Sunday, September 01, 2013

[Buku] Peran Seni Rupa dalam Kemerdekaan

-- Ranang Aji S.P.

LEBIH dari setengan abad kita merdeka dan kita mengenangnya sebagai kemenangan atas penjajahan bangsa lain di Indonesia. Setiap tahun ritual euforia kemenangan diwujudkan dengan tradisi upacara dan pesta rakyat.

Lapangan-lapangan diisi dengan upacara bendera serta pesta pawai karnaval. Masyarakat dari semua generasi mengenang 17 Agustus 1945 sebagai hari pembebasan yang memberikan kesempatan bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri dan sejajar dengan bangsa merdeka lainnya. Namun, benarkah kita sudah mencapai kesadaran kemerdekaan itu?

Seni rupa adalah sudut pandang lain dari hakikat kemerdekaan dalam kebudayaan. Seni rupa Indonesia pada konteks kemerdekaan merupakan satu sudut bagaimana kita bisa menilai sejauh apa kita sudah memberikan identitas budaya kebangsaan. Laku kebudayaan bangsa memberikan tanda bagaimana karakter bangsa mewujud sebagai identitas yang berciri. Sebuah kebudayaan yang mandiri dan berakar pada karakter orisinal bangsa.

Sejak beratus tahun lalu, bangsa Indonesia memiliki produk seni rupa yang berakar pada kebudayaan Timur. Beberapa di antaranya kita bisa menyebut relief-relief di candi dan wayang beber. Pada keduanya kita mengenali ciri bentuk dan konsep filosofinya.

Secara sederhana, Primadi Tabrani (Bahasa Rupa, 2012) mencirikannya sebagai ruang-waktu-datar (RWD). Konsep RWD memiliki konsep yang naratif dan sekaligus bentuk yang simbolis. Dua bentukan ini merupakan pantulan langsung dari karakter bangsa timur yang bersifat kolektif dan komunal. Ada bangunan yang berlanggam ikatan sosial di antara masyarakatnya.

Sementara konsep Barat lebih bercirikan natural-perspektif-momen-opname (NPM). Di dalamnya terlihat bagaimana kontruksi sosial dipecahkan menjadi kepingan individu dan semata rasional, seperti halnya konsep pemikiran modernisme.

Seni rupa Indonesia, bila dihitung sejak kemerdekaan 68 tahun lalu, makin jauh dari identitas kebudayaan kebangsaan. Seni rupa kita sudah melampaui usia kemerdekaan dalam mengikuti jalan modernisme sejak eksistensi Raden Saleh dalam dominasi dan hegemoni Barat mencengkeram.

Kemudian, Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang diinisiasi S. Sudjojono (1950-an) mulai tergerak untuk kembali pada akar seni rupa Indonesia (Timur). Sayang sekali gerakan ini melemah dan kalah dengan arus kebudayaan global. Seni rupa Indonesia, pada akhirnya menerima seutuhnya seni rupa modern sebagai kebudayaan bangsa.

Pertarungan dan Pertaruhan

Ada ketidaksadaran dalam laku kebudayaan kita (seni rupa) akibat penjajahan beratus tahun. Pengaruh pemikiran modernisme (hegemoni) menjadi pijakan berkesenian. Proses kreatif yang berjalan mengarah jauh dari akar seni kita yang sesungguhnya memiliki tidak saja (menjadi) representasi ciri kebudayaan bangsa, tetapi juga kekuatan yang utuh sebagai produk kebudayaan yang tinggi. Mampu sejajar dengan produk seni modern secara kualitas seni.

Berbagai Konsekuensi

Pilihan laku seni rupa kita yang modern, sesungguhnya memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung dan merugikan bangsa. Konsekuensi pertama, kita kehilangan sejarah peradaban kebudayaan masa lalu kita. Kedua, karya-karya seniman rupa kita tidak mampu menjadi atau sampai pada kualitas avant garde. Karya para seniman kita hanya dipandang sebagai kelas subaltern (Gayatri Spivak dan Antonio Gramsci) oleh bangsa Barat sebaik apa pun karya itu.

Ketiga, kehilangan ciri yang mampu menjadi penunjuk arah identitas bangsa. Secara politis, kita kehilangan daya tarik dan kewibawaan. Pada jalan ini, jelas kita telah terperangkap pada laku yang artificial.

Keterpesonaan pada The Other (liyan) pada sisi-sisi yang asing, sementara akar kebudayaan kita memiliki pesona bagi bangsa yang lain. Demikianlah adanya pertarungan kebudayaan yang sering kita tidak sadari terus berlangsung dan kita mempertaruhkan apa yang seharusnya menjadi hak kemerdekaan kita sebagai bangsa merdeka.

Perjalanan kebangsaan kita selama merdeka (68 tahun) tidak lepas dari dinamika pertarungan kebudayaan bangsa-bangsa secara politis. Kesenian tentu saja memberikan ruang yang bebas untuk berekspresi dan memilih seperti halnya demokrasi. Namun, kesadaran berakar pada kebudayaan bangsa adalah cara pandang iluminasi yang memberikan pencerahan bagi bangsa yang memiliki sikap terhadap tanggung jawab moral anak bangsa.

Penjajahan beratus-ratus tahun yang eksploitatif dan telah melahirkan bencana kemanusiaan pada titik tertentu seharusnya juga melahirkan kesadaran dan katarsis bahwa kemerdekaan adalah sebuah sikap bangsa terhadap kedaulatan bangsa. Seni rupa adalah salah satu indikasi bagaimana sikap kita terhadap laku kebudayaan memberikan ciri bagi identitas dan kemerdekaan bangsa.

Dalam sebuah pertarungan (kita memang dalam pertarungan) hanya mengenal kalah atau menang. Pilihan kita tentu jelas secara normatif. Pada aras yang implementatif, kita butuh gerakan nyata menuju seni rupa Indonesia sebagai wujud identitas kebudayaan bangsa dan makna kemerdekaan, dengan demikian tidak sia-sia.

Ranang Aji S.P., Ketua Gerakan Wimba Indonesia

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 September 2013


No comments: