Monday, September 29, 2008

Sosok: Penyair dan Guru Besar "Nyeleneh"

-- Mawar Kusuma

SUMINTO A Sayuti menyebut pukul 14.00 di bulan puasa adalah jam mengantuk untuk belajar. Materi kuliah yang dibawakan, Selasa (23/9), pun bukan mata ajaran menarik, Teori Sastra. Bergaya santai disertai guyonan segar, tak satu mahasiswanya pun yang mengantuk. Mata kuliah yang dia bawakan dinanti, bahkan memotivasi mahasiswa untuk mengapresiasi seni tak hanya mandek di tataran teori.

Suminto menerangkan teori genre sebagai kode komunikasi. Tak hanya membatasi diri pada pembelajaran teori, ia membawa anak didiknya berpetualang di dunia sastra. Aneka kutipan puisi dari Amir Hamzah, WS Rendra, hingga Linus Suryadi mengalir darinya.

Tak sedikit di antara mahasiswa yang diajar Suminto lalu bereksperimen membuat karya seni lewat sastra, puisi, teater, dan musik. ”Teori sastra tidak untuk dimuliakan, tetapi diterapkan. Jangan mendewakan teori,” ungkap guru besar Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini saat membuka kuliah.

Diajar seorang penyair agaknya merupakan keasyikan sendiri. Tak heran, para mahasiswa tak rela jika Suminto diajukan sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan Rektor UNY.

”Ketika Suminto menjadi dekan, kami jarang dapat kuliah langsung karena kesibukannya. Dia dekat dengan mahasiswa, tak segan memberi masukan dan kritik keras kepada mahasiswa,” kata Reni Trisnawati, mahasiswa semester tujuh Jurusan Sastra Indonesia.

Sebagai seniman dan akademisi, Suminto mengawinkan kebebasan berekspresi dan teori keilmuan dalam irama pendidikan yang membebaskan. Kecintaannya pada seni, antara lain, dijembatani dengan menempati ruang kerja bersebelahan dengan laboratorium karawitan. Setiap hari ia bekerja diiringi gamelan Jawa.

Ia termasuk segelintir dari penyair yang masih menekuni dunia akademisi. Padahal, pada era 1960-1970-an, penyair sempat marak bermunculan dari kalangan akademisi. Nama sastrawan besar seperti Umar Kayam yang juga sosiolog, Kuntowijoyo yang berprofesi sebagai sejarawan, hingga Bakdi Soemanto pernah menghidupkan jagat kepenyairan Yogyakarta.

Kehadiran penyair dari kampus sanggup bersinergi dengan penyair otodidak seperti Emha Ainun Nadjib dan Imam Budi Santosa. Kemesraan hubungan penyair dari lingkungan akademisi dan otodidak ini, sayangnya, tak berjalan kekal.

Kata Suminto, penyair akademisi cenderung memasuki ranah spesialisasi dengan fokus pada wilayah sastra atau malah berhenti berkarya untuk menjadi ilmuwan. ”Penyair yang bertahan di wilayah penciptaan dan pengamatan semakin jarang,” keluhnya.

Bagi Suminto, tiap zaman mempunyai semangat dan tuntutan berbeda. Penyair akademisi maupun seniman hanya dipisahkan ruang karya, tetapi mereka tetap berada pada wilayah seni yang sama. Profesi akademisi yang terikat logika berpikir sistematik bukan halangan untuk berkarya di ranah puisi yang menonjolkan segi pembebasan diri.

Kodrat sastra Indonesia, lanjut Suminto, adalah sastra koran dan majalah yang menjadi media utama sosialisasi. Komunitas puisi sempat marak di Yogya dengan tradisi pengadilan puisi dari rumah ke rumah untuk saling menguliti dan mengkritik hingga 1980-an.

”Semangat oralitas puisi menjadi tidak sesemarak dulu. Penyair lebih memilih soliter dengan tersedianya aneka media teknologi untuk ekspresi seni,” tuturnya.

Kebebasan

Tiap kali menulis puisi, Suminto mencoba melepaskan teori yang dipelajarinya. ”Teori hanya digunakan saat menjadi guru di kelas. Saya mencoba melupakan teori. Sebagai penyair akademisi, saya tak menonjolkan, tetapi menguasai teori,” tambahnya.

Sempat dua kali menjadi Dekan Fakultas Seni dan Budaya UNY, ia tak bisa melepaskan kekagumannya pada untaian puisi. Menulis puisi menjadi keseharian di sela mengajar dan menguji makalah disertasi di beberapa universitas di Semarang, Yogya, Solo, hingga Malang. Dari puisi pula ia memperoleh kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kegairahan inilah yang dia tularkan kepada para mahasiswa.

Kebebasan menjadi diri sendiri tak hanya ditunjukkan lewat antologi puisi. Di ruang laboratorium karawitan UNY, Suminto duduk berselonjor kaki. Ia memakai celana gunung coklat dan kemeja kotak-kotak.

Ia berkisah tentang sebait impian tentang pendidikan yang memerdekakan. ”Profesi utama saya sebagai guru sastra, menulis puisi menjadi sisi lain kehidupan saya. Puisi memiliki energi membebaskan. Pendidikan juga harus memerdekakan karena ini proses pemberdayaan manusia,” katanya.

Suminto mengakui, semakin jarang penyair merangkap pengajar, apalagi guru besar di perguruan tinggi. Meski tak berniat menjadikan kepenyairannya sebagai profesi, ia ingin menjalani hidup sebagai guru sastra yang juga menulis sastra.

Menulis puisi, kata kakek dua cucu ini, sekaligus pembelajaran untuk menjadi orang Jawa. Budaya Jawa menjadi ciri utama dari karya puisinya. Ide dari semua puisi ditimba dari sumur inspirasi kebudayaan Jawa yang membesarkan sekaligus menjadi batu loncatan penciptaan puisinya.

Ia mencoba terus melestarikan puisi Jawa dalam bentuk geguritan. ”Saya mencurigai pengalaman saya sendiri. Kenapa saya selalu lari ke budaya Jawa? Jangan-jangan ini proses pembelajaran bagi saya untuk menjadi orang Jawa,” ungkapnya.

Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, Suminto berupaya tak berpura-pura menjadi orang lain. Ia menorehkan puisi dengan bertolak dari pengalaman keseharian hidup. Ia menulis puisi sejak tahun 1974. Tak semua karyanya telah dipublikasi ke khalayak luas.

Baginya, puisi setelah lahir itu adalah yatim piatu. Siapa pun bebas mengeksplorasi karena puisi telah sepenuhnya menjadi milik publik.

Setiap dua bulan sekali puisi karyanya biasa dibacakan di Taman Budaya Yogyakarta, terutama oleh Komunitas Sarkem (UNY), Jaringan Anak Bahasa (Universitas Ahmad Dahlan), Sanggar Jepit (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), dan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Selain menulis puisi, Suminto aktif menabuh gamelan Jawa. Ia juga menyiapkan kumpulan puisi berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa yang akan diterbitkan menjadi buku.

Suminto sempat menulis cerpen dan buku teks pembelajaran sastra. Namun, kepuasan utama tetap dia dapat dari puisi. Ini karena sejak masih di bangku SD ia menyukai puisi dan bergaul akrab dengan tembang Jawa.

Sebagai penabuh gamelan dalam rombongan pedalangan, kecintaan Suminto pada rangkaian kata terus terpupuk. Majalah yang memberi ruang bagi kebebasan berkesenian, seperti Panyebar Semangat, Joyo Boyo, dan Parikesit, makin menumbuhkan kekagumannya pada puisi.

Banyak orang bisa menulis puisi, tetapi hanya segelintir yang sanggup menjadi penyair. Karya penyair haruslah bisa dinikmati orang lain dan memberi sesuatu bagi pembacanya. Melalui puisi pula, ia mendapat energi baru dalam menjalani hidup yang membebaskan.


Data diri

Nama: Prof Dr Suminto A Sayuti
Lahir: Purbalingga, 26 Oktober 1956
Pekerjaan: Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Istri: Suharti (52)

Anak:
- Bayu PH (30)
- Sekar PK (29)
- Sadewa PS (21)

Pendidikan:
- SD Sinduraja
- SMP N 2 Purbalingga
- SMA N 1 Purbalingga
- Sarjana Muda Pendidikan FKSS IKIP Yogyakarta
- Sarjana Pendidikan FPBS IKIP Yogyakarta
- S2 Pascasarjana IKIP Jakarta
- S3 Pascasarjana IKIP Jakarta

Karya antara lain:
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian Sastra
- Ensiklopedia Sastra Indonesia

Sumber: Kompas, Senin, 29 September 2008

Sunday, September 28, 2008

Gerakan “Komunitas Sastra” Harus Diimbangi Konsep dan Wacana

-- Sihar Ramses Simatupang

Depok - ”Mana mungkin mengenang Chairil Anwar di tempat yang ber-AC, jauh dari kenyataan seorang Chairil sendiri. Chairil berada di gelanggang, itu juga yang menjadi latar dari Surat Kepercayaan Gelanggang,” ujar seorang penyair Irman Syah, si pembaca puisi dan peniup saluang yang kerap mangkal di Komunitas Planet Senen (KoPS), di pertengahan tahun 2008 ini.

Kita jangan fokus pada data bernas yang diucapkan ”si” Irmansyah. Tapi pendapat Irmansyah adalah gemuruh lain dari dinamika suara komunitas yang beringsut tegar di tengah dinamika komunitas sastra lain yang ”menasional” dan ”menginternasional”. Komunitas ini bergerak tanpa dukungan kekuatan raksasa citraan, media bahkan dana yang memadai.

Tak harus berlatar tempat di ”marginal perkotaan namun bersejarah” seperti Komunitas Planet Senen, beberapa komunitas sastra yang ada mulai dari Komunitas Sastra Gapus di Surabaya, Komunitas Sastra di Bali, hingga komunitas sastra di Lampung, mempunyai fenomena yang sama dengan Komunitas Planet Senen.

Komunitas Planet Senen, dengan penggiatnya Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono dan Giyanto Subagio, mungkin masih berkait dengan mainstream sejarah sastra termasuk nama sastrawan yang pernah bertandang ke tempat itu mulai dari Gerson Poyk hingga Chairil Anwar. Namun, problem utama di antara karya-karya komunitas berdasarkan wilayah ini adalah soal kualitas yang semestinya juga dikupas satu per satu. Selain suasana kritik, keberadaan pengamat, juga fasilitas bacaan yang diharapkan memperkuat karya baik dari sisi intrinsik maupun ekstrinsik. Teks dan tema dari masing-masing teks pengkaryanya harus diuji.

Proses

Dalam soal wacana, pemikiran ataupun estetika karya, kita mencatat fenomena Persada Studi Klub di Yogyakarta yang diasuh Umbu Landu Paranggi dengan anggotanya sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi dan RS Rudhatan. Tentang komunitas ini, seorang anggotanya Korie Layun Rampan, pernah mengatakan bahwa salah satu energi solidnya komunitas ini adalah untuk merespons fenomena media massa yang "jakartasentris".

Keberadaannya kemudian menghasilkan efek yang lebih dari itu. ”Persada Studi Klub diimbangi dengan konsep dan wacana, sehingga setiap sastrawan di dalam kelompok ini juga melakukan olah pikir,” ujar Korie, dalam percakapan dengan SH di tengah Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) 1 di Kudus, 19-21 Januari 2008 lalu.

Juga fenomena kegairahan Sanggar Minum Kopi pada tahun 1990-an dengan penggeraknya Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, K Landras Syalendra, GM Sukawidana, Warih Wisatsana didukung Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Atau komunitas Meja Budaya yang dimotori oleh Martin Aleida, Sides Sudyarto DS, dengan aktivisnya, sebut saja Donny Anggoro dan A Badri AQT.

Di luar kualitas teks, fenomena jaringan, media televisi, koran, cetak-buku hingga festival kerap tak mampu menjangkau karya-karya mereka baik berupa buku ataupun cerpen mereka yang dimuat di media massa daerah. Tak ada kurator yang setia di dalam sastra! Kini, komunitas itu harus tertantang mengetahui fenomena sastra dunia, pandangan akademisi sastra dunia baik lewat internet, situs atase kebudayaan asing, situs akademi yang berisikan jurusan sastra Indonesia hingga situs atau email pribadi milik seorang pengamat dan cendekiawan yang sedang mengoleksi karya-karya sastra Indonesia baik yang klasik hingga yang kontemporer.

Kita bisa membaca perkembangan komunitas di Jawa Timur, dalam hal ini Surabaya, yang oleh S Yoga yang dilansir di Harian Umum Kompas. S Yoga, mencatat fenomena dan dinamika para sastrawan di Komunitas Sastra Gapus (mulanya akronim dari ”Gardu Puisi” sebagai komunitas di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga) yang para penyairnya (lintas generasi) antara lain Panji K Hadi, Pamudji SL, W Haryanto, Indra Tjahyadi, Mashuri, Deny Tri Aryanti, Dheny Jatmiko, Ahmad Faishal, dan Puput Amiranti N.

Suatu hal yang kemudian mengemuka dalam kekhasan, seperti Imam Mutahrom yang dalam cerpen-cerpen sarat dengan metafor dan ungkapan simbolis yang khas, mengolah kata ”kita” sebagai orang pertama dalam pengisahan, Mashuri lewat karyanya Hubbu terpilih sebagai pemenang 1 Sayembara Novel DKJ 2006, terpilih antara lain menurut sastrawan Ahmad Tohari karena ceritanya yang utuh dan padu sekali pun alur melompat-lompat. Tiap sastrawan di dalam komunitas ini pun pada akhirnya mengambil jalan sendiri, di tengah pergesekan konsep yang awalnya bisa jadi sejalan.

Kendati, di dalam puisi, S Yoga membeberkan fenomena puisi gelap di komunitas ini (yang pada awal dan di kemudian hari semakin memiliki banyak varian, red), S Yoga lalu menyebutkan bahwa tiap penyair memilih jalan sendiri karena demokratisasi dan menghargai perbedaan, lebih ditegakkan daripada mazhab ataupun ideologi.

Beberapa komunitas yang selama ini ngendon di balik keyboard komputer dan kursi warnet pun malah keluar dari dunia cyber-global dan terbatas ruang dan waktu itu. Setelah asyik berkomunikasi antarbenua, mereka malah turun gunung di dalam Acara Sastra & Musik REBOAN di sebuah tempat yang khas dan punya sejarah: Warung Apresiasi Bulungan. Warung yang di dekatnya konon pernah berdiri Kelompok Poci Bulungan-nya Arswendo Atmowiloto bersama Radhar Panca Dahana dan Yoyik Lembayung.

Semoga saja, penggagasnya, Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) dengan nama sastrawan antara lain Johanes Sugianto, Budhi Setyawan, Yonathan Rahardjo, Zai Lawang Langit, Setiyo Bardono, Sahlul Fuad, Ilenk Dian Asrinda yang telah menggelar kegiatan rutin keenamkalinya pada 17 September 2008 lalu, dapat semakin tepat dalam langkah dan konsepnya.

Tak sekadar membumi setelah asyik bermain di antara kerlip monitor komputer, tak cuma mengulang sejarah komunitas para pendekar sastra lama yang notabene pernah bergelut di tempat itu. Sastra Indonesia lahir di mana-mana, tentu sejalan dengan konsep dan estetika teks. n

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 27 September 2008

Solzhenitsyn: Gairah Agung Dari Gulag

-- Binhad Nurrohmat

SOLZHENITSYN (1911-2008) telah menuliskan yang mesti dikenang manusia, dan kematian sastrawan itu kian menghidupkan pesan: misi kemanusiaan dalam kesusastraan selamanya melekati ingatan dunia, dan tak sebatas ihwal tragedi Gulag, sebuah genre penjara amat keji ‘’karya besar’’ rezim totaliter Sovyet di masa kekuasaan Stalin yang oleh Solzhenitsyn dalam sebuah suratnya disebut sebagai ‘’pria brengosan’’ itu. Kesusastraan Solzhenitsyn menorehkan percikan-percikan keluhuran dan kedalaman pengertian dari sejarah panjang kezaliman kekuasaan di negerinya, tanah Rusia.

Kemasyhuran kesusastraannya amat mencekam dan bergaung hingga melintasi negerinya bukan lantaran Solzhenitsyn menuliskannya di atas tumpukan jerami busuk yang jadi pembaringannya bertahun-tahun di Gulag ataupun di tempat lain. Ia menulis dari kedalaman batinnya dengan penuh gairah ihwal keluhuran yang menembus sekat kemanusiaan di mana pun, yaitu tentang (seperti tergurat di novelnya) ‘’garis pemisah antara kebaikan dan kebatilan yang melintas di tengah semua hati manusia’’.

Solzhenitsyn meninggal di rumahnya, di Troitese-Lykovo, di pinggiran Moskwa, Rusia, jauh setelah kematian Stalin, ‘’pria brengosan’’ itu. Salah seorang putra sang sastrawan peraih Nobel Sastra 1970 itu, Stephan Solzhenitsyn, berkata saat mengabarkan meninggalnya sang ayah: ‘’Dia masih bekerja seperti hari-hari sebelumnya. Tapi, saat malam, kematian datang amat cepat.’’

Menjelang ujung hidupnya, Solzhenitsyn masih sibuk menyiapkan karya lengkapnya yang berjumlah 30 jilid, termasuk The Gulag Archipelago yang telah membuyarkan dukungan kaum cendekia Sayap Kiri di Eropa terhadap Stalin dan juga novel tentang seorang tukang kayu yang disekap di Gulag One Day in the Life of Ivan Danisovich yang diberi izin terbit oleh penguasa Sovyet Khruscev guna menelanjangi kekejaman rezim Stalin yang berkuasa di Sovyet sebelumnya.

Karya-karya Solzhenitsyn membuktikan daya kesusastraan membebaskan diri dari cengkeraman tangan besi kekuasaan yang bengis. Melalui karya-karyanya, dia membuat jutaan orang tahu, bahwa di lingkungan yang begitu membelenggu kesusastraan bisa hadir dan jadi simbol dan ekspresi martabat kemanusiaan yang tak menyerah. Di tangan Solzhenitsyn, kesusastraan menggerakkan kemanusiaan dan batin dunia dengan dilambari keteguhannya terhadap risiko yang bisa memberangus karya dan menyita hidupnya dengan mudah.

Karya Solzhenitsyn merupakan kesaksian yang berani (dan) membangunkan kesadaran manusia di mana pun bahwa betapa sempurnanya kejahatan sehingga manusia tak berdaya dan terpaksa membiarkannya meski terselenggara di depan hidung mereka. Spirit kesusastraan seperti inilah yang melantari kesusastraan Solzhenitsyn menggetarkan hati manusia, tak sebatas bagi mereka yang hidup di negeri beruang merah itu. Kesusastraan Solzhenitsyn dibesarkan oleh naluri kemanusiaan kolektif, bukan sekadar diagung-agungkan oleh olah wacana kritik kesusastraan belaka.

Hasil kesusastraan Solzhenitsyn itu merupakan buah pengalaman empiriknya selama menjalani masa perbudakan di Gulag. Kesusastraannya itu tercerahi kontemplasi yang dikerahkannya sampai merengkuh inti kemanusiaan serta menguraikan jejaring kompleksitas yang bersemayam di dalamnya. Solzhenitisyn jadi ‘’mata sejarah’’ bagi kemanusiaan yang hendak diperbudak dan dilenyapkan demi mewujudkan cita-cita kekuasaan belaka. Melalui karya-karyanya, sesungguhnya, Solzhenitsyn tak bermisi sekadar mengkritik atau membenci Stalin.

Kemunculan karyanya lantaran ia tak bisa menahan keprihatinannya terhadap kemanusiaan yang lenyap dari diri manusia. Stalin tak jadi ancaman besar tanpa para antek yang memuja, menjilat, dan mendukung rezimnya. ‘’Kawanan Stalin’’ inilah yang bernafsu merobohkan pagar pembatas kebaikan dan kebatilan itu untuk merayakan hasrat kezaliman dengan menumbalkan kemanusiaan. Kemanusiaan yang terancam oleh hasrat anti-kemanusiaanlah yang jadi inti dan menggerakkan kelahiran kesusastraan Solzhenitsyn sehingga bisa diwarisi dan dikenang bukan saja oleh bangsa Rusia.

Tapi, kenapa Gulag diciptakan di Siberia, bukan di tempat lain, dan kenapa pula Solzenitsyn yang menuliskannya jadi karya kesusastraan, dan bukan oleh sastrawan lain? Apakah tanpa rezim Stalin Gulag tak pernah muncul di muka bumi mana pun dan membunuh ratusan ribu manusia sebagai budak dan pekerja paksa?

Sejarah Gulag bukan semata sebuah nama penjara mengerikan bagi kaum pembangkang atau yang dianggap membangkang rezim Stalin. Gulag merupakan kisah panjang anti-kemanusiaan yang diselenggarakan oleh kekuasaan yang menjadikan manusia sebagai alat, tujuan, dan sekaligus korban. Gulag tak lagi jadi sebuah nama penjara belaka di Siberia yang beku dan berbahaya atau sebuah ‘’gerinda daging’’ raksasa semenjak Solzhenitsyn menuliskannya. Gulag telah menjadi sebuah ruang kemanusiaan yang melahirkan dan menyimpan khazanah pengalaman lahiriah dan batiniah bagi (ke)manusia(an) yang tak terlupakan di hati jutaan orang yang mengalami atau mengetahuinya.

Gulag jadi satu kosa-kata baru bagi dunia dan juga metafor besar bagi kekejian setelah Solzhenitsyn menorehkannya jadi karya sastra. Mungkin, ada ‘’gulag-gulag’’ lain di tempat dan masa lain yang belum tertuliskan atau akan terjadi kelak. Sebab, ketika anti-kemanusian jadi kanker yang menjalari tubuh kemanusiaan, hasrat ‘’gulag’’ senantiasa hadir dalam bentuk yang lain untuk menggeroti kemanusiaan dengan cara amat mengerikan, seperti satir Solzhenitsyn yang menjadikan jenis penyakit mematikan itu sebagai metafor bagi fatalnya rezim Sovyet dalam novelnya Cancer Ward itu. Waspadalah!

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 28 September 2008

Mata Penguasa dan Tulisan Cahaya

-- Wahyudin*

DATANG pertama kali ke Nusantara lewat Batavia pada 1841, fotografi menanggalkan status terhormatnya sebagai bentuk teknologi dan seni baru yang berkehendak melakukan demokratisasi seni di Eropa dan berkedudukan sebagai ”mata penguasa” yang tidak hanya berambisi merekam secara ilmiah kondisi alam dan geografi di Hindia Belanda, tapi juga bernafsu menjinakkan penduduk pribumi di koloni itu karena—untuk memakai pernyataan resmi pemerintah kolonial via Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006: 145)—”dua mata sering tidak cukup untuk mengawasi mereka”.

Bocah sedang buang hajat di kakus. (DOK TILLEMA / Kompas Images)

Dalam kedudukan itu, dengan ambisi dan nafsu yang menyertainya, para juru foto menjelma sebagai ”pengintip elite” yang memiliki privilese untuk mengamati dan mengumbar kehidupan pribadi penduduk pribumi, seperti yang dilakukan oleh bapak pendiri fotografi modern di Hindia Belanda, HF Tillema, dalam proyek fotografi bertajuk Kromoblanda (1915-1923) yang mendapat sokongan transportasi militer untuk mengamankan jalannya proyek besar tentang tinja di Hindia Belanda itu.

”Hampir satu jilid Kromoblanda dihabiskan oleh foto-foto kamar mandi modern, mengilat, dan diberi ubin—keselarasan garis-garis lurus, tempat kebersihan, dan gudang cahaya yang cemerlang dan terukur,” tulis Mrazek (2006: 149)

Lebih dari itu, ”dalam kontras yang dramatis, di halaman yang sama biasanya ada foto-foto jamban orang-orang pribumi yang paling jorok, dan juga foto-foto orang pribumi itu sendiri. Berlawanan dengan jamban mereka yang buram, orang-orang pribumi itu diberi cahaya dengan baik. Beberapa pribumi, sebenarnya, difoto ketika sedang melakukan sesuatu yang amat pribadi,” ujar profesor sejarah di Universitas Michigan itu (2006: 150; huruf miring dari saya).

Saya ingin menambahkan pernyataan tersebut dengan mengomentari kelakuan Tillema itu sebagai—pinjam istilah sastrawan Italo Calvino dalam Petualangan Seorang Fotografer (2004: 76)—”pemerkosaan fotografik” terhadap dunia privat masyarakat pribumi. Bisa dibayangkan betapa menderita dan tersiksanya si bocah, justru pada saat ia tengah berupaya melepaskan cirit yang bersarang di perutnya. Betapa kurang ajarnya fotografer itu! Tampaknya, ia tak hanya mengintip, tapi lebih dari itu memaksa si bocah mempertontonkan apa yang najis kepada kita dalam kemilau cahaya.

Yang memilukan lagi, si bocah tampak begitu pasrah menerima perlakuan kurang ajar si ”pengintip” bule itu. Itu sebabnya, dalam situasi yang membekukan itu, ia tunduk-patuh kepada instruksi Tillema yang tak memperbolehkannya mengeluh, kecuali diam. Tampaknya, Tillema menghendaki sebuah aksi fotografis yang terencana dan hati-hati.

Dengan begitu, mengambilubah pendapat Jean Baudrillard dalam Galaksi Simulacra (2001: 128), kamera Tillema tak bermaksud memahami si bocah atau memotretnya dengan tergesa-gesa. Tak ada keinginan menangkap apa yang ”alamiah” pada si bocah atau ”penampilannya seperti saat difoto”. Bahkan, boleh jadi, si bocah didandani terlebih dahulu sebelum dipotret sehingga membikin kita ragu apakah si bocah benar-benar sedang buang hajat saat dipotret ataukah ia hanya pura-pura buang hajat untuk memenuhi proyek fotografi Tillema?

Tampaknya, foto itu merupakan foto manipulasi tentang seorang pribumi yang direkayasa tengah membuang cirit untuk menunjukkan citra jorok dan kotor penduduk pribumi di Hindia Belanda. Apa boleh buat, para penguasa kolonial di mana pun, tak terkecuali di Nusantara, memang kerap memperlakukan orang-orang pribumi sebagai sekadar obyek permainan imajiner di tanah jajahan. Maka, saya kira, perbuatan Tillema terhadap si bocah bukan hanya ”pemerkosaan fotografik”, melainkan sudah termasuk ke dalam apa yang disebut Baudrillard (2001: 126) sebagai ”pembunuhan simbolik yang menjadi bagian dari tindakan fotografis.”

Meremas jantung, tentu saja. Sebab, ”mata penguasa” kolonial itu hanya berkepentingan kepada penduduk pribumi sebagai sekadar obyek-obyek domestik untuk memperlihatkan kontras dramatis akan superioritas penjajah berkulit putih. Di luar itu, orang-orang pribumi seolah-olah lenyap dari penglihatan, sekalipun mereka hadir di sana, misalnya dalam foto-foto keluarga Belanda.

Rupanya, kenyataan itu tidak hanya memuakkan, tapi juga memalukan bagi seorang sejarawan kritis Belanda bernama Frances Gouda yang bukan kebetulan pernah tinggal bersama orangtuanya di Hindia Belanda.

”Ketika kecil, saya tak pernah heran mengapa berjuta-juta orang Indonesia tak pernah tampak di berbagai foto tersebut, kecuali satu foto baboe Siti dengan kakak saya dalam gendongannya. Saya rasa, saya telah termakan mentah-mentah oleh ingatan orangtua saya bahwa orang Indonesia cenderung tidak memperlihatkan diri, lebih sering menjadi latar panggung hiruk-pikuk kehidupan dan kerja komunitas kolonial Belanda,” tulisnya dalam Dutch Culture Overseas (2007: 33).

Itu sebabnya, ”kini, sebagai manusia dewasa dan seorang sejarawan yang mencoba menanggapi dengan serius wujud-khas kolonial Belanda abad ke-20 di kepulauan Indonesia, saya terkadang bertanya-tanya sekaligus malu mengingat kebodohan saya karena sama sekali tidak memerhatikan ketakhadiran wajah-wajah orang Indonesia dalam foto-foto keluarga yang membanjiri masa kecil saya,” kata profesor sejarah dan jender di Universitas Amsterdam itu (2007: 35).

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan ”foto keluarga selalu berdusta.” Saya kira, pernyataan Gouda tersebut merupakan terjemahan yang baik dari ungkapan itu, yang datang dari rasa malu yang jujur. Dusta yang terdapat dalam foto keluarga Gouda berkenaan dengan manipulasi ingatan terhadap penduduk pribumi yang sengaja ditutup-tutupi keberadaannya di koloni Hindia Belanda. Dengan perkataan lain, dusta itu telah membekukan wajah-wajah orang Indonesia dalam senyap lewat foto.

Dalam perkara ini, saya kira, keluarga Gouda tidak sendirian. Hanya saja, sampai sejauh ini, tidak banyak kajian sebagaimana juga tidak banyak sejarawan yang mampu dan mau bersikap jujur seperti Frances Gouda, sehingga lengkap sudah penderitaan orang-orang pribumi yang terperangkap dalam—pinjam istilah Baudrillard (2001: 121)—“tulisan cahaya” yang melindap bersama lupa.

Di sinilah, saya kira, kita berhadapan dengan ambivalensi fotografi sebagai alat reproduksi mekanis. Kita percaya penuh seluruh kemampuannya mengabadikan suatu peristiwa. Tapi, apa yang abadi akan diam dan membisu tanpa pertolongan ingatan yang membantu kita membangkitkan peristiwa itu dari kehampaan, seperti malaikat Israfil membantu Tuhan membangkitkan manusia dari liang kubur setelah hari kiamat nanti. Ini kalau kita percaya kepada Hari Kebangkitan.

Sebaliknya, pinjam kata-kata Goenawan Mohamad via “Kain Baldwin” (2002: 14): “dalam mengenang tersirat lupa”—fotografi menolong kita memantulkan ingatan akan suatu peristiwa, seperti bulan memantulkan cahaya di danau.

* Wahyudin, Kurator Seni Rupa, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 28 September 2008

Manusia Hotel: Manusia Datang dan Pergi

-- Bandung Mawardi*

ORHAN Pamuk dengan apik, fasih, dan puitis mengisahkan makna kehadiran manusia dalam hotel. Tokoh Ka sebagai seorang penyair dan jurnalis terlibat dalam pelbagai kisah alienasi sampai revolusi dalam Hotel Istana Salju di Kota Kars. Hotel itu mengusung pertemuan, perselingkuhan, konflik arus peradaban Barat dan Timur dalam fragmen-fragmen rezim politik dan revolusi.

Hotel itu merekam sejarah, imajinasi, hasrat, dan biografi. Tokoh Ka hadir dalam hotel itu dengan nostalgia dan utopia. Hotel menjadi ruang untuk mengasingkan diri, menulis puisi, menikmati salju, mengingat Tuhan, melepas birahi, memimpikan masa depan, memikirkan konflik, mencatat revolusi, dan menunda kematian.

Orhan Pamuk dalam novel Snow memberi refleksi mumpuni: hotel adalah ruang seribu satu kisah. Novel itu menjadi representasi dari kisah manusia untuk menjalani lakon-lakon hidup dengan kesadaran ruang dan waktu. Hotel adalah ruang hidup manusia modern dengan kompleksitas pertanyaan dan jawaban.

Hotel sebagai ruang persinggahan (transisi) memberi sekian kemungkinan pembebasan dan pengekangan. Kehadiran manusia sebagai manusia hotel niscaya melibatkan dalil dan pamrih. Hotel pun menjadi ruang penciptaan dan penafsiran untuk mengingatkan manusia tentang eksistensi dan mobilitas hidup. Hotel selalu mengandung ambiguitas untuk manusia memilih lakon dengan risiko-risiko.

Kisah hotel pun menjadi pusat dalam novel Hotel Miramar karangan Naguib Mahfoudz. Hotel menjadi ruang pertemuan manusia dengan pelbagai identitas dan ideologi hidup. Kisah cinta sampai revolusi bertemu, bertarung, dan berpisah dengan tepuk tangan atau hening. Hotel Miramar merekam alienasi sebagai kodrat manusia. Hotel adalah ruang untuk menikmati alienasi dengan afirmasi atau negasi.

Fragmen-fragmen hidup mengenai nasib perempuan, biografi jurnalistik, konflik politik, kondisi ekonomi, dan kisah cinta membuat Hotel Miramar memberi janji surga dan neraka. Tragedi sampai keajaiban selalu menjadi kondisi tanpa skenario sempurna. Manusia-manusia hotel di Hotel Miramar menjalani taruhan dalam tegangan soliter dan solider untuk menemukan penggalan hidup sebagai angin lalu atau kenangan kekal.

Ruang eksistensi

Manusia-manusia modern adalah subyek yang tak bisa melepaskan diri dari kenangan pada mitos tragedi dan hasrat menciptakan tragedi. Peradaban dengan alur-alur semrawut membuat manusia selalu harus memilih untuk selamat atau sekarat. Tragedi manusia pun menemukan manifestasi dalam pemaknaan ruang dan waktu. Hotel adalah jawaban untuk membuat perhitungan eksistensi dengan kompensasi dan konsekuensi tertentu.

Iwan Simatupang cenderung percaya bahwa hotel sebagai jawaban untuk memilih risiko hidup. Iwan Simatupang dengan konsep-konsep eksistensialisme memilih hotel sebagai ruang biografi untuk mengurusi sastra, filsafat, seni, dan politik. Hotel adalah ruang eksistensi untuk membaca dan menulis kisah manusia.

Surat Iwan Simatupang pada HB Jassin menjadi dokumen manusia Indonesia yang sadar dengan arus dan alur modernitas. Iwan Simatupang dalam surat itu menuturkan ”manusia hotel” dalam perspektif filsafat eksistensialisme. Inilah kutipan surat Iwan Simatupang yang ditulis pada 17 Januari 1962: ”Aku kira, kamar kecil dari hotel kecil di kota kecil telah banyak berjasa bagi kesusastraan modern. Kafka, Pirandello, Thomton Wilder, Hemingway—teruslah! Mereka semua beroleh rangsangan bagi karya-karya mereka ketika lagi dalam perjalanan, di kamar kecil hotel kecil dari kota kecil. Bahkan, Luigi Pirandello seumur hidupnya hidup di hotel saja. Katanya: Aku manusia hotel.”

Iwan Simatupang dalam surat itu mendeklarasikan diri sebagai manusia hotel. Identitas manusia hotel pun melekat pada sosok Iwan Simatupang yang memiliki biografi sedih dalam sekian kisah. Iwan Simatupang sebelum menjadi manusia hotel adalah petualang hidup dengan pamrih menekuni sastra, teater, filsafat, dan politik. Petualang itu masuk dalam babak kesedihan ketika biografi cinta dengan Corrie de Gaine menemukan epilog karena intervensi kematian. Kematian istri mengantarkan Iwan Simatupang dalam sepi, tragedi, dan alienasi. Iwan Simatupang sejak itu adalah petualang dari ziarah sejarah dan ziarah imajinatif. Hotel adalah ruang untuk melakoni ziarah dengan menulis novel. Hotel adalah ruang hidup impersonal.

Definisi manusia hotel, menurut Iwan Simatupang, adalah the modern tramp, yakni pengembara yang berpretensi memiliki kegelisahan modern atau berpretensi untuk jadi Don Quixote modern. Iwan Simatupang menjelaskan pergulatan psikologi dan filsafat manusia hotel: ”Inilah inti dari psikologi manusia hotel. Ia adalah tamu! Dan tamu selalu berarti: (baru) datang, (bakal) pergi (lagi). Jadi, ia manusia datang dan pergi. Ia manusia mobil. Gelisah. Ia selalu ada dalam perjalanan antara datang dan pergi. Oleh sebab itu, bumi kehidupan manusia hotel juga berlangit relativisme. Filsafat hidup hari-harinya adalah juga filsafat riskan.”

Definisi manusia hotel itu menemukan realisasi pada manusia-manusia modern dalam melontarkan pertanyaan dan memburu jawaban mengenai fragmen-fragmen modernitas. Manusia-manusia modern menjadi manusia hotel dengan mobilitas tubuh, pikiran, imajinasi, atau mimpi untuk mengenangkan nostalgia dan menciptakan utopia. Manusia hotel mungkin kehendak bebas atau kutukan.

Alienasi dan pencarian

Hotel dan manusia hotel adalah identitas modernitas. Hotel dalam taraf tertentu memiliki kemungkinan untuk melampaui rumah. Manusia modern melakukan pergeseran epistemologi dalam membaca dan memahami ruang sesuai dengan hukum mobilitas zaman. Rumah pun perlahan kehilangan makna historis dan empiris. Hotel menjadi pilihan dengan dalil dan pamrih modernitas.

Subagio Sastrowardoyo dalam puisi Hotel menuliskan kisah manusia modern dalam alienasi dan pencarian. Hotel menjadi simbol dan representasi untuk membaca dan menilai lakon hidup manusia modern. Subagio Sastrowardoyo dalam bayang-bayang filsafat eksistensialisme menulis: Jangan kita beli tanah atau rumah / Uang tak ada. Dan kita tidak bisa tinggal lama. / Malam kita menginap dan berangkat subuh hari / Kita anak piatu yang kehilangan bapak / dan mencari / Di hotel ini kita bertemu dan di pojok / jalan ke benteng tua berpaling muka / Kita akan saling lupa.

Imperatif dalam puisi itu mengesankan ambiguitas manusia modern dalam diferensiasi hasrat memiliki rumah atau menjadi manusia hotel. Manusia dengan hasrat rumah berani membuat taruhan hidup untuk keberadaan rumah dalam kutukan kapitalisme dan globalisasi. Rumah untuk hidup. Rumah untuk memiliki kesadaran ruang dan waktu. Hasrat rumah itu kadang mengalami reduksi untuk sekadar mengartikan rumah sebagai persinggahan dari mobilitas manusia: datang dam pergi. Pilihan menjadi manusia hotel pun susah meloloskan diri dari konsep rumah dalam hukum kesementaraan. Manusia hotel mungkin kisah tak sempurna: dari kisah tak selesai ke kisah tak selesai.

Kisah manusia hotel sampai pada babak menegangkan dalam puisi Afrizal Malna, Arsitektur Hotel. Afrizal Malna mengusung dan menuliskan getir dan tragedi dengan semiotika modern dan kisah-kisah pecah. Afrizal Malna mengisahkan: Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang / pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, / memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di / setiap telur. Hotel adalah otoritas risiko dan sangsi laten dengan kedok kebebasan, kenikmatan, keindahan, kemanjaan, atau ketenangan. Manusia-manusia hotel dalam pengertian naif adalah hamba-hamba dari operasionalisasi ideologi modernitas. Ideologi itu hadir sebagai sistem dan mekanisme artifisial dengan janji surga atau neraka.

Otoritas hotel kadang menghilangkan manusia sebagai manusia. Afrizal Malna pun mencari dan ingin manusia dalam sistem dan mekanisme hotel. Afrizal Malna menulis: Beri aku manusia. Mungkinkah manusia hilang, pecah, atau mati dalam hotel? Ini pertanyaan pelik.

Hotel adalah juru bicara modernitas dengan ambiguitas membingungkan. Hotel itu mengasingkan, membebaskan, memusnahkan, mematikan, menghidupkan, dan melenakan. Manusia hotel adalah manusia dengan surga dan neraka: risiko-risiko modernitas.

* Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut (Solo)

Sumber: Kompas, Minggu, 28 September 2008

Oase Budaya: Si Celurit Emas dari Batang-Batang

-- Dwi Fitria

Dalam puisi-puisi Zawawi Imron, muatan lokal yang kuat kerap dipadukan dengan nilai-nilai religi dalam pengertian luas.

Ada dua hal yang menjadi kekhasan puisi-puisi Zawawi Imron. Yang pertama adalah hadirnya idiom-idiom lokal Madura yang merupakan daerah asalnya, dan yang kedua adalah muatan Islam yang kerap muncul.

Dalam puisi-puisi semisal Celurit Emas, atau Ibu, Zawawi berhasil mengangkat sebuah kultur Madura yang mematahkan stereotip yang kerap dikenakan kepada masyarakat Madura.

“Dalam puisi-puisinya, Zawawi mengangkat citra budaya Madura yang positif. Selama ini citra Madura bagi sebagian orang mungkin identik dengan baju kaus lurik, sate, atau celurit. Dalam puisi-puisi Zawawi Imron justru menampilkan sosok orang Madura yang berbeda, yang mencintai lingkungan dan laut sebagai bagian dari kehidupannya,” kata kritikus sastra Maman Mahayana.

Puisi-puisi Zawawi juga kerap menggambarkan idiom-idiom budaya Madura dengan cara yang berbeda. “Garam dari laut adalah sebuah representasi harapan orang Madura. Puisinya Celurit Emas menggambarkan celurit sebagai simbol semangat orang Madura, bukan semata senjata untuk membunuh orang, yang hanya akan digunakan untuk melawan ketidakbenaran,” kata Maman.

Latar belakang pesantren membuat Zawawi juga mengangkat muatan Islam dalam puisinya. Tetapi menurut Maman, muatan Islam dalam puisinya bukan muatan artifisial. Muatan Islam dalam puisi-puisi Zawawi adalah Islam dalam pengertian yang amat luas. “Zawawi menampilkan Islam sebagai agama yang bersaudara dengan apa pun. Termasuk juga dengan lingkungan, dengan laut, dengan pohon, dengan batu. Puisi Zawawi Imron adalah representasi dari semangat islami yang bersaudara dengan makhluk apa pun,” kata Maman.

Sementara jika menyoal muatan islami dalam puisi-puisi Zawawi, menurut Ahmadun Yosi Herfanda, lebih cocok menempatkan penyair yang tenar dipanggil Celurit Emas itu ke dalam golongan penyair religius. “Tak banyak yang menyebutnya sebagai penyair sufi Indonesia. Berbeda dengan Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, Danarto, atau Kuntowijoyo misalnya,” kata Ahmadun.

Puisi-puisi Zawawi memang memiliki muatan religius namun tidak sufistik. “Para penyair sufi lain semisal Abdul Hadi WM memasukkan muatan tasawuf ke dalam puisi-puisinya, ada pengalaman-pengalaman sufistik di sana. Sedangkan puisi-puisi Zawawi lebih bersifat religius yang tak terlalu mendalam membahas muatan Islam jika dibandingkan dengan puisi-puisi sufistik. Puisi religiusnya juga tak sebanyak puisinya yang mengangkat muatan lokal. Paling ada satu dua, misalnya yang berjudul Dzikir,” kata Ahmadun.

Mengusung Muatan Lokal

Dibandingkan dengan para penyair sufi lainnya, muatan lokal masih menjadi kekuatan utama Zawawi, dan membedakannya dengan yang lain. “Pencitraan dan metafor Zawawi amat khas, khas lokal Madura. Sementara para penyair sufistik lain, idiom-idiom dalam puisi mereka jauh lebih universal,” kata Ahmadun.

Ini amat dipengaruhi latar belakang Zawawi. Sementara kebanyakan penyair dan sastrawan lain bergaul luas dengan beragam wacana intelektual, juga karya sastra mancanegara, Zawawi tinggal dan berkarya di desa kelahirannya, Batang-Batang. Yang menakjubkan, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi mampu menghasilkan sajak-sajak yang amat indah.

“Justru di situ letak keunikan puisi-puisi Zawawi, metafor lokalnya kuat, begitu juga dengan citraan-citraan lokalnya. Puisinya menurut hemat saya amatlah eksklusif,” kata Ahmadun Yosi Herfanda.

Penggagas puisi Sufistik Indonesia, Abdul Hadi WM juga berasal dari daerah yang sama dengan Zawawi. Kiprah Abdul Hadi di dunia sastra Indonesia jauh lebih banyak merebut perhatian dibandingkan dengan Zawawi Imron, padahal secara estetika masing-masing memiliki ciri yang amat kuat.

Di awal kepenyairannya, sama dengan Zawawi, Abdul Hadi juga kerap mengangkat idiom-idiom Madura. “Namun semakin lama, Abdul Hadi semakin memfokuskan diri membuat puisi-puisi sufistik. Zawawi di sisi lain mengembangkan tema yang jauh lebih beragam, sosial, kekeluargaan, cinta, juga agama,” kata Ahmadun.

“Kepenyairan seseorang akan makin cepat diakui jika ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam esai-esai. Zawawi tidak memperkuat kepenyairannya dengan menulis esai. Hanya satu dua esai yang ia tulis. Sementara di sisi lain, Abdul Hadi sangat produktif menulis esai. Ia pernah mengasuh rubrik sastra, yang memungkinkannya menuangkan pikiran-pikirannya dan kreativitasnya setiap minggu,” kata Ahmadun.

Hadir tanpa Menggebrak

Zawawi memang kurang produktif menulis esai-esai sastra yang akan membantu orang-orang memahami kepenyairan dan pemikirannya. Melalui rubrik yang ia asuh, Ahmadun pernah meminta Zawawi untuk menulis esai, namun sayangnya esai itu tak terlalu kuat, meskipun kemudian tetap dimuat.

Cara lain untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang penyair adalah dengan melakukan aksi panggung yang menarik perhatian. Ahmadun mengambil contoh Sutardji Calzoum Bachri. “Dia dulu menggebrak dunia kepenyairan dengan membaca puisi sambil membawa kampak, minum bir. Penampilannya yang kontroversial ini membuatnya ternama dalam waktu yang tak terlalu lama.”

Zawawi tak melakukan salah satu di antara kedua hal tadi. Ia hanya berbicara melalui estetika puisinya yang, meminjam istilah Ahmadun Yosi Herfanda, eksklusif dan unik. Namun, ini sudah cukup membuat Zawawi menjadi sosok yang istimewa dalam dunia sastra Indonesia.

Sementara Maman Mahayana berpendapat bahwa waktu kemunculan, latar belakang akademis, dan tempat tinggal berpengaruh pada sorotan yang diterima keduanya. “Abdul Hadi menggebrak dunia sastra dengan mengangkat persoalan kembali ke akar yang sudah ia mulai pada tahun 70-an, sementara Zawawi baru muncul sekitar sepuluh tahun kemudian. Di samping itu kebetulan saja Abdul Hadi berada di Jakarta, sehingga ia memiliki ruang yang jauh lebih luas. Selain itu reputasi akademis Abdul Hadi juga amat menonjol,” kata Maman.

Namun itu semua tak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat estetika puisi kedua sastrawan terkemuka dalam jagat sastra Indonesia tersebut. “Ini tak serta-merta berarti bahwa puisi-puisi Zawawi tak sebagus puisi Abdul Hadi. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Selalu ada kelebihan dengan puisi-puisi tertentu dan kekurangan dalam puisi-puisi yang lain,” kata Maman.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008

Oase Budaya: Penyair Kampung yang Memikat

-- Theresia Purbandini

TAK banyak penyair Indonesia seperti Zawawi Imron, tetap memilih untuk berdomisili di desa kelahiran. Dalam hal ini, desa dengan alam yang kaya, jadi lebih penting lagi bagi Zawawi.

Zawawi Imron yang lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura pada 1945. Sejak 1970-an, di tengah riuhnya panorama perkotaan memasuki puisi-puisi para penyair 1980-an, Zawawi muncul dengan kedesaannya.

Menurut Raudal T Banua, masa produktif Zawawi, 1970-an -- 1980-an, menyangkut kekuatan real yang disebabkan adanya kekuasaan pemerintahan yang massive, dan coba didobrak oleh persoalan sufistik dan idiom-idiom realistik Maduranya yang kental.

Mengurai tema ketuhanan, kemanusiaan hingga persoalan sosial politik yang kompleks, menjadi eksistensi Zawawi yang tidak stagnan. “Karya Zawawi dalam Bulan Tertusuk Lalang jadi bukti pencarian pergulatan Aku dengan bahasa yang transenden, melalui pendekatan sehari-hari; bagaimana orang membicarakan Tuhan tidak dengan idiom-idom dari kitab. Selain itu, ada pula yang mengangkat tema sosial dan kemanusiaan yang cenderung tidak surealis,” ungkap Raudal.

Mengurai tema-tema yang jadi amatan Zawawi, Joko Pinurbo mengungkapkan, “Zawawi banyak menggali nilai-nilai religiusitas tanpa mengumbar jargon-jargon tentang Tuhan dan agama. Tanpa menggunakan kata ganti Mu, dia mampu melebur Tuhan dalam berbagai imaji alam dengan gaya penulisan sajaknya yang liris dan kontemplatif.”

Selain itu, Zawawi dianggap Joko juga sebagai penyair yang bernapas panjang , produktif, dengan intensitas menulis karya yang memiliki nada riang dan berbagai anekdot yang mampu menggambarkan sketsa teman-teman sesama seniman.

Zawawi, dikatakan oleh Raudal mampu mengajak pembaca memasuki dimensi lain ketika menyelami hasil-hasil karyanya seperti Celurit Emas, Madura Akulah Lautmu, Bulan Tertusuk Lalang, dan sebagainya. Di mana idiom alam seperti bulan dan pantai tidak dirumuskan dalam artian harafiah, melainkan menawarkan intrepretasi secara imajinatif.

Dari pesantren

Meskipun Zawawi hanya mendapatkan pendidikan informal melalui pesantren di desanya, tapi hal itu tak menyurutkan jejak langkah keintelektualitasan mengarangnya. Bahkan, di pesantrennya, Zawawi mendapat predikat sebagai seorang Kiai.

Menurut Joko, meskipun pendidikan akademis tak boleh dianggap sebelah mata, namun keberhasilan seorang penyair memang tergantung sejauh mana ia mau belajar dan terus menggali ilmunya. “Zawawi menggunakan imaji pengaruh alam lingkungannya. Meskipun ia tidak berpendidikan formal tinggi, tapi ilmunya tentang kehidupan tak kalah kaya dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Justru banyak sarjana yang karyanya bahkan tidak sehebat dan setinggi gelar kesarjanaannya,” kata Joko.

Meskipun pendidikan merupakan faktor penting bagi seorang penyair, tapi melihat keberhasilan Zawawi, bagi Raudal, hal ini bisa dikompromikan. ”Sebagian besar pengarang ataupun penyair memiliki ruang hampa, yang merupakan suatu ruang intelektual yang dapat mengindahkan bakat-bakat alamnya,” tutur Raudal.

Ketertarikan Zawawi pada alam sekitar, dengan cair dituangkan ke dalam bentuk syair-syairnya dalam batas dimensi luas, yang berkorelasi dengan makna denotatif dalam karyanya. “Seperti pohon lontar, karapan sapi dan aksesoris Madura lainnya, ia tuangkan dalam prespektif sebagai penyair yang memilki pengalaman obyektif tentang kampung halaman,” ungkap Raudal.

Meskipun Zawawi juga pernah menulis tentang desa lain selain desa kelahirannya, namun suasana makna alam desa Batang tetap mengental di setiap karyanya. Tanpa disadarinya, menurut Raudal, desa kelahirannya telah membius Zawawi untuk terus disuntikkan ke dalam setiap lirik puisi yang diciptakannya.

Tapi tak ada gading yang tak retak. Begitupun seorang penyair yang berotak cemerlang dengan imaji yang kaya, juga tak luput dari kekurangan. Diakui oleh Raudal, meskipun energi produktif Zawawi begitu tinggi, tetapi ada saja sajak-sajak yang dibuat terasa cair oleh Raudal. Seperti dalam buku catatan perjalanan di Belanda, sebagai hasil sublimasi Zawawi dalam 10 hari perjalanan ke Belanda.

Kikuk idiom perkotaan

Sementara Joko menguraikan, persekutuan Zawawi dengan alam lingkungannya, membuatnya Zawawi ingin menumpahkan segala macam cerita dan kejadian yang dilihatnya. “Sepertinya dia hanya mengungkapkan keterkejutan budaya yang ia rasakan, dan saya kira energi terbaiknya telah dia tumpahkan di buku Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Airmata, dan Celurit Emas.”

Ditambahkan Joko, “Zawawi tampak kikuk ketika harus menyair dengan idiom-idiom perkotaan. Dengan kata lain, dia memang paling baik menjadi penyair alam, dengan imaji-imaji alam daratan yang eksotis dengan berbagai makna sarat empati.”

Daya tarik melalui penginderaan idiom-idom Madura yang kental dalam setiap torehan puisi religiusnya, menurut Raudal, cukup menularkan pengaruh bagi Acep Zamzam Noor dan penyair muda Jawa Timur lainnya. “Bedanya Zawawi dengan penyair muda Jawa Timur lainnya, Zawawi lebih surealis jernih, yang lahir dari pengkristalisasian yang jelas, sedangkan mereka yang juga surealis namun ditimpa aplikasi ‘gelap’ sehingga penghayatannya dirasa kurang,” papar Raudal.

Sedangkan bagi Joko, pengaruh Zawawi bagi penyair yang lebih muda tampaknya tidak terlalu kelihatan. “Saya malah melihat tidak banyak, bahkan langka, penyair yang mampu mengolah dan menggali lokalitas dengan baik dan menarik seperti Zawawi,” tutur Joko.

Dalam dunia penyair, Zawawi ditempatkan oleh Joko sebagai penyair yang membahasakan puisinya plastis, tidak verbalistis, dengan bahasa perasaan yang telah mengendap. "Dia merupakan penyair kampung yang mutu sajaknya tidak kampungan, karena memikat dan khas dalam imaji alam lokal,” ungkap Joko.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008

Oase Budaya: Jenius Lokal Berperahu Cadik

-- Grathia Pitaloka

KAMPUNG halaman sangat mewarnai sastra Indonesia; bahkan jadi paradigma berpikir yang tak terpisahkan.
Pada era 1970-an, perkembangan sastra Indonesia pernah menggeliat kembali ke akar. Karya sastra yang dianggap ideal, harus memiliki muatan atau warna lokal, di mana secara simbolik dan geografik merujuk ke kampung halaman.

Tak banyak orang yang mampu mengeksplorasi tanah kelahirannya, untuk kemudian dirajut dalam bait-bait puisi. Dari segelintir itu, nama D Zawawi Imron layak disebut sebagai salah satu yang sempurna. "Ia menyerap simbol-simbol yang ada di Pulau Madura untuk kemudian diangkat jadi sebuah warna lokal yang unik," kata penyair Acep Zamzam Noor kepada Jurnal Nasional, Selasa (23/9).

Eka Budianta menyebut Zawawi sebagai seorang jenius lokal, yang dengan pendidikan formal minim, berhasil melakukan penghayatan mendalam atas kebudayaan dan masyarakat Madura. "Berbicara mengenai Zawawi, sama artinya dengan mengulas kepribumian Indonesia," ujar Eka.

Kedekatannya dengan idiom-idiom lokal membuat Zawawi dapat memaknainya secara intens dalam sajak. Tak heran, sejak awal karier kepenyairannya, ia tidak ragu untuk memasukkan lenguhan sapi, pohon siwalan, hingga saronen.

Realitas alam Madura ia olah secara simbolik, hingga memiliki makna luas dan universal. Rantau dan pelayaran pun tak hanya bermakna harfiah, tapi memiliki dimensi spiritual. Begitu pula daun siwalan, clurit, sapi karapan, pondok garam dan perahu cadik membentuk dimensi makna yang lebih luas bahkan kaya raya.

Zawawi memiliki bahasa ungkap sederhana, simetris dengan kesederhanaan kampung halamannya. Dan yang paling menarik adalah terciptanya sajak-sajak surealis, di tengah realitas alam sehari-hari, sebagai antipoda terhadap kemapanan yang ada.

Kebanggaan Zawawi terhadap khasanah budaya Madura, terlihat jelas pada sajak-sajaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah puisinya yang berjudul Madura, Akulah Darahmu. "Sikapnya yang tak kenal lelah menyuarakan Madura membuatnya menjadi ‘mahal'," kata Eka.

Bila musim labuh hujan tak turun

Kubasuhi kau dengan denyutku

Bila dadamu kerontang

Kubajak kau dengan tanduk logamku

Di atas bukit garam

Kunyalakan otakku

Lantaran aku adalah sapi kerapan

Yang menetas dari senyum dan airmatamu

Aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan

Dan memetik bintang-gemintang

Di ranting-ranting roh nenekmoyangku

Di ubun langit kuucapkan sumpah:

- Madura, akulah darahmu.

Selain tanah kelahiran, Zawawi juga menjamah beragam tema seperti ketuhanan, sosial serta politik. "Ia menyampaikan puisi religius tidak secara formal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan alam yang sangat murni sehingga tampak hidup," kata Acep.

Zawawi juga kerap menulis tentang keterpesonaannya terhadap sebuah daerah yang dikunjunginya. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan kebudayaan setempat. "Dalam setiap perjalanan, Zawawi selalu membuat puisi dan puisinya selalu berusaha menyampaikan nilai-nilai lokal," ujar Afrizal Malna.

Menurut Afrizal, sajak-sajak Zawawi yang sarat muatan lokal bukan semata-mata untuk kepentingan estetika, terkadang di balik itu ada motivasi untuk diterima oleh masyarakat setempat. "Zawawi mengemas puisi sebagai sarana komunikasi," tutur Afrizal.

Ketika banyak penyair yang lebih mengedepankan masalah teknis dalam membuat sebuah puisi, maka penyair berdarah Madura ini lebih mementingkan jalinan emosi yang ia bangun kata demi kata.

Hal itu dapat ditangkap jelas oleh Afrizal, di mana kata-kata dalam sajak Zawawi menunjukkan sebuah keterikatan emosi yang kuat. Ia berhasil meniupkan ruh kehidupan pada kata-kata sehingga tampak bernyawa. "Ia tak sekadar menulis puisi, tetapi juga mampu membangun hubungan intim dengan kata-kata," kata penyair kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 ini.

Rumah Terpencil

Di tengah derasnya arus globalisasi, harus diakui kehadiran warna lokal dalam karya sastra terasa tersisih atau hanya sekadar sebagai tempelan. Penyair-penyair lebih senang memperbincangkan obrolan seputar tema-tema masyarakat urban-global. Tapi hal itu tak membuat Zawawi berpaling. Ia tetap betah tinggal dalam "rumahnya". Rumah yang dalam imajinasinya diletakkan dalam latar belakang kebudayaan, peda laman, rumah yang asing dengan hiruk pikuk kota.

Zawawi nyaman memencilkan diri (alienasi) dalam ruang kecil (rumah) dalam ruang yang besar (hutan). Peta ini bisa dijawab dengan situasi-situasi yang berbeda atau berlawanan. Seperti dalam puisinya yang berjudul Rumah Terpencil (1987). Sebuah rumah terpencil di hutan Camba / tak punya tetangga / Tapi kurasa / ada daun-daun bersenyuman setiap hari // Di sini / seperti tak ada yang berangkat tua / dan sia-sia mengasah cakar atau gigi / yang mekar hanya sanubari.

Bila penyair lain mahir menulis puisi karena banyak membaca dan mempelajari litelatur dari luar negeri, tidak untuk Zawawi. Puisi buah tangan lelaki yang akrab disapa Pak Haji ini murni lahir dari proses pengamatan dan pengalamannya. "Berbeda dengan Sapardi atau Goenawan Mohammad yang banyak menterjemahkan sajak-sajak luar, Zawawi benar-benar seorang jenius lokal," ujar Eka.

Pengamatan serta pengalaman yang matang bukan hanya menciptakan sebuah kealaman tema tetapi juga sebuah keluasan. Sehingga tak hanya pembaca berdarah Madura yang tersentuh ketika membaca puisinya, tapi juga pembaca yang berasal dari suku bangsa berbeda. "Zawawi membuat puisi sebagai alat untuk mencintai kampung halaman, bukan sekadar kesenian merajut kata-kata," kata suami Melanie Budianta ini.

Dalam puisi Zawawi bahasa adalah kekayaan budaya, bukan semata-mata pemuas hasrat manusia pengagum budaya. "Sebagai seorang penyair rakyat ia tak bisa hanya dinilai dari sudut artistik, ada ceruk lebih dalam yang patut digali yaitu kecintaannya terhadap sesama manusia," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Kajian Kesusastraan Asia Timur itu.

Ada geli yang menggelitik penikmat sastra untuk kemudian tergoda membandingkan Zawawi dengan rekan sedaerahnya, Abdul Hadi W.M. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sama-sama mengangkat Madura dalam karya mereka.

A. Teeuw pernah mengatakan bahwa Zawawi adalah seorang penyair dari Madura dengan mutu sajak yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi (A. Teeuw, 1989: 163).

Namun A.Teeuw tidak menunjukan di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi dan sampai sejauh mana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya. Diperkirakan penilaian A.Teeuw hanya berdasarkan karya Zawawi sampai akhir dekade 1970-an karena banyak puisinya terbit pada dekade berikutnya.

Padahal kepenyairan Zawawi malah berkembang dengan sangat pesat serta mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986).

Mengomentari perbandingan tersebut, Afrizal berpendapat, Abdul Hadi memiliki kekuatan pada komposisi, sementara Zawawi agak keteteran di bagian itu. Tapi, lanjut dia, Zawawi memiliki metafor yang lebih unik dibanding Abdul Hadi. "Metafor Abdul Hadi merupakan warisan nilai-nilai imajisme dunia karena ia mahir berbahasa Inggris dan memiliki intelektualitas yang tinggi. Sementara Zawawi belajar dari pengamatannya sendiri sehingga pergulatan yang dialaminya jauh lebih keras," kata Afrizal.

Dalam menulis puisi Afrizal melihat Zawawi menggunakan tiga formula untuk memperkuat sajak-sajaknya, yaitu: spiritual, nilai budaya lokal, serta sentuhan personal yang unik. "Seiring berjalannya waktu formula yang ia gunakan semakin memperkuat sajak-sajaknya," ujar Afrizal.

Perjalanan budaya yang dilakukan oleh Zawawi memperkaya metafor dan pemahamannya tentang bahasa. "Ia memiliki metafor yang kuat, itu yang membuat sajak-sajaknya lebih kaya dibanding penyair seangkatannya," kata penulis buku Arsitektur Hujan ini.

Pendapat Afrizal seolah mengamini pendapat Subagio Sastrowardoyo yang secara subyektif mengaku menyukai puisi-puisi Zawawi, meski terdapat keganjilan-keganjilan imaji yang mengurangi tenaga ucap. "Apa pun wujud puisi-puisi Zawawi saya tetap mencintainya," kata Subagio (1989).

Penyair Balada

Afrizal memaknai imajinasi Zawawi layaknya sebuah pulau yang berjalan. Ia mengatakan, dalam puisi Zawawi terdapat percampuran berbagai nilai mulai dari agraris hingga budaya lokal. "Nilai lokal yang ia sajikan sudah bertransformasi, sehingga hadir secara terbuka," kata lelaki yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.

Menurut Afrizal, Zawawi merupakan seorang penyair forklore yang banyak memasukkan cerita-cerita rakyat dalam puisinya. Selain itu, ia juga memiliki kedekatan dengan dunia pesantren, maka tak heran jika sajak-sajaknya akrab dengan rumor para kyai. "Sebenarnya jika Zawawi tidak berada dalam lingkaran penyair imajis, dia akan menjadi penyair balada yang hebat," kata penyair berdarah Minang ini.

Pria berkepala plontos ini mengatakan, era puisi imajis sudah selesai, sulit untuk mencetak sebuah sejarah baru. Menurut Afrizal, Zawawi akan lebih berkembang jika mau menyisir kembali kemampuannya berbalada.

Penulis sajak Tak Ada Anjing Dalam Rahim Ibuku ini melihat, kekuatan balada Zawawi tampak jelas pada puisinya yang berjudul Ibu : bila kasihmu ibarat samudera // sempit lautan teduh // tempatku mandi, mencuci lumut pada diri // tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh // lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku // kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan // namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu // lantaran aku tahu //engkau ibu dan aku anakmu.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008

Oase Budaya: Ketupat

-- Arie MP Tamba

akan berdosa membelah ketupat ini
beras-beras kasih, beras-beras rindu
telah bersetubuh dalam rimba sanubari
hingga alir sungai dari bukit azali
akan sampai ke muara

ketupat ini akan bisa dibelah
tapi tak dengan pisau dunia

(Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang, Balai Pustaka, 1982)

Dalam minggu ini, pemaknaan dari puisi Ketupat di atas boleh jadi akan lebih mudah dicerna. Lebaran tiba, ketupat di rumah-rumah. Ketupat adalah bahan makanan berbahan beras yang sengaja dibentuk setengah bujursangkar, dan kemudian dimasak hingga lunak. Untuk menikmatinya, ketupat dibelah-belah, dan daun-daun pembungkusnya disingkirkan. Lalu, belahan-belahan ketupat tersebut ditaruh di piring, disiram dengan kuah gulai daging atau ayam. Ketupat pun siap dimakan dengan rasa nikmat.

Di Indonesia, secara khusus, ketupat adalah makanan khas yang jadi perlambang tibanya hari besar Lebaran umat Islam. Bagi suku-suku yang mempunyai tradisi kuliner cukup kaya, seperti Minang, Jawa, dan Sunda, masakan ketupat juga dicapur dengan kerecek, telur, kerupuk, dan berbagai jenis sayuran lainnya.

Tapi, bagi penyair Zawawi Imron, ketupat ini ternyata bukan saja makanan yang enak dan mengesankan; juga mampu mengusung beragam asosiasi pemaknaan yang inspiratif. Sebab, ketupat adalah beras-beras kasih, beras-beras rindu, (kepada Sang Pencipta?) – hingga tidak adil rasanya bila sekadar membelahnya, dalam sebuah momen penting yang dinanti-nantikan dengan segenap kesadaran dan ucapan syukur. Yakni, dalam sebuah hari khusus bagi umat Islam: hari kemenangan melawan ’keburukan’ hari kemarin.

Dan kalaupun ketupat itu harus dibelah, karena untuk memakannya memang harus dibelah, ketupat ini akan bisa dibelah, tidak dengan sembarang pisau. tapi tak dengan pisau dunia. Melainkan oleh sebuah pisau khusus, yang datangnya tidak dari dunia ini. Itulah pisau pertobatan seorang manusia di hari Lebaran. Sebuah kualifikasi moral dan kemanusiaan yang telah mendapatkan penyucian, tidak terukur oleh manusia, karena sifatnya ilahiah.

Di sini, ketupat yang tampak remeh sebagai makanan atau jajanan itu, bahkan biasa ditemukan dan diperjualbelikan di pinggir jalan kota-kota besar Indonesia – juga perlambang sebuah perayaan hari besar – telah mendapatkan pengayaan makna religiusitas yang luar biasa, karena kepiawaian Zawawi menyusunnya di dalam metafora: beras-beras kasih, beras-beras rindu.

Sebuah lapisan pemaknaan baru dikuakkan. Religiusitas dipertebal bersama asiosiasi pemaknaan tanpa menyangkut-nyangkutkan teks dengan (mengusung) istilah Tuhan atau agama. Bersama Ketupat, Zawawi membuat persoalan religiusitas terasa cair, akrab, bahkan sederhana dalam keseharian, tapi memiliki bobot makna universal.

Kemampuan Zawawi seperti inilah, yang membuatnya sebagai penyair Indonesia 1980-an mendapatkan perhatian khusus dari penyair dan kritikus sastra Soebagio Sastrowardoyo. Masa itu, Zawawi bukanlah seorang penyair yang produktif menyiarkan puisi-puisinya melalui koran atau majalah sastra. Namanya pun terbilang jarang mengapung ke permukaan dunia perpuisian Indonesia, yang masa itu ’didominasi’ Jakarta.

Sementara, Zawawi adalah seorang penyair ’desa’, dari Madura. Hingga, ketika Soebagio Sastrowardoyo memuji-muji Zawawi di sebuah forum sastra Pekan Puisi 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, berbagai tanggapan kurang puas pun meledak di koran-koran.

Kepada para penanggap itu, Soebagio tidak secara reaktif mengeluarkan pernyataan pembelaan terhadap Zawawi. Di samping mengemukakan kembali teori umum pembacaan: tentang otoritas pembaca yang mutlak dalam menilai atau membesar-besarkan karya sastra yang disukainya, sebagaimana seseorang menyukai pacar yang akan diterima keistimewaan maupun kekurangannya – dengan cukup meyakinkan Soebagio (1989) membuat makalah penelitian atas karya-karya Zawawi yang terkumpul dalam buku Bulan Tertusuk Lalang (1982) dan Nenekmoyangku Air Mata (1985).

Zawawi bersama Kriapur, telah memperlihatkan pengekangan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap hidup. Itulah antara lain pendapat Soebagio di awal makalahnya. Pengekangan diri itu, terbayang pada pemilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kandungan pikiran yang matang dan dipertimbangkan.

Kiasan-kiasan dan lambang-lambang yang meramu bahan-bahan dari daerah hidupnya yang keras di Pulau Madura, menjadi kerangka penglihatan Zawawi yang konkret terhadap nasib yang tak menentu. Bersamaan dengan itu, Zawawi telah sanggup memberi jarak terhadap dirinya sendiri. Ia mampu mengadakan self reflection yang menghasilkan gambaran obyektif dan tanpa pamrih.

Di sinilah, sikap modern dalam kesusastraan menjadi identik dengan sikap kemanusiaan yang dewasa dan matang, kata Soebagio. Di mana, di dalam kerja sastra, penyair lantas bisa tertawa dan mencemooh dirinya sendiri, dengan menerima ironi dan paradoks dalam hidup sebagai hal yang wajar.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008

Hikayat Wong Cilik di Tengah Sastra Urban

(Bagian terakhir dari dua tulisan)

-- Helvy Tiana Rosa*

ANDI Birulaut juga dapat menjadi contoh, bagaimana seorang "preman" kemudian bermetamorfosis menjadi pengarang, dan berhasil membawa preman-preman lain di daerah sekitar Penjaringan, Jakarta Utara, untuk peduli dan bergerak membuka Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya), bagi anak dan remaja dhuafa di sana.

Orang-orang tersebut mengingatkan saya pada apa yang pernah ditulis Ang Tek Khun:

Aku belajar
bahwa belajar seringkali bukan ketersediaan waktu
melainkan pada kesediaan pada ketundukan hati

Aku belajar
bahwa belajar seringkali bukanlah rangkaian aksi
melainkan proses membuka diri dan proses menerima

Bila contoh-contoh di atas adalah gambaran para penggiat Forum Lingkar Pena (FLP), maka saya yakin, banyak orang seperti mereka di komunitas sastra atau kantong-kantong budaya lainnya yang berserak di desa maupun kota di negeri ini, termasuk di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Planet Senen (KoPS) dan lain-lain.

Bagi orang-orang seperti mereka, sastra adalah sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh panggul, penjaga kotak WC, pengangguran, koki, dan sebagainya itu.

Dengan sastra mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan berupaya mencerahkan orang lain (baca: pembaca) melalui apa yang mereka tulis. Dengan demikian sastra tak lagi hanya milik kaum "cendekia", tak lagi menara gading para "elitis".

Tentu saja tak adil rasanya bila kita mengukur karya mereka yang baru muncul dengan pencapaian estetik para sastrawan terkemuka Indonesia. Meski demikian, harapan ke arah sana bukan tak mungkin. Proses yang terus menerus menempa mereka akan menjadikan mereka matang dan kelak mencapai marhalah-marhalah tertentu dalam ranah kesusastraan kita.

Kini, wawasan yang semakin meluas, kemampuan menulis dan peningkatan taraf kesejahteraan mereka dari hasil menulis, menjadi poin tersendiri bagi mereka sebagai kaum urban yang (pernah) dianggap wong cilik. Sastra telah membuat mereka menjadi lebih cerdas, lebih halus, dan tentu saja lebih "kaya", bermartabat, dan karenanya lebih dihargai oleh lingkungan mereka.

Mereka menyadari bahwa sastra bisa mencintai dan membawa mereka sebagaimana mereka mencintai dan membawa sastra. Karena itulah orang-orang seperti mereka akhirnya turut peduli, bergerak melakukan semacam kampanye gerakan membaca dan menulis yang menyentuh ragam lapisan masyarakat. Mereka yang telah menghasilkan karya nyata biasanya secara sukarela menjadi "mentor" bagi teman-teman yang belum memiliki karya.

Beda kaum urban seperti mereka dari kaum rural tentu saja terutama dalam hal kesempatan mengakses informasi, kesempatan untuk mendapatkan ragam bacaan berkualitas, banyaknya komunitas/kantong budaya, kemungkinan berdiskusi dengan berbagai kalangan, dan bagaimana memanfaatkan fasilitas yang ada di kota.

Semua itu memungkinkan proses akselerasi dari sosok mereka sebagai wong cilik menjadi penulis/pengarang dan bukan tak mungkin: sastrawan.

Persoalannya sekarang, bagaimana agar mereka yang tinggal di desa bisa mendapatkan kesempatan dan kemerdekaan seperti itu pula tanpa harus pergi ke kota?

Saya kira, salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah daerah dan masyarakat di desa adalah perhatian dan kepedulian untuk mendirikan dan terus menerus menghidupkan kantong-kantong budaya atau komunitas sastra yang telah ada.

Ini juga yang cukup efektif dilakukan oleh teman-teman di Komunitas FLP. Kerjasama membuat sanggar-sanggar seni/budaya/sastra dengan sekolah-sekolah yang ada melalui jalur Depdiknas sebenarnya bisa sangat membantu. Selebihnya, keadaan di kota yang penuh magnit memang belum bisa dibandingkan dengan di desa.

Eseis muda Yanuardi Syukur mungkin bisa menjadi contoh menarik. Ia dijuluki teman-temannya sebagai "Anak Seribu Pulau". Ia senang mengembara ke mana-mana, ke kota besar hingga ke desa terpencil. Setiap kali pergi, entah bagaimana ia mampu menyemangati orang untuk mendirikan komunitas sastra yang belum ada di tempat itu, atau membantu menghidupkan kembali kantong budaya di sana yang hidup segan mati tak mau.

Pria berperawakan kurus ini bahkan masuk ke tempat-tempat yang mungkin enggan dijamah orang. Terakhir, sebelum ke Jakarta untuk kuliah pascasarjana, ia masih menyemangati dan memberi pelatihan menulis gratis bagi para penghuni penjara di Tobelo, Maluku Utara, yang ternyata luar biasa antusias.

Akhirnya, tekad dan ketekunan sebagai pribadi adalah faktor utama dalam meraih kesuksesan dalam segala bidang, termasuk sastra, Setidaknya itu yang dipelajari dua gadis kecil yang dulu tinggal lama bersama kedua orang tuanya yang hanya wong cilik -- di sebuah rumah triplek-kardus di tepi rel kereta api Gunung Sahari.

Setiap minggu, meski tak punya uang, mereka rutin berjalan kaki ke Gelanggang Remaja Planet Senen atau Taman Ismail Marzuki untuk menyaksikan berbagai aksi dan diskusi yang bisa mereka simak secara gratis.

Ya, berawal dari sana, saya dan adik saya Asma Nadia hingga sekarang belum juga berhenti menulis. Kini sudah sampai pada buku yang keempat puluh. Semoga Senen masih menjadi magnit. Selalu.

* Helvy Tiana Rosa, Cerpenis, pendiri Forum Lingkar Pena

Sumber: Republika, Minggu, 28 September 2008

Inspirasi: Octavio Paz

ORANG besar tidak tumbuh sendiri. Ia hidup dalam pergaulan dengan orang-orang berpengaruh pada zamannya. Sastrawan peraih Nobel Sastra 1990 asal Meksiko, Octavio Paz, adalah salah satu orang besar yang berkembang dalam pergaulan dunia.

Paz yang meninggal 19 April 1998 juga dikenal sebagai esais. Ia termasuk penulis produktif. Karyanya sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Puisinya antara lain diterjemahkan oleh sastrawan Samuel Beckett, Charles Tomlinson, Elizabeth Bishop, dan Mark Strand.

Paz lahir 31 Maret 1914 dengan nama lengkap Octavio Paz Lozano. Ayahnya bernama Octavio Paz Solorzano, ibunya Josefina Lozano. Paz tumbuh di Mixcoac, bagian dari Meksiko City. Di Mixcoac, Paz bersama kakeknya, Ireneo Paz; yang tercatat sebagai intelektual berpengaruh di Meksiko pada zamannya, juga novelis. Ireneo-lah yang merangsang Paz memasuki wilayah intelektual.

Paz membaca karya-karya klasik sastrawan Meksiko dan Eropa yang berpengaruh seperti sajak-sajak Gerardo Diego, Juan Ramon Jimenez, dan Antonio Machado. Yang terakhir, Machado, adalah penulis Spanyol yang mempengaruhi karya-karya Paz pada masa awal.

Paz pertama kali mempublikasi sajak Caballera pada usia 17 tahun. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan kumpulan sajak Luna Silvestre (Rembulan Liar).

Karya-karya Paz juga dipengaruhi marxisme, surealisme, dan eksistensialisme. Nuansa Buddhisme dan Hinduisme juga terasa dalam karya-karya Paz. Sajak Piedra de Sol®MDBU¯ (Sunstone/Matahari Batu) yang ditulis tahun 1957 tercatat sebagai sajak surealis. Paz juga menyentuh masalah seksualitas, cinta, dan kehidupan manusia dalam sepi.

Sebagai esais, Paz menulis berbagai pokok masalah, seperti perpolitikan Meksiko, ekonomi, seni budaya, antropologi, dan seksualitas. Seperti sajak-sajaknya, esai Paz juga banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Mari baca penggalan sajak Motion (Gerak):

Jika engkau kuda betina bergairah/Aku kelok-jalanan penuh darah//

Jika engkau salju pertama yang mekar/Aku orang yang menyalakan jantung fajar//

Jika engkau menara malam hari/Aku di ingatanmu pasak berapi//

Jika engkau genangan pagi yang pasang/Aku perih tangis pertama burung di sarang//

Jika engkau keranjang buah jeruk matang/Aku kemilau mata pisau matahari terang//

Jika engkau meja batu persembahan/Aku sepasang ulur-tangan berdosa//

Jika engkau daratan yang tertidur/Aku batang-batang hijau subur//

Jika engkau lompatan kaki-kaki angin/Aku jilatan nyala api yang dingin//

WIKIPEDIA/DARI BERBAGAI SUMBER/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 September 2008

Pustaka: Kekejaman Orde Baru di Mata Mochtar Lubis

Judul: Nirbaya, catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: LSPP dan Obor
Tebal: xi +142 halaman
Tahun: April, 2008

DALAM situasi yang sepi dan seakan tak ada yang dapat dikerjakan lagi, sering menulis catatan harian yang sering dianggap sepele justru suatu saat akan menjadi catatan yang penting dan berguna.

Sudah banyak contoh, terlebih catatan-catatan dari penjara. Misalnya catatan harian Anne Frank di saat sembunyi dari kejaran Nazi dan catatan harian Antonio Gramsci di dalam penjara fascis Mussolini. Di Indonesia pun kita kenal "catatan harian" Ahmad Wahib dan "catatan harian" Soe Hok Gie.

Kini setelah hampir 30 tahun beredar di luar negeri dan dalam Bahasa Belanda: Kampdagboek, rakyat Indonesia pun dapat membaca catatan harian Mochtar Lubis di dalam Penjara Orde Baru yang kini juga memasuki dunia perbukuan di Indonesia. Kali ini Mochtar Lubis menulis catatan hariannya dalam dua bahasa yang berselang-seling yaitu Indonesia dan Inggris.

Dengan hadirnya buku ini: NIRBAYA, Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, rezim Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto semakin tak bisa mengelak dari berbagai tuduhan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mochtar Lubis dengan teliti dan cermat mencatat berbagai perlakuan keji aparatur Orde Baru selama menjadi tahanan Orde Baru di Nirbaya yang tak lebih dari dua bulan.

Mochtar Lubis sendiri bukan orang yang asing dengan penjara. Di bawah pemerintahan Soekarno, ia pun masuk penjara.

Tak tanggung-tanggung, sembilan tahun. Dan baru bebas pada tahun 1966, setelah Soekarno tak lagi berkuasa. Catatan harian Moctar Lubis selama dalam penjara pemerintahan Soekarno pun sudah dibukukan dengan judul Catatan Subversif, yang pertama kali diterbitkan tahun 1980 oleh Pustaka Sinar Harapan.

Dengan menjadi tahanan Orde Baru, mau tidak mau Mochtar Lubis pun bertemu dengan para tahanan Orde Baru lainnya yang berseberangan dengan Mochtar Lubis, terutama dalam hal pandangan ideologi dan politik. Seperti diketahui umum, Mochtar Lubis dikenal anti-Soekarno dan antikomunisme. Karenanya, catatan harian Mochtar Lubis ini layak dibaca oleh generasi kini untuk mengetahui pergulatan batin Mochtar Lubis sebagai seorang demokrat. Selama menjadi tahanan Orde Baru satu kamp dengan tahanan-tahanan Gestapu/PKI, seperti Omar Dani, Subandrio, Pranoto Reksosamudra dan lain-lain.

Dalam Kamp Nirbaya ini, ada juga Hariman Siregar yang dipenjarakan karena kasus Malari. Mochtar Lubis pun dimasukkan ke kamp tahanan Nirbaya atas tuduhan terlibat kasus Malari 1974. Dengan demikian, Kamp Nirbaya pun menjadi pertemuan lintas generasi dan lintas aliran politik dan ideologi. Karena itu, catatan harian Mochtar Lubis di dalam penjara Orde Baru menjadi semakin penting untuk dibaca. Ia memberikan data-data baru bagaimana sebenarnya situasi politik di bawah Orde Baru.

Nirbaya kini sudah tak ada. Lokasi Nirbaya ini dulunya terletak di samping Taman Mini Indonesia Indah. Karena itu, buku ini di samping menjadi salah satu saksi kekejaman Orde Baru, juga salah satu "onumen" kekejaman Orde Baru. Mochtar Lubis pun mengakui betapa Orde Baru berlaku semena-mena terhadap tahanan melebihi rejim Soekarno, terutama terhadap tahanan Gestapu/PKI seperti penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dalam berbagai bentuk dan pemberian jatah makanan yang sedikit dan tak bergizi.

Buku ini pun semakin meyakinkan: betapa jalan demokrasi yang menurunkan Orde Baru adalah benar. Dan betapa tak bermoralnya bila ada kehendak-kehendak atau keinginan untuk mengembalikan kembali "kejayaan" rezim Orde Baru.

A.J. Susmana
, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyak

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 September 2008

Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa

-- Agus Wibowo*

SASTRA, kata William Henry Hudson dalam Introduction to the Study of Literature (1960), selalu menyumbangkan nilai positif bagi kemanusiaan. Itu karena anasir-anasir yang dicipta bertalian erat dengan penikmatan ragawi dan rohani manusia seperti olah rasa, cipta dan karsa. Lewat kelembutan dan kehalusannya, lanjut Hudson, sastra mampu membangkitkan emosi luhur sekaligus menjembatani sifat fitrah manusia yang cinta akan keindahan.

Ketika hendak berkomunikasi dengan pembaca, sastra membutuhkan sarana atau mediasi, yaitu bahasa. Singkatnya, sastra mengguratkan hasil pencarian imajinasi itu dalam rangkaian kata dan bahasa yang tertata amat indah. Maka, peran bahasa menurut Slamet Mulyana (1964), sangat vital dan tidak bisa dianggap sepele.

Pertanyaannya kemudian, apakah ada hubungan antara penguasaan bahasa, mutu bahasa, dan apresiasi seseorang terhadap karya sastra? Tentu saja ada korelasi sangat signifikan. Sebab, kedalaman dan penguasaan bahasa seseorang akan memberinya kemudahan untuk menangkap pesan, pengetahuan, hiburan, atau ancaman yang dibawa teks (termasuk sastra), termasuk kemudahan menyampaikan pengetahuan itu pada orang lain.

Maka, benar kata Seno Gumira Ajidarma (2007), bahasa itu menentukan corak berpikir tentang sesuatu, ekpresi imajinasi, dan pengetahuan seseorang. Singkatnya, bahasa adalah batas pengetahuan dan batas apresiasi budaya seseorang.

Fakta itu juga saya alami ketika menyimak Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) membacakan karya sastra maupun orasi budaya yang disampaikan setiap malam tengah bulan. Demikian juga ketika mendengar Mustofa W. Hasyim, Hamdy Salad, Indra Trenggono, Agus R. Sarjono, Beni Setia, dan sastrawan lainnya membaca karyanya. Para sastrawan dan penyair itu, karena penguasaan bahasa, mampu menangkap pesan teks--baik yang tersurat maupun tidak--secara apik, yang selanjutnya dikomunikasikan kepada audience sastra. Karena penguasaan bahasa pula, audience sekitar saya ada yang menangis terharu, gusar, atau hanya melongo (baca; tak tahu apa-apa).

Dari analisis itu, tepat pendapat Slamet Mulyana bahwa besar kecilnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra ditentukan penguasaan bahasa. Sayangnya, sistem pendidikan kita tidak menanamkan penguasaan keterampilan bahasa itu pada anak didik. Dalam kegiatan pembelajaran, guru lebih sering menekankan teori dan pengetahuan bahasa, daripada mengutamakan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia cenderung membawa siswa belajar tentang bahasa daripada belajar berbahasa, aspek kognitif lebih diutamakan daripada aspek psikomotorik.

Kurikulum pengajaran bahasa, tulis St. Kartono (2007), benar silih berganti, mulai dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, hingga 2006. Namun demikian, pendekatan pembelajaran bahasa yang mendasari kurikulum itu belum beranjak dari pendekatan struktural menuju pendekatan komunikatif. Belum lagi keterbatasan alokasi waktu, di mana untuk SMA hanya disediakan waktu empat jam pelajaran tiap minggu.

Bandingkan dengan pelajaran IPA, Matematika, Fisika dan ilmu-ilmu eksak lainnya. Anehnya, kurikulum itu dengan tegas mensyaratkan kenaikan kelas atau kelulusan dengan nilai bahasa Indonesia bukan merah.

Keterbatasan Bahasa

Problem pengajaran bahasa masih diperparah dengan kualitas bahasa Indonesia sendiri, ketika dipersandingkan dengan bahasa dunia lainnya. Bahasa kita (Indonesia) tidak mampu menangkap dan menerjemahkan semua letupan atau "ujaran" sastra. Fenomena ini dikeluhkan hampir semua sastrawan kita, salah satunya Otto Sukatno C.R. (2007).

Menurut Otto, lantaran sempitnya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia, sastrawan kita sering meminjam istilah bahasa asing. Akibatnya, produk sastra menjadi elitis karena maknanya hanya diketahui oleh orang-orang tertentu (yang paham bahasa lain). Produk sastra menjadi kehilangan pembacanya sehingga tidak banyak memberi kontribusi pada kehidupan manusia.

Keterbatasan bahasa kita, semakin terasa tatkala menerjemahkan karya sastra atau pemikiran bahasa lain (Inggris, Arab, Spanyol, Prancis, India dan sebagainya). Naskah asli misalnya hanya sekitar 100 lembar, tetapi begitu diterjemahkan menjadi 200 lembar atau lebih. Karena keterbatasan perbendaharaan kosakata pula, bahasa kita sering memenggal atau mendangkalkan rasa bahasa aslinya.

Ketika membaca dan mengapresiasikan karya-karya besar semacam Wordsworth, Mahabarata, Ramayana, dan Mary Shelley, mestinya hati kita akan takjub dan bergetar. Akan tetapi justru sebaliknya, karya besar itu terasa biasa-biasa saja dan tak mampu menggugah relung batin kita. Ini artinya, bahasa kita boros kata tetapi dangkal makna.

Selain aspek pengajaran, problem bahasa juga tidak lepas dari peran politik dan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, sering menempatkan bahasa sebagai komoditi kekuasaan yang sering dipolitisi. Orba dengan sistem sentralistik dan totaliter, mengharuskan keseragaman di setiap lini kehidupan, termasuk bahasa. Maka, dikeluarkanlah aturan baku penggunaan bahasa yang disebut dengan "Ejaan Yang Disempurnakan" (EYD).

Di satu sisi, adanya peraturan yang ketat terhadap masuknya berbagai kosakata asing bertujuan meneguhkan identitas kebangsaan kita. Tetapi di sisi lain, aturan itu justru menyempitkan ruang apresiasi bahasa terhadap teks-teks sastra asing.

Tampaknya, tidak ada pilihan lain bagi kita selain terus membenahi model pengajaran dan kualitas bahasa Indonesia. Pertama, pengajaran bahasa harus menjadi proses pembiasaan berbahasa yang baik dan benar.

Para guru harus menjadi teladan bagi anak didiknya dalam penguasaan keterampilan berbahasa. Sebab, kebiasaan berbahasa anak didik hanya dapat dibentuk dalam suasana disiplin para guru bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, para guru bahasa harus mempunyai kebiasaan membaca, terbuka dengan pemikiran baru, dan membiasakan menulis, sehingga merangsang siswa untuk melakukan hal yang sama. Singkatnya, para guru bahasa Indonesia tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi juga menempatkan diri sebagai pendidik yang membangun kebiasaan berbahasa para siswanya.

Kedua, adanya kebijakan pemerintah yang memberi kebebasan bagi para pakar bahasa untuk mengkaji dan meneliti unsur-unsur kebudayaan kita sehingga menemukan istilah-istilah, padanan kata atau kosakata yang bisa menerjemahkan berbagai simbol bahasa di dunia.

Jika bahasa kita tidak terus berbenah, dia tidak akan sanggup menerjemahkan simbol-simbol bahasa dunia, dan dengan demikian tidak akan menjadi alat komunikasi yang efektif. Hanya dengan perbendaharaan kosakata yang lengkap, bahasa kita dapat menangkap rasa bahasa lain atau paling tidak mendekati rasa bahasa aslinya. Semoga.

* Agus Wibowo, Pemerhati Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 September 2008

Saturday, September 27, 2008

Iklan Politik: Gambar yang Terbelenggu Kata

-- Wicaksono Adi*

ADA hal yang unik pada Harian Kompas edisi Selasa (9/9/2008), yakni munculnya lembar jaket separuh halaman vertikal di halaman pertama yang berisi iklan Partai Demokrat, bolak-balik. Potongan jaket separuh halaman itu merampas perhatian seluruh pembaca surat kabar ini.

Terpampang potret Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di bawah kibaran bendera Merah Putih dalam haribaan sejuk biru langit dan saputan putih awan gemawan. Di bawahnya, logo Partai Demokrat (PD).

Di bagian paling bawah ada angka 31 (sebagai nomor urut PD dalam Pemilu 2009). Lalu di baliknya terdapat testimoni beberapa orang dengan kalimat yang terasa datar, kaku, dan klise.

Penempatan iklan sebagai jaket di halaman pertama itu dapat dibilang sebagai langkah cukup spektakuler dalam media placement kepentingan politik. Itu menjadi bukti kepiawaian biro konsultan politik dalam mendemonstrasikan superioritas Susilo Bambang Yudhoyono dan PD sebagai pemasang iklan, di samping posisinya sebagai presiden yang memperoleh eksposur rutin di media massa hampir tiap hari.

Iklan politik semacam itu memang sudah bertebaran di media massa setelah reformasi. Bukan hanya iklan kampanye partai atau promosi individu, tetapi juga iklan biro konsultan itu sendiri.

Miskin kreasi

Gejala ini merupakan berkah bagi biro konsultan dan media massa. Ia pun membuktikan: di alam pasar politik terbuka era demokrasi modern, media massa adalah wahana mutlak bagi siapa pun yang ingin mencapai tujuan politik dengan menjangkau konstituen seluas-luasnya.

Akan tetapi, belanja iklan politik yang kian besar itu belum diiringi oleh kreativitas atau variasi bentuk yang segar. Keduanya, dana dan kreativitas, seperti berbanding terbalik. Iklan politik kita hari ini, baik di media massa, spanduk atau bendera partai (yang centang-perenang membuat udara sumpek itu) ternyata bentuknya tak jauh berbeda dengan papan propaganda zaman Orde Baru: slogan hambar atau political statement yang kaku dan membosankan.

Bahasa (verbal dan visual) telah menjadi begitu mekanis, nir-ekspresi, hampa, bahkan seakan lelah luar biasa karena harus menampung ekspresi-ekspresi politik yang kering, tetapi sarat ambisi. Setali tiga uang dengan penampilan gambar tokoh-tokoh politiknya yang kikuk, tidak natural, seperti sibuk menyembunyikan banyak kekurangan bahkan rahasia.

Pemahaman yang mengatakan bahwa pasar politik pada dasarnya adalah medan pertarungan citra, kini tinggal menjadi slogan. Faktanya, iklan politik kita hari ini belum berhasil memainkan fungsi sebagai pembangun citra atau pembedaan karakteristik antara satu partai dengan lainnya. Ia tak lebih dari sekadar papan pengumuman dalam bentuk teknologis.

Ini mengingatkan kita pada peran iklan pada perkembangan yang paling dini, di paruh akhir abad ke-19, yang hanya menjadi ekstensi dari berita: informasi dan penjelasan mengenai fungsi produk, harga, atau kualitas. Elemen-elemen (verbal dan visual) iklan tidak dibuat untuk menciptakan acuan lain (makna baru). Iklan adalah bentuk lain dari kronik sederhana dan cenderung menghindari pengayaan dalam tampilannya. Halnya berbeda dengan iklan pada tahap perkembangan berikutnya yang bertujuan menciptakan makna baru (identitas, personalitas bahkan fantasi) yang kadang terlepas dari produk yang diiklankan.

Hal bagus terlihat pada iklan ”Hidup Adalah Perbuatan” Soetrisno Bachir (SB) versi cetak maupun TV yang lebih berhasil menciptakan citra baru dan segar dari tokoh yang sebelumnya tak dikenal luas.

Visual, tetapi literer

Dapat dikatakan bahwa hampir seluruh iklan (komersial) TV kita hingga hari ini pada dasarnya bertumpu pada paradigma literer yang mengandaikan suatu elaborasi tekstual. Padahal, watak televisi sebagai media audio-visual menuntut suatu penyampaian pesan dalam bentuk rupawi dan tipografis.

Di luar negeri kita melihat, misalnya, beberapa iklan visual dari calon presiden kaum Republik, John McCain, yang justru menampilkan figur lawannya, Obama, bahkan artis seperti Paris Hilton atau Britney Spears. Sebuah eksekusi mediatik yang cerdas, karena efek atau refleksi yang didapatkan dari iklan visual semacam itu justru kian meneguhkan persona McCain.

Bagaimanapun tindakan menonton sangat berbeda dengan membaca. Dengan media cetak, orang menangkap sesuatu dengan lebih intens dan soliter. Sementara pada media audio dan visual, pencerapan terjadi dalam perubahan yang cepat; citra satu segera disusul citra dua dan seterusnya. Maka, bila iklan TV dibuat dengan pendekatan literer, penonton pun seperti berhadapan dengan diktat atau buku yang cenderung bertele-tele dan mubazir.

Iklan Soetrisno Bachir versi televisi tampaknya cukup berhasil keluar dari jebakan itu walau tentu belum ideal. Seluruh elemen iklan itu bertumpu pada paradigma visual yang diarahkan untuk menciptakan citra tokoh cerita melalui eksplorasi artistik secukupnya dan ditopang kesatuan yang kuat antara isi dan watak medianya. Orang dengan mudah menangkap pesan dalam nuansa citra elegan sekaligus populis si tokoh cerita ditambah permainan visual yang menghibur.

Sebuah iklan tidak mungkin menjangkau seluruh audiens yang memiliki karakteristik berbeda. Diperlukan berbagai ragam bentuk iklan tentang produk yang sama sesuai dengan tingkat ”kecerdasan” audiens.

Sayangnya, iklan politik kita umumnya masih seragam, dalam bentuk, gaya dan isinya. Hal itu diperparah oleh kenyataan rancunya cara pandang terhadap paradigma media yang digunakan, plus kemiskinan bahasa yang belum terbebaskan dari retorika linguistik Orde Baru yang kering dan kaku. Sementara sesungguhnya, iklan politik dapat turut mengembangkan kedewasaan kita dalam berpolitik. Baik subyek maupun obyeknya.

* Wicaksono Adi, Pengamat seni dan iklan, tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 September 2008

Utuy dan Sang Kuriang

-- Jejen Jaelani

DALAM esainya "Kakayaan Batin Ki Sunda, di Sagigireun Si Kabayan Aya Sang Kuriang", Utuy Tatang Sontani menyatakan bahwa salah satu pedoman hidup manusia Sunda yang selalu dinasihatkan orang tua kepada anak-anaknya adalah sing cageur jeung bageur atau kurang lebih saya terjemahkan "semoga sehat lahir batin dan berbudi baik".

Pedoman hidup ini dapat diartikan bahwa manusia Sunda harus ramah dan sopan, tidak jahat kepada orang lain, dan di dalam keadaan terdesak dapat mengkritik dan menertawakan diri sendiri. Di samping pedoman hidup untuk hidup sehat lahir batin dan berbudi baik, Utuy Tatang Sontani menyatakan bahwa harus ada sikap lain yang dimiliki manusia Sunda. Jika pedoman untuk hidup sehat lahir batin dan berbudi baik menggambarkan hidup yang tetap, hidup yang tidak lagi mengalami perubahan, harus ada sikap lain yang dimiliki manusia Sunda. Sikap ini diperlukan karena dalam hidup ada dunia yang tidak tetap. Dalam umur yang panjang ada zaman, ada tahun, ada bulan, ada hari, dan ada menit yang mendatangkan apa-apa dan minta dihadapi oleh sikap yang harus apa-apa oleh apa-apa. Manusia Sunda harus gesit, tegas, dan di dalam keadaan tertentu kadang dibutuhkan sikap berani memberontak atau melakukan sesuatu untuk perubahan.

Pandangan Utuy Tatang Sontani terhadap manusia Sunda yang gesit, tegas, dan di dalam keadaan tertentu berani memberontak atau melakukan sesuatu untuk perubahan tertuang dalam karya dramanya, "Sang Kuriang". Pada pandangan umum, Sang Kuriang sering dianggap sebagai manusia yang bejat akhlak. Tokoh ini ada kalanya dianggap sebagai pengejawantahan sifat buruk dan jahat. Utuy mengatakan bahwa mengukur tokoh ini harus dengan ukurannya sendiri seperti malam yang harus diukur dengan ukuran malam bukan dengan ukuran siang. Kebenaran yang ada di dalam diri Sang Kuriang harus diukur dengan ukurannya sendiri.

Sang Kuriang dalam drama Sang Kuriang ditampilkan sebagai seorang manusia yang selalu gelisah. Dalam drama ini, Sang Kuriang selalu mempertanyakan siapa ayahnya, mempertanyakan apakah benar Dayang Sumbi yang muda belia adalah ibunya, mempertanyakan apakah adil Si Tumang yang cacat, bisu, dan buruk rupa adalah ayahnya, mempertanyakan apakah adil Dayang Sumbi yang cantik dipetik oleh Si Tumang yang cacat, bisu, dan buruk rupa, serta mempertanyakan kebenaran dan kekuasaan itu milik siapa.

Sang Kuriang dalam drama ini adalah representasi pandangan Sontani terhadap manusia yang harus tidak sehat dan tidak baik, manusia yang harus apa-apa oleh apa-apa, dan manusia yang harus tidak pernah merasa puas terhadap segala yang dilihat dan dialaminya. Tokoh ini adalah tipe manusia yang siap menghadapi zaman, menghadapi tahun, bulan, hari, dan menit. Sang Kuriang adalah representasi manusia yang apa-apa oleh apa-apa, manusia yang tidak akan puas hanya dengan mendengar apa yang diucapkan orang lain, bertanya karena ada hal-hal yang harus dipertanyakan, berpikir karena ada yang harus dipikirkan, membunuh karena ada yang harus dibunuh (Utuy Tatang Sontani, 1957).

**

UTUY melihat Sang Kuriang sebagai manusia yang memegang kebenaran sesuai dengan ukurannya sendiri. Sang Kuriang adalah tipe manusia yang tidak tunduk pada konvensi umum. Ia adalah manusia yang akan selalu mempertanyakan kebenaran. Walaupun kebenaran yang ia pegang bertolak belakang dengan konvensi umum, ia akan tetap menjunjung kebenaran tersebut.

Sebelum membunuh Si Tumang dan meminang Dayang Sumbi, Sang Kuriang diceritakan sebagai orang yang lahir dari ibu yang tidak memiliki daya dan upaya. Hal ini kemudian dalam konvensi umum disebut sebagai takdir yang Mahakuasa. Namun, Sang Kuriang tidak demikian. Sang Kuriang mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Setelah bertanya kepada semua yang ada di luar dirinya mengenai siapa yang kuasa, ia tidak mendapatkan jawaban. Kemudian Sang Kuriang menemukan jawaban bahwa kekuasaan hanya ada dalam dirinya. Ia menemukan bahwa dirinyalah yang berkuasa.

Sang Kuriang adalah representasi manusia yang tidak pernah puas dengan segala yang ia alami. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Ia tidak akan menerima apa pun sesuai dengan konvensi umum; sesuatu yang menurut pandangan umum benar. Hal itu tentu belum tentu benar baginya.

Sang Kuriang menggugat sikap hidup Dayang Sumbi yang menganggap bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Dewata Raya. Ia juga tidak menerima bahwa Dayang Sumbi yang cantik dan membuatnya jatuh cinta pernah dipetik Si Tumang, makhluk jelek tanpa daksa. Ia mempertanyakan apakah adil Dayang Sumbi yang cantik dipetik Si Tumang yang tanpa daksa. Apakah yang dialami Dayang Sumbi harus dianggap sebagai keajaiban atau kebohongan? Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa.

Ia tidak yakin bahwa Si Tumang adalah ayahnya. Jika benar Si Tumang adalah ayahnya, ia akan merasa malu. Sang Kuriang terus mempertanyakan apakah benar Si Tumang adalah ayahnya. Ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Setelah tidak mendapatkan kebenaran dari orang lain karena semua orang membisu dan tidak tahu, Sang Kuriang bertanya kepada dirinya sendiri. Ia meyakini bahwa jawaban dari dirinya sendiri adalah jawaban satu-satunya. Ia bertanya kepada dirinya sendiri dan ia tidak tahu jawabannya. Kemudian Sang Kuriang menganggap bahwa ketidaktahuan adalah kebenaran satu-satunya.

Sang Kuriang membunuh Si Tumang dan meminang Dayang Sumbi karena ia menganggap wujud ayah dan ibu yang tidak menggambarkan keadilan. Apakah adil Dayang Sumbi yang cantik hamil oleh Si Tumang yang cacat dan buruk rupa? Apakah enak menerima takdir menjadi anak dari peristiwa yang tidak adil? Jika Sang Kuriang mengakui Dayang Sumbi sebagai ibu dan Si Tumang sebagai ayah, Sang Kuriang akan merasa disiksa oleh ketidakadilan.

Utuy menyatakan bahwa jika Sang Kuriang menerima Si Tumang sebagai ayah dan Dayang Sumbi sebagai ibu, Sang Kuriang akan merasa disiksa oleh ketidakadilan. Jalan satu-satunya untuk lepas dari siksaan tersebut adalah mengakui adanya kebenaran tentang adanya wujud ayah dan ibu. Wujud tersebut adanya di dalam diri Si Tumang dan Dayang Sumbi. Akan tetapi, Sang Kuriang bukanlah orang yang dapat menerima apa pun begitu saja. Ia adalah manusia yang memiliki nilai lain dan mempunyai pandangan lain sebagai gantinya. Ia memiliki "aku" yang berontak terhadap segala ketidakadilan. Dibunuhnya Si Tumang dapat dianggap sebagai dihilangkannya kenyataan yang menyiksa atau dihilangkannya ketidakadilan. Selain itu, dipinangnya Dayang Sumbi dapat dilihat sebagai niat akan dibangunnya hidup yang baru; hidup baru yang di dalamnya terdapat "aku" yang tenteram karena tidak akan mengalami penyiksaan lagi.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Utuy Tatang Sontani melihat Sang Kuriang sebagai manusia yang menghancurkan untuk membangun. Sang Kuriang memiliki pandangan hidup menghancurkan ketidakadilan untuk membangun hidup yang lebih baik dan adil. Semua ini dilakukan dengan persiapan bekal nilai lain untuk membangun kehidupan yang baru.

Adapun kegagalan Sang Kuriang dalam membangun hidup yang baru, yaitu menikahi Dayang Sumbi, berada di luar kekuasaan manusia. Jika diukur dengan ukuran manusia, Sang Kuriang adalah seorang revolusioner. Jalan pikirannya dapat dianggap sebagai jalan pikiran manusia merdeka -- seorang manusia berjiwa besar; manusia yang telah menyediakan nilai lain sebagai modal untuk mencapai cita-cita dan membangun hidup yang baru.

* Jejen Jaelani, pemerhati sastra.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 September 2008

Thursday, September 25, 2008

Sastra Indonesia Alami Intervensi Intelektual

[JAKARTA] Penulis novel laris Laskar Pelangi Andrea Hirata mengaku bukan seorang sastrawan. Dia lebih suka menulis yang dapat menggerakkan pembaca dan karyanya yang memiliki artikulasi yang luas. Kecenderungan sastra Indonesia, umumnya bukan hanya dibuat oleh para sastrawan. Itulah sebabnya, sastra Indonesia bisa disebut mengalami intervensi intelektual.

"Sebenarnya, tidak semua karya sastra memiliki adaptasi yang sesuai. Saya ingin punya karya yang berbunyi pada media-media lain. Alasannya, karena buku saja tidak berdaya di Indonesia. Coba bayangkan Laskar Pelangi dianggap fenomenal, namun satu juta eksemplar itu tidak ada apa-apanya, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa," kata Andrea Hirata kepada SP di Jakarta pada acara Syukuran 25 tahun Penerbit Mizan, baru-baru ini.

Laskar Pelangi akhirnya, diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Film yang disutradarai oleh Riri Reza ini merupakan diproduksi bersama, antara Mizan Productions dan Miles Films. Andrea menambahkan, berbeda dengan film yang terbilang sukses, dalam sebulan bisa mencapai enam juta orang yang menyaksikan. Dengan demikian, ada kemungkinan atau potensi untuk masuk pada acara televisi yang mencakup semakin luas, yaitu 150 juta orang penikmat film. Hal itulah yang menjadi obsesi-obsesi dari sosok Andrea.

Namun di balik itu semua, papar Andrea, dunia sastra Indonesia akan diintervensi penuh oleh kaum intelektual. Terbukti dengan kultur pembaca sendiri yang sudah berubah. Jadi, masyarakat Indonesia sudah tidak tertarik lagi, membaca buku-buku sastra yang substansinya tekstual, misalnya menggambarkan matahari terbenam empat halaman dan segala macam lainnya.

Seperti halnya di negara Amerika, buku-buku sastra tidak ditulis oleh sastrawan dan hebatnya mereka selalu menang pada kontekstualnya yang kuat. Jadi masa depan sastra Indonesia akan diwarnai, masuknya para intelektual non sastra.

"Pembaca lebih tertarik pada substansi, bukan pada tekstual lagi. Oleh karena itu, apabila menulis sastra di Indonesia dengan gaya-gaya puisi dan penyair, akan sulit nantinya," tutur Andrea.

Sementara karya seni, ungkap Andrea, sifatnya paradoks. Buku atau film yang bermutu jarang laku. Jadinya sulit untuk diprediksi. Namun, hal itulah yang membuat saya bekerja sama dengan Riri Riza dan Mira Lesmana, yang berada di posisi tengah. [HDS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 25 September 2008