Sunday, September 15, 2013

[Buku] Historisasi Jihad Orientalis Plus

Data Buku
Ketika Nonmuslim Membaca Alquran:
Pandangan Richard Bonney tentang Jihad

Irwan Masduqi
Bunyan, Yogyakarta, 2013
236 hlm.

PERBINCANGAN bertema jihad selalu menarik perhatian. Dasawarsa terakhir, sejak tragedi 11 September, perbincangannya memasuki babak baru. Sejak itu pula Islam dipersangkakan sebagai agama teror. Terma jihad kemudian menjadi istilah tendensius-berkonotasi negatif. Mendengar kata ?jihad?, akan terbayang aksi pengeboman. Jihad lantas berasosiasi dengan laku kekerasan atas nama Islam.

Selama dasawarsa yang mencemaskan dan menjadikan jihad kerap dikaitkan dengan tindakan destruktif, justru membuat banyak pihak beramai-ramai menelisik konsep jihad. Termasuk di antaranya seorang orientalis Inggris, Richard Bonney. Anggapan bahwa orientalis selalu dinilai negatif oleh kalangan muslim kiranya terbantah bila merujuk hasil kajian Bonney. Bonney mencoba meluruskan paham jihad yang kadung terdistorsi maknanya di kalangan orientalis. Untuk itulah, saya menyebutnya sebagai orientalis plus. Dikatakan plus karena Bonney juga memberikan kontribusi upaya deradikalisasi jihad.

Pembacaan Bonney perihal jihad lebih difokuskan pada kaca mata sejarah. Dipetakan semenjak Nabi Muhammad saw. hingga era kontemporer. Hasilnya, konsep jihad terus mengalami perubahan konseptual dari abad ke-7 sampai abad ke-21 yang sejalan dengan perubahan sosial-keagamaan yang dihadapi umat Islam.

Di masa kenabian, jihad merupakan bentuk perjuangan mempertahankan agama, harta, dan jiwa dari tindakan destruktif yang dilakukan kaum musyrikin. Dilandasi semangat membela diri, bukan menyerang (defensif).

Namun, di pengujung masa Khulafa ar-Rasyidin yang ditandai dengan munculnya kelompok Khawarij pascatahkim, penafsiran konsep jihad mulai direduksi dan dipolitisasi guna menyerang kelompok muslim lain yang berbeda afiliasi politik. Khawarij tercatat sebagai kelompok yang pertama kali menggunakan pendekatan teror untuk menyelesaikan masalah politik antara Ali dan Muawiyah (hlm. 211). Begitu pun di pihak Syiah ekstrem turut melaksanakan aksi teror dalam rangka merebut kembali kursi kekhalifahan Ali dari tangan Mu?awiyah. Semua aksi teror tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ayat-ayat jihad.

Pergeseran konsep jihad semakin mengerucut. Ketika pasukan Mongol berhasil menguasai wilayah Islam, Ibnu Taimiyah justru menyerukan jihad melawan penguasa Mongol walau secara lahiriah mereka adalah muslim. Ibnu Taimiyah menganggap sah berjihad melawan penguasa muslim yang tidak menerapkan syariat Islam sebagai undang-undang negara. Dalam tataran ini, aspek politik dan keagamaan berpadu membentuk pola jihad ofensif yang bercorak politis (hlm. 213).

Di era modern, konsep jihad Maududi dan Sayyid Quthb bisa dilihat dalam reinterpretasi konsep jihad sebagai ideologi revolusioner untuk menumbangkan sistem tidak islami lalu menggantinya dengan sistem islami. Sedangkan Hassan al-Banna lebih memaknai jihad sebagai spirit untuk merestorasi kondisi umat Islam yang terbelakang di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Di era kontemporer, umat Islam dihadapkan oleh situasi geopolitik internasional yang tidak menguntungkan. Dalam konteks demikian, jihad kemudian dipakai segelintir kalangan ekstremis muslim untuk melakukan aksi teror. Bonney melihat aksi tersebut sebagai respons atas situasi geopolitik yang dihegemoni oleh intervensi Barat terhadap negara-negara muslim.

Untuk mengatasi kondisi yang dapat menyebabkan semakin parahnya hubungan Islam dan Barat dengan merebaknya aksi terorisme, Bonney mencoba memahami konsep jihad di dalam Alquran secara lebih bijak dalam rangka deradikalisasi. Untuk itu, Booney termasuk dalam barisan pihak yang tidak sepakat adanya teori nasikh-mansukh yang kerap masih dipakai oleh sebagian penafsir Alquran.

Bonney menganggap mustahil Alquran dengan di dalamnya mengandung ratusan ayat yang mendorong perdamaian dan rekonsiliasi kemudian diganti atau dihapus dengan ayat perintah berperang dan mengangkat senjata. Oleh karena itu, Bonney mendorong pentingnya menginterpretasi ayat jihad secara holistik serta memperhatikan kontekstualitas (asbabun nuzul) alias melek sejarah. Bonney juga mensinyalir kebijakan-kebijakan politik Barat turut memicu radikalisme di dunia muslim. Dengan kata lain, negara-negara Barat seharusnya mau berkaca diri.

Sayangnya, perbincangan seputar jihad selalu tak jauh dari tema terorisme dan perang. Dengan demikian, jihad menjadi sempit makna. Bonney juga terjebak pula di dalamnya. Padahal Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa berbakti kepada orang tua dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah juga berkategori jihad. Maka, senyatanya jihad tidak melulu soal memanggul senjata dan bertempur di medan perang. Jihad mempunyai pemaknaan luas.

Muhammad Itsbatun Najih, aktivis Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta
   
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013

No comments: