-- Theresia Purbandini
TAK banyak penyair Indonesia seperti Zawawi Imron, tetap memilih untuk berdomisili di desa kelahiran. Dalam hal ini, desa dengan alam yang kaya, jadi lebih penting lagi bagi Zawawi.
Zawawi Imron yang lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura pada 1945. Sejak 1970-an, di tengah riuhnya panorama perkotaan memasuki puisi-puisi para penyair 1980-an, Zawawi muncul dengan kedesaannya.
Menurut Raudal T Banua, masa produktif Zawawi, 1970-an -- 1980-an, menyangkut kekuatan real yang disebabkan adanya kekuasaan pemerintahan yang massive, dan coba didobrak oleh persoalan sufistik dan idiom-idiom realistik Maduranya yang kental.
Mengurai tema ketuhanan, kemanusiaan hingga persoalan sosial politik yang kompleks, menjadi eksistensi Zawawi yang tidak stagnan. “Karya Zawawi dalam Bulan Tertusuk Lalang jadi bukti pencarian pergulatan Aku dengan bahasa yang transenden, melalui pendekatan sehari-hari; bagaimana orang membicarakan Tuhan tidak dengan idiom-idom dari kitab. Selain itu, ada pula yang mengangkat tema sosial dan kemanusiaan yang cenderung tidak surealis,” ungkap Raudal.
Mengurai tema-tema yang jadi amatan Zawawi, Joko Pinurbo mengungkapkan, “Zawawi banyak menggali nilai-nilai religiusitas tanpa mengumbar jargon-jargon tentang Tuhan dan agama. Tanpa menggunakan kata ganti Mu, dia mampu melebur Tuhan dalam berbagai imaji alam dengan gaya penulisan sajaknya yang liris dan kontemplatif.”
Selain itu, Zawawi dianggap Joko juga sebagai penyair yang bernapas panjang , produktif, dengan intensitas menulis karya yang memiliki nada riang dan berbagai anekdot yang mampu menggambarkan sketsa teman-teman sesama seniman.
Zawawi, dikatakan oleh Raudal mampu mengajak pembaca memasuki dimensi lain ketika menyelami hasil-hasil karyanya seperti Celurit Emas, Madura Akulah Lautmu, Bulan Tertusuk Lalang, dan sebagainya. Di mana idiom alam seperti bulan dan pantai tidak dirumuskan dalam artian harafiah, melainkan menawarkan intrepretasi secara imajinatif.
Dari pesantren
Meskipun Zawawi hanya mendapatkan pendidikan informal melalui pesantren di desanya, tapi hal itu tak menyurutkan jejak langkah keintelektualitasan mengarangnya. Bahkan, di pesantrennya, Zawawi mendapat predikat sebagai seorang Kiai.
Menurut Joko, meskipun pendidikan akademis tak boleh dianggap sebelah mata, namun keberhasilan seorang penyair memang tergantung sejauh mana ia mau belajar dan terus menggali ilmunya. “Zawawi menggunakan imaji pengaruh alam lingkungannya. Meskipun ia tidak berpendidikan formal tinggi, tapi ilmunya tentang kehidupan tak kalah kaya dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Justru banyak sarjana yang karyanya bahkan tidak sehebat dan setinggi gelar kesarjanaannya,” kata Joko.
Meskipun pendidikan merupakan faktor penting bagi seorang penyair, tapi melihat keberhasilan Zawawi, bagi Raudal, hal ini bisa dikompromikan. ”Sebagian besar pengarang ataupun penyair memiliki ruang hampa, yang merupakan suatu ruang intelektual yang dapat mengindahkan bakat-bakat alamnya,” tutur Raudal.
Ketertarikan Zawawi pada alam sekitar, dengan cair dituangkan ke dalam bentuk syair-syairnya dalam batas dimensi luas, yang berkorelasi dengan makna denotatif dalam karyanya. “Seperti pohon lontar, karapan sapi dan aksesoris Madura lainnya, ia tuangkan dalam prespektif sebagai penyair yang memilki pengalaman obyektif tentang kampung halaman,” ungkap Raudal.
Meskipun Zawawi juga pernah menulis tentang desa lain selain desa kelahirannya, namun suasana makna alam desa Batang tetap mengental di setiap karyanya. Tanpa disadarinya, menurut Raudal, desa kelahirannya telah membius Zawawi untuk terus disuntikkan ke dalam setiap lirik puisi yang diciptakannya.
Tapi tak ada gading yang tak retak. Begitupun seorang penyair yang berotak cemerlang dengan imaji yang kaya, juga tak luput dari kekurangan. Diakui oleh Raudal, meskipun energi produktif Zawawi begitu tinggi, tetapi ada saja sajak-sajak yang dibuat terasa cair oleh Raudal. Seperti dalam buku catatan perjalanan di Belanda, sebagai hasil sublimasi Zawawi dalam 10 hari perjalanan ke Belanda.
Kikuk idiom perkotaan
Sementara Joko menguraikan, persekutuan Zawawi dengan alam lingkungannya, membuatnya Zawawi ingin menumpahkan segala macam cerita dan kejadian yang dilihatnya. “Sepertinya dia hanya mengungkapkan keterkejutan budaya yang ia rasakan, dan saya kira energi terbaiknya telah dia tumpahkan di buku Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Airmata, dan Celurit Emas.”
Ditambahkan Joko, “Zawawi tampak kikuk ketika harus menyair dengan idiom-idiom perkotaan. Dengan kata lain, dia memang paling baik menjadi penyair alam, dengan imaji-imaji alam daratan yang eksotis dengan berbagai makna sarat empati.”
Daya tarik melalui penginderaan idiom-idom Madura yang kental dalam setiap torehan puisi religiusnya, menurut Raudal, cukup menularkan pengaruh bagi Acep Zamzam Noor dan penyair muda Jawa Timur lainnya. “Bedanya Zawawi dengan penyair muda Jawa Timur lainnya, Zawawi lebih surealis jernih, yang lahir dari pengkristalisasian yang jelas, sedangkan mereka yang juga surealis namun ditimpa aplikasi ‘gelap’ sehingga penghayatannya dirasa kurang,” papar Raudal.
Sedangkan bagi Joko, pengaruh Zawawi bagi penyair yang lebih muda tampaknya tidak terlalu kelihatan. “Saya malah melihat tidak banyak, bahkan langka, penyair yang mampu mengolah dan menggali lokalitas dengan baik dan menarik seperti Zawawi,” tutur Joko.
Dalam dunia penyair, Zawawi ditempatkan oleh Joko sebagai penyair yang membahasakan puisinya plastis, tidak verbalistis, dengan bahasa perasaan yang telah mengendap. "Dia merupakan penyair kampung yang mutu sajaknya tidak kampungan, karena memikat dan khas dalam imaji alam lokal,” ungkap Joko.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008
No comments:
Post a Comment