-- Mawar Kusuma
SUMINTO A Sayuti menyebut pukul 14.00 di bulan puasa adalah jam mengantuk untuk belajar. Materi kuliah yang dibawakan, Selasa (23/9), pun bukan mata ajaran menarik, Teori Sastra. Bergaya santai disertai guyonan segar, tak satu mahasiswanya pun yang mengantuk. Mata kuliah yang dia bawakan dinanti, bahkan memotivasi mahasiswa untuk mengapresiasi seni tak hanya mandek di tataran teori.
Suminto menerangkan teori genre sebagai kode komunikasi. Tak hanya membatasi diri pada pembelajaran teori, ia membawa anak didiknya berpetualang di dunia sastra. Aneka kutipan puisi dari Amir Hamzah, WS Rendra, hingga Linus Suryadi mengalir darinya.
Tak sedikit di antara mahasiswa yang diajar Suminto lalu bereksperimen membuat karya seni lewat sastra, puisi, teater, dan musik. ”Teori sastra tidak untuk dimuliakan, tetapi diterapkan. Jangan mendewakan teori,” ungkap guru besar Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini saat membuka kuliah.
Diajar seorang penyair agaknya merupakan keasyikan sendiri. Tak heran, para mahasiswa tak rela jika Suminto diajukan sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan Rektor UNY.
”Ketika Suminto menjadi dekan, kami jarang dapat kuliah langsung karena kesibukannya. Dia dekat dengan mahasiswa, tak segan memberi masukan dan kritik keras kepada mahasiswa,” kata Reni Trisnawati, mahasiswa semester tujuh Jurusan Sastra Indonesia.
Sebagai seniman dan akademisi, Suminto mengawinkan kebebasan berekspresi dan teori keilmuan dalam irama pendidikan yang membebaskan. Kecintaannya pada seni, antara lain, dijembatani dengan menempati ruang kerja bersebelahan dengan laboratorium karawitan. Setiap hari ia bekerja diiringi gamelan Jawa.
Ia termasuk segelintir dari penyair yang masih menekuni dunia akademisi. Padahal, pada era 1960-1970-an, penyair sempat marak bermunculan dari kalangan akademisi. Nama sastrawan besar seperti Umar Kayam yang juga sosiolog, Kuntowijoyo yang berprofesi sebagai sejarawan, hingga Bakdi Soemanto pernah menghidupkan jagat kepenyairan Yogyakarta.
Kehadiran penyair dari kampus sanggup bersinergi dengan penyair otodidak seperti Emha Ainun Nadjib dan Imam Budi Santosa. Kemesraan hubungan penyair dari lingkungan akademisi dan otodidak ini, sayangnya, tak berjalan kekal.
Kata Suminto, penyair akademisi cenderung memasuki ranah spesialisasi dengan fokus pada wilayah sastra atau malah berhenti berkarya untuk menjadi ilmuwan. ”Penyair yang bertahan di wilayah penciptaan dan pengamatan semakin jarang,” keluhnya.
Bagi Suminto, tiap zaman mempunyai semangat dan tuntutan berbeda. Penyair akademisi maupun seniman hanya dipisahkan ruang karya, tetapi mereka tetap berada pada wilayah seni yang sama. Profesi akademisi yang terikat logika berpikir sistematik bukan halangan untuk berkarya di ranah puisi yang menonjolkan segi pembebasan diri.
Kodrat sastra Indonesia, lanjut Suminto, adalah sastra koran dan majalah yang menjadi media utama sosialisasi. Komunitas puisi sempat marak di Yogya dengan tradisi pengadilan puisi dari rumah ke rumah untuk saling menguliti dan mengkritik hingga 1980-an.
”Semangat oralitas puisi menjadi tidak sesemarak dulu. Penyair lebih memilih soliter dengan tersedianya aneka media teknologi untuk ekspresi seni,” tuturnya.
Kebebasan
Tiap kali menulis puisi, Suminto mencoba melepaskan teori yang dipelajarinya. ”Teori hanya digunakan saat menjadi guru di kelas. Saya mencoba melupakan teori. Sebagai penyair akademisi, saya tak menonjolkan, tetapi menguasai teori,” tambahnya.
Sempat dua kali menjadi Dekan Fakultas Seni dan Budaya UNY, ia tak bisa melepaskan kekagumannya pada untaian puisi. Menulis puisi menjadi keseharian di sela mengajar dan menguji makalah disertasi di beberapa universitas di Semarang, Yogya, Solo, hingga Malang. Dari puisi pula ia memperoleh kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kegairahan inilah yang dia tularkan kepada para mahasiswa.
Kebebasan menjadi diri sendiri tak hanya ditunjukkan lewat antologi puisi. Di ruang laboratorium karawitan UNY, Suminto duduk berselonjor kaki. Ia memakai celana gunung coklat dan kemeja kotak-kotak.
Ia berkisah tentang sebait impian tentang pendidikan yang memerdekakan. ”Profesi utama saya sebagai guru sastra, menulis puisi menjadi sisi lain kehidupan saya. Puisi memiliki energi membebaskan. Pendidikan juga harus memerdekakan karena ini proses pemberdayaan manusia,” katanya.
Suminto mengakui, semakin jarang penyair merangkap pengajar, apalagi guru besar di perguruan tinggi. Meski tak berniat menjadikan kepenyairannya sebagai profesi, ia ingin menjalani hidup sebagai guru sastra yang juga menulis sastra.
Menulis puisi, kata kakek dua cucu ini, sekaligus pembelajaran untuk menjadi orang Jawa. Budaya Jawa menjadi ciri utama dari karya puisinya. Ide dari semua puisi ditimba dari sumur inspirasi kebudayaan Jawa yang membesarkan sekaligus menjadi batu loncatan penciptaan puisinya.
Ia mencoba terus melestarikan puisi Jawa dalam bentuk geguritan. ”Saya mencurigai pengalaman saya sendiri. Kenapa saya selalu lari ke budaya Jawa? Jangan-jangan ini proses pembelajaran bagi saya untuk menjadi orang Jawa,” ungkapnya.
Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, Suminto berupaya tak berpura-pura menjadi orang lain. Ia menorehkan puisi dengan bertolak dari pengalaman keseharian hidup. Ia menulis puisi sejak tahun 1974. Tak semua karyanya telah dipublikasi ke khalayak luas.
Baginya, puisi setelah lahir itu adalah yatim piatu. Siapa pun bebas mengeksplorasi karena puisi telah sepenuhnya menjadi milik publik.
Setiap dua bulan sekali puisi karyanya biasa dibacakan di Taman Budaya Yogyakarta, terutama oleh Komunitas Sarkem (UNY), Jaringan Anak Bahasa (Universitas Ahmad Dahlan), Sanggar Jepit (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), dan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Selain menulis puisi, Suminto aktif menabuh gamelan Jawa. Ia juga menyiapkan kumpulan puisi berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa yang akan diterbitkan menjadi buku.
Suminto sempat menulis cerpen dan buku teks pembelajaran sastra. Namun, kepuasan utama tetap dia dapat dari puisi. Ini karena sejak masih di bangku SD ia menyukai puisi dan bergaul akrab dengan tembang Jawa.
Sebagai penabuh gamelan dalam rombongan pedalangan, kecintaan Suminto pada rangkaian kata terus terpupuk. Majalah yang memberi ruang bagi kebebasan berkesenian, seperti Panyebar Semangat, Joyo Boyo, dan Parikesit, makin menumbuhkan kekagumannya pada puisi.
Banyak orang bisa menulis puisi, tetapi hanya segelintir yang sanggup menjadi penyair. Karya penyair haruslah bisa dinikmati orang lain dan memberi sesuatu bagi pembacanya. Melalui puisi pula, ia mendapat energi baru dalam menjalani hidup yang membebaskan.
Data diri
Nama: Prof Dr Suminto A Sayuti
Lahir: Purbalingga, 26 Oktober 1956
Pekerjaan: Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Istri: Suharti (52)
Anak:
- Bayu PH (30)
- Sekar PK (29)
- Sadewa PS (21)
Pendidikan:
- SD Sinduraja
- SMP N 2 Purbalingga
- SMA N 1 Purbalingga
- Sarjana Muda Pendidikan FKSS IKIP Yogyakarta
- Sarjana Pendidikan FPBS IKIP Yogyakarta
- S2 Pascasarjana IKIP Jakarta
- S3 Pascasarjana IKIP Jakarta
Karya antara lain:
- Kumpulan Sajak Malam Tamansari
- Resepsi Sastra
- Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian Sastra
- Ensiklopedia Sastra Indonesia
Sumber: Kompas, Senin, 29 September 2008
No comments:
Post a Comment