februari 1911. Ia tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat Islam. Pamannya, Machmud-adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibukota Tanjung Pura, memerintah antara tahun 1927-1941. Sementara ayahnya, Tengku Muhammad Adil (saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi Wakil Sultan untuk Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai.
Pada awalnya Amir Hamzah menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Kemudian pada 1924 dia masuk sekolah MULO (SMP) Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan SMP nya pada 1927. Selanjutnya Amir melanjutkan sekolah di AMS (SMU) Solo-Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Kemudian kembali lagi ke Jakarta, masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.
Amir Hamzah tentu tak dapat dipisahkan dari kesusastraan Melayu. Tak heran kalau dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya. Puncak kematangannya terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi. Kecuali itu, Amir Hamzah meninggalkan buku Setanggi Timur dan menerjemahkan pula kitab Bagawat Gita.
Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsyabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat, berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu, di Binjai. Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang.
Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui RI. Lalu Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepada rakyat. Tak ayal, sejumlah bangsawan pun ditangkap. Termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946, mereka dihukum pancung.
Di kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban tak bersalah dari sebuah revolusi sosial. Karena itu, pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ya, saat terjadi revolusi sosial kerap menjadi kesempatan untuk pihak-pihak tertentu untuk melampiaskan niat buruk pada orang yang kurang disukainya. Korban pun kerap tak pandang orang dan bisa dari strata manapun. Nama Amir Hamzah akhirnya mampu dibersihkan, meski butuh waktu dan pengorbanan nyawa.
Tengku Amir Hamzah meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun dan ia adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa,ia bergaul dengan tokoh pergerakan asal Jawa, misalnya, Mr Raden Pandji Singgih dan KRT Wedyodi.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh HB Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang. Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatera bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Adapun, revolusi ini terjadi pada tahun 1946. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, pada 3 November 1975.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Mei 2012
Pada awalnya Amir Hamzah menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Kemudian pada 1924 dia masuk sekolah MULO (SMP) Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan SMP nya pada 1927. Selanjutnya Amir melanjutkan sekolah di AMS (SMU) Solo-Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Kemudian kembali lagi ke Jakarta, masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.
Amir Hamzah tentu tak dapat dipisahkan dari kesusastraan Melayu. Tak heran kalau dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya. Puncak kematangannya terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi. Kecuali itu, Amir Hamzah meninggalkan buku Setanggi Timur dan menerjemahkan pula kitab Bagawat Gita.
Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsyabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat, berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu, di Binjai. Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang.
Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui RI. Lalu Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepada rakyat. Tak ayal, sejumlah bangsawan pun ditangkap. Termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946, mereka dihukum pancung.
Di kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban tak bersalah dari sebuah revolusi sosial. Karena itu, pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ya, saat terjadi revolusi sosial kerap menjadi kesempatan untuk pihak-pihak tertentu untuk melampiaskan niat buruk pada orang yang kurang disukainya. Korban pun kerap tak pandang orang dan bisa dari strata manapun. Nama Amir Hamzah akhirnya mampu dibersihkan, meski butuh waktu dan pengorbanan nyawa.
Tengku Amir Hamzah meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun dan ia adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa,ia bergaul dengan tokoh pergerakan asal Jawa, misalnya, Mr Raden Pandji Singgih dan KRT Wedyodi.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh HB Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang. Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatera bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Adapun, revolusi ini terjadi pada tahun 1946. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, pada 3 November 1975.(fed)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Mei 2012
No comments:
Post a Comment