Sunday, September 14, 2008

Sosok: Dari "Terompet Masjarakat" ke Medayu Agung

-- Nina Susilo*

Buku adalah sumber pengetahuan. Kalimat itu dipegang kuat Oei Hiem Hwie, pengumpul buku yang belajar tiada henti. Tidak hanya buku, koran dan majalah pun dia kumpulkan dengan rapi.

Oei Hiem Hwie (KOMPAS/NASRU ALAM AZIZ/Kompas Images)

Sejak remaja, Oei Hiem Hwie yang tumbuh besar di Malang, Jawa Timur, senang membaca dan mengumpulkan buku. Semua koran, majalah, dan buku yang dibeli ayah atau dimiliki kakeknya, tanpa disuruh, dia simpan rapi. Bahkan uang jajan juga dia gunakan untuk membeli buku, teks pidato para tokoh politik, atau majalah.

Sekarang, tidak kurang dari 25.000 koleksi Oei itu tersimpan di perpustakaan di bawah Yayasan Medayu Agung Surabaya. Koleksinya terutama buku-buku ilmu sosial dan sejarah, kliping dari media cetak, dan dokumentasi foto. Buku asli Mein Kampf karya Hitler, misalnya—yang sudah banyak dimusnahkan—menjadi salah satu koleksinya.

Oei tak menikmati sendiri semua koleksi itu. Akan tetapi, setiap orang bisa memanfaatkan koleksi dan mencari data di perpustakaan tersebut. Dengan koleksi itu, Oei berharap setidaknya bisa membantu membangun karakter masyarakat dan mengembangkan budaya riset.

”Buku-buku ini adalah senjata untuk meluruskan sejarah, setelah diputarbalikkan Orde Baru,” tutur Oei.

Cita-citanya sederhana. Ia ingin memiliki gedung perpustakaan besar, lengkap dengan ruang diskusi dan terletak di lokasi yang strategis.

Sekarang ini, gedung perpustakaan yang dipakainya berupa rumah berukuran sekitar 10 meter x 10 meter, berlantai dua, dan terletak di pelosok kawasan Surabaya Selatan, Jalan Medayu Selatan IV.

Lampu di perpustakaan ini dinyalakan apabila diperlukan. Pendingin ruangan yang merupakan sumbangan dari Konsul Jenderal Amerika Serikat setelah berkunjung ke perpustakaan itu justru terpaksa menganggur demi menghemat energi.

Biaya pemeliharaan perpustakaan dan buku-buku koleksinya, serta gaji enam karyawan, setidaknya mencapai Rp 10 juta setiap bulan. Sumbangan dari para donatur hanya beberapa juta rupiah. Oei pun tidak segan merogoh kocek sendiri untuk menutup biaya yang diperlukan.

Jadi wartawan

Setamat SMA, Oei mulai mengikuti kursus jurnalistik jarak jauh dari Oesaha Modern di Bandung dan Pro Patria Yogyakarta. Kursus stenografi dan kursus jurnalistik lisan di Koran Terompet Masjarakat, salah satu harian terkemuka di Surabaya, juga dilakoni. Di bawah bimbingan Pemimpin Redaksi Terompet Masjarakat Mana Adinda dan Amak Yunus, Oei belajar menjadi wartawan.

Dari kursus itu, datanglah tawaran untuk menjadi pembantu wartawan di Terompet Masjarakat yang berkantor di Gedung Brantas, Jalan Pahlawan, Surabaya. Beberapa tahun di Surabaya, Oei kemudian ditugaskan menjadi wartawan di Malang.

Menjadi wartawan sangat menyenangkan bagi Oei. Sebab, buku, majalah, dan koran menjadi lebih mudah dia peroleh. Koleksinya bertambah dengan cepat. Namun, perubahan politik setelah Gerakan 30 September 1965 membalikkan semuanya.

Terompet Masjarakat yang dianggap pro-Soekarno diberedel. Pemiliknya, Goie Poo An, ditangkap, kemudian dibunuh. Tidak terkecuali Oei Hiem Hwie. Dia ditangkap tentara dari Kodim Malang. Koran serta koleksi buku di rumahnya di Jalan Klojen Kidul, Malang (sekarang Jalan Arismunandar) dirampas. Hanya sebagian koleksi Oei yang sempat diselamatkan saudara-saudaranya.

Petualangan dari penjara ke penjara pun dimulainya. Oei mulai menginap di Kamp Batu selama setahun, kemudian dia dipindahkan ke LP Lowokwaru, Malang, lalu ke Penjara Koblen, dan Penjara Kalisosok, Surabaya. Pada tahun 1970, tujuh hari setelah Bung Karno meninggal, Oei dibawa ke Nusakambangan dan beberapa bulan kemudian ia dipindahkan lagi ke Pulau Buru.

Membantu Pramoedya

Di Pulau Buru, Oei bertemu dengan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kebersamaan dengan Pram selama di Pulau Buru sangat berkesan bagi Oei. Dia mengingat Pram sebagai sosok yang memang sangat tekun menulis.

Novel tetralogi Pram, yang diawali dengan Bumi Manusia, juga sangat berarti untuk Oei. Sebab, dia ikut membantu Pram dalam mencari referensi dalam penulisan novel sejarah itu. Bahkan, catatan berisi tulisan tangan Pram serta draf pertama Bumi Manusia ada di Perpustakaan Medayu Agung. Tidak hanya itu, dua jilid draf Ensiklopedi Citrawi Indonesia juga tersimpan rapi di perpustakaan ini.

Semua catatan berharga itu, menurut Oei, pernah dia kembalikan kepada Pram. Namun, Pram justru meminta Oei tetap menyimpannya. Pram khawatir semua catatan itu bisa musnah apabila disimpan di rumahnya. Kekhawatiran Pram itu memang menjadi kenyataan. Untunglah, Oei menuruti permintaan Pram sehingga selamatlah catatan itu.

Lepas dari Pulau Buru tahun 1978, Oei kembali ke rumahnya di Malang. Sekitar 50 hari sebelum Oei bebas, ibu kandungnya meninggal. Sementara itu, banyak buku dan koleksinya hilang. Sisa koleksinya tersebar di tempat sanak keluarga dan teman. Karena tidak terawat, banyak koleksi Oei yang sudah rusak dimakan rayap.

”Buku dan koleksi koran saya banyak yang hilang. Sayang sekali, sebab itu penting sebagai bahan menulis sejarah Indonesia modern,” katanya.

Bukan hanya koleksi buku dan koran yang terampas, Oei juga nyaris kehilangan kesempatan menghidupi dirinya sendiri selepas dari Pulau Buru. Kode ET (eks tapol) di nomor kartu identitasnya membuat tiada seorang pun mau menerima Oei bekerja, kecuali Direktur PT Gunung Agung, H Masagung.

Oei bekerja sebagai sekretaris pribadi H Masagung. Ia lalu dipercaya mengelola usaha Gunung Agung di Surabaya. Sepanjang bekerja pada Masagung, Oei kembali menambah koleksi bukunya. ”H Masagung membolehkan saya memilih buku-buku untuk dikoleksi,” kata Oei mengenang.

Pada 1989, seorang warga negara Australia meminta Oei menjual semua koleksinya seharga Rp 1 miliar. Kendati nyaris tidak mampu memelihara koleksi yang semakin banyak, tetapi Oei tidak rela membiarkan hartanya itu dibawa ke luar negeri.

Saat ini, dalam balutan tubuh yang tidak lagi muda, Oei tetap berkonsentrasi pada sejarah dan budaya. Dia bahkan menantang anak-anak muda untuk mendalami kedua bidang itu. Data, baik dalam buku maupun media cetak lain, menjadi andalan siapa pun yang berminat untuk mengetahui sejarah bangsa. Tentunya, tidak untuk sekadar tahu, tetapi untuk menghindari pengulangan sejarah yang tidak menguntungkan di negeri ini. (LAM/HEI)


BIODATA

Nama: Oei Hiem Hwie

Lahir: di Malang, 24 November 1935

Istri: Sri Widiati (50)

Anak:

- Adi Sandika (24)

- Yudi Sandika (23)

Pendidikan:

- SD-SMA Taman Harapan Malang

- Universitas Res Publica Surabaya (kini Universitas Surabaya) Jurusan Publisistik

Sumber: Kompas, Sabtu, 13 September 2008

1 comment:

Unknown said...

semoga opa selalu diberi rezeki yg melimpah
amin.
koleksi korannya lokal atau nasional ?
pgn kesini.