-- Theresia Purbandini
Perjalanan hidup Danarto kaya dengan pengalaman di dalam dan di luar negeri. Selain sebagai sastrawan, ia dikenal juga sebagai pelukis, yang memang ditekuni sejak masa muda. Sebagai pelukis ia pernah mengadakan pameran di beberapa kota. Sebagai sastrawan ia juga pernah mengikuti program penulisan di luar negeri di antaranya di Kyoto, Jepang.
Wayan Sunarta, seorang penulis puisi dan cerpen asal Bali mengagumi karya-karya Danarto dan menganggap karya-karyanya fenomenal dalam kesusastraan Indonesia. Melalui karya Godlob, Wayan menganggap bahwa Danarto telah mendobrak genre cerpen di Indonesia pada tahun 70-an hingga 80-an dengan penyajian fiksinya yang mengangkat persoalan kehidupan sosial sehari-hari dengan bumbu sufisme Jawa.
Akmal Naseri Basral, seorang cerpenis, novelis dan juga wartawan yang telah menyelesaikan buku-buku: Naga Bonar Jadi 2, Imperia dan kumpulan cerpen Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku, amat mengagumi karya Danarto sejak duduk di bangku SMU. “Karya Danarto amat dashyat layaknya science-fiction, menceritakan pertempuran antara kebaikan dan kejahatan yang selalu dibungkus dalam nilai-nilai Islami,“ kata Akmal.
Gaya menulis seseorang umumnya menggambarkan pengembaraan semasa hidupnya. Hal ini juga diyakini oleh kedua sastrawan ini. Wayan mengatakan, ”Segala sesuatu hal yang telah dipelajari, diyakini, berdasarkan tingkat intelegensia, akan muncul pada setiap torehan karya tulisnya. Juga ilmu gaib yang mistik secara tak sadar dibawa oleh Danarto ke dalam tulisannya. Karena melalui Godlob bisa dilihat gambaran pengembaraan batinnya menuju Tuhan,” ujarnya.
Akmal juga berpendapat kurang lebih sama. “Setiap tulisan akan mencirikan sidik jari si pengarangnya. Tapi mungkin hal ini hanya bisa disadari oleh pembaca tingkat tinggi. Karena dalam karya-karya Danarto, mungkin pembaca awam tak bisa mencapai daya khayal tinggi yang diungkapkan sebenarnya merupakan biografi si pengarang, bukan hanya sekadar imajinasi biasa,” kata Akmal.
Lauk dari Langit
Salah satu cerpen apik Danarto berjudul Lauk dari Langit yang diambil dari buku yang berjudul Kaca Piring, menceritakan satu keluarga petani miskin yang tinggal di atas bukit tak bertuan. Tiba-tiba mereka mendapat karunia hujan ikan dari langit. Begitu banyaknya, sampai-sampai mereka kebingungan hendak diapakan ikan-ikan tersebut. Saat mereka hendak menjual ikan-ikan yang banyak itu ke pasar, ternyata mereka begitu kaget saat melihat di bibir bukit bahwa kota telah musnah dan mayat-mayat telah bergelimpangan.
Kisah ini memberikan kesan mendalam terhadap Akmal. Diakuinya, cara pandang Danarto dalam menyusun rentetan alur ceritanya mengungkapkan kadar intelegensia si pengarang yang tinggi. Melalui penataan etalase (judul) yang menarik dan acapkali cenderung tak lazim, juga diisi dengan cerita yang seakan-akan membawa pembaca ke dimensi lain dan makin terasah hebat ketika dapat menarik relevansi dengan dunia ini ke dalam tulisannya. Seperti cerpen Lauk dari Langit di atas yang menggambarkan bencana tsunami yang menelan banyak korban dan baru diungkapkan di akhir cerita.
Meski Danarto juga menulis novel, namun publik pembaca sastra Indonesia lebih mengenalnya sebagai cerpenis. Ia telah menggeluti dunia penulisan fiksi sejak masih remaja. Cerpen-cerpennya dianggap oleh Wayan sebagai genre sastra surealis-sufistik yang menjadi masterpiece di Indonesia. Banyak pula pengarang yang mencoba mengekor gaya penulisan Danarto, tapi menurut Wayan tak sampai dikenang dan meninggalkan kesan seperti dilakukan Danarto.
Sementara Akmal menyebutkan gaya bercerita Danarto sebagai realisme magis yang popular lewat Godlob dan Adam Ma’rifat. Belakangan cerpen-cerpen Danarto dirasa Akmal lebih kental unsur realismenya dibanding magis-nya. Namun secara keseluruhan menurut Akmal, pengaruh yang dibawa Danarto hingga kini masih terasa hingga tanpa sadar jadi arahan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku.
Kini lebih membumi
Seperti cerpen yang berjudul Alhamdulilah Masih Ada Dangdut dan Mie Instant. Dengan menarik dan jenaka, Danarto mendongeng tentang perjalanan panjang kehidupan seorang Slamet yang mengalami jatuh bangun sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga era reformasi. Melalui tokoh jelata Slamet, Danarto menjadikan cerpen ini semacam catatan dan kritik kepada pemerintah yang kerap menindas rakyatnya dengan mengatasnamakan kepentingan negara.
Diakui oleh Akmal dan Wayan pula, bahwa dalam konstelasi perkembangan cerpen di Indonesia, pergeseran konteks yang digarap Danarto berkembang menjadi realitas yang lebih manusiawi, membumi. Danarto tak lagi berbicara tentang keambiguan kehidupan, tapi lebih dekat pada masalah-masalah sosial yang menghinggapi manusia-manusia urban.
Meski begitu gaya penulisan Danarto yang telah melalui proses waktu dianggap keduanya sebagai konsep pembelajaran dalam mencari jati dirinya yang sesungguhnya di dalam sufisme Jawa. Jadi agak mustahil bila menimbang kemungkinan adanya pengaruh Gabriel Garcia Marquez dari Kolombia atau Ben Okri dari Nigeria yang juga menganut paham realisme magis. Menurut Akmal, meskipun sealiran, namun gaya penulisan masing-masing memiliki daya tarik tersendiri.
Mengenai muatan Islam dalam karya Danarto, novelis lokal seperti Muhidin M. Dahlan pernah diganjar somasi pada 2005 karena novelnya Adam dan Hawa dianggap menyentuh kesensitifan umat beragama. Dari sisi ini, menurut Akmal, Danarto paling berhasil membuka lebih luas koridor prosa dengan segala peluang tematik dan gayanya di peta kesusastraan Indonesia.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 7 September 2008
No comments:
Post a Comment