-- Arie MP Tamba
akan berdosa membelah ketupat ini
beras-beras kasih, beras-beras rindu
telah bersetubuh dalam rimba sanubari
hingga alir sungai dari bukit azali
akan sampai ke muara
ketupat ini akan bisa dibelah
tapi tak dengan pisau dunia
(Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang, Balai Pustaka, 1982)
Dalam minggu ini, pemaknaan dari puisi Ketupat di atas boleh jadi akan lebih mudah dicerna. Lebaran tiba, ketupat di rumah-rumah. Ketupat adalah bahan makanan berbahan beras yang sengaja dibentuk setengah bujursangkar, dan kemudian dimasak hingga lunak. Untuk menikmatinya, ketupat dibelah-belah, dan daun-daun pembungkusnya disingkirkan. Lalu, belahan-belahan ketupat tersebut ditaruh di piring, disiram dengan kuah gulai daging atau ayam. Ketupat pun siap dimakan dengan rasa nikmat.
Di Indonesia, secara khusus, ketupat adalah makanan khas yang jadi perlambang tibanya hari besar Lebaran umat Islam. Bagi suku-suku yang mempunyai tradisi kuliner cukup kaya, seperti Minang, Jawa, dan Sunda, masakan ketupat juga dicapur dengan kerecek, telur, kerupuk, dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Tapi, bagi penyair Zawawi Imron, ketupat ini ternyata bukan saja makanan yang enak dan mengesankan; juga mampu mengusung beragam asosiasi pemaknaan yang inspiratif. Sebab, ketupat adalah beras-beras kasih, beras-beras rindu, (kepada Sang Pencipta?) – hingga tidak adil rasanya bila sekadar membelahnya, dalam sebuah momen penting yang dinanti-nantikan dengan segenap kesadaran dan ucapan syukur. Yakni, dalam sebuah hari khusus bagi umat Islam: hari kemenangan melawan ’keburukan’ hari kemarin.
Dan kalaupun ketupat itu harus dibelah, karena untuk memakannya memang harus dibelah, ketupat ini akan bisa dibelah, tidak dengan sembarang pisau. tapi tak dengan pisau dunia. Melainkan oleh sebuah pisau khusus, yang datangnya tidak dari dunia ini. Itulah pisau pertobatan seorang manusia di hari Lebaran. Sebuah kualifikasi moral dan kemanusiaan yang telah mendapatkan penyucian, tidak terukur oleh manusia, karena sifatnya ilahiah.
Di sini, ketupat yang tampak remeh sebagai makanan atau jajanan itu, bahkan biasa ditemukan dan diperjualbelikan di pinggir jalan kota-kota besar Indonesia – juga perlambang sebuah perayaan hari besar – telah mendapatkan pengayaan makna religiusitas yang luar biasa, karena kepiawaian Zawawi menyusunnya di dalam metafora: beras-beras kasih, beras-beras rindu.
Sebuah lapisan pemaknaan baru dikuakkan. Religiusitas dipertebal bersama asiosiasi pemaknaan tanpa menyangkut-nyangkutkan teks dengan (mengusung) istilah Tuhan atau agama. Bersama Ketupat, Zawawi membuat persoalan religiusitas terasa cair, akrab, bahkan sederhana dalam keseharian, tapi memiliki bobot makna universal.
Kemampuan Zawawi seperti inilah, yang membuatnya sebagai penyair Indonesia 1980-an mendapatkan perhatian khusus dari penyair dan kritikus sastra Soebagio Sastrowardoyo. Masa itu, Zawawi bukanlah seorang penyair yang produktif menyiarkan puisi-puisinya melalui koran atau majalah sastra. Namanya pun terbilang jarang mengapung ke permukaan dunia perpuisian Indonesia, yang masa itu ’didominasi’ Jakarta.
Sementara, Zawawi adalah seorang penyair ’desa’, dari Madura. Hingga, ketika Soebagio Sastrowardoyo memuji-muji Zawawi di sebuah forum sastra Pekan Puisi 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, berbagai tanggapan kurang puas pun meledak di koran-koran.
Kepada para penanggap itu, Soebagio tidak secara reaktif mengeluarkan pernyataan pembelaan terhadap Zawawi. Di samping mengemukakan kembali teori umum pembacaan: tentang otoritas pembaca yang mutlak dalam menilai atau membesar-besarkan karya sastra yang disukainya, sebagaimana seseorang menyukai pacar yang akan diterima keistimewaan maupun kekurangannya – dengan cukup meyakinkan Soebagio (1989) membuat makalah penelitian atas karya-karya Zawawi yang terkumpul dalam buku Bulan Tertusuk Lalang (1982) dan Nenekmoyangku Air Mata (1985).
Zawawi bersama Kriapur, telah memperlihatkan pengekangan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap hidup. Itulah antara lain pendapat Soebagio di awal makalahnya. Pengekangan diri itu, terbayang pada pemilihan kata dan ungkapan perbandingan yang pekat dengan kandungan pikiran yang matang dan dipertimbangkan.
Kiasan-kiasan dan lambang-lambang yang meramu bahan-bahan dari daerah hidupnya yang keras di Pulau Madura, menjadi kerangka penglihatan Zawawi yang konkret terhadap nasib yang tak menentu. Bersamaan dengan itu, Zawawi telah sanggup memberi jarak terhadap dirinya sendiri. Ia mampu mengadakan self reflection yang menghasilkan gambaran obyektif dan tanpa pamrih.
Di sinilah, sikap modern dalam kesusastraan menjadi identik dengan sikap kemanusiaan yang dewasa dan matang, kata Soebagio. Di mana, di dalam kerja sastra, penyair lantas bisa tertawa dan mencemooh dirinya sendiri, dengan menerima ironi dan paradoks dalam hidup sebagai hal yang wajar.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 28 September 2008
No comments:
Post a Comment