-- Iwan Kurniawan
Saat tubuh sudah tak kuasa berkarya, Augustin Sibarani mencoba mengabadikan kenangan lewat kanvas. Sang opung tak mau terlupakan oleh zaman.
Ada rasa haru karena butet tampak pasrah dengan keadaan. Mereka sedang dirundung peperangan. Situasi di era prakemerdekaan memberikan tafsiran, ia harus menjaga buah hatinya agar tak kelaparan.
Di samping kiri dan kanan, dua pemuda terlihat sedang berjaga-jaga. Semuanya duduk di bawah pepohonan yang merindang dan merinai. Seorang pemuda di belakang tampak sigap. Ia berdiri memopor senjata. Keheningan pun menghantui. Degradasi warna yang hampir didominasi nuansa gelap menunjukkan hari hampir petang.
Gambaran itu jelas terlihat pada lukisan berjudul Si Butet Ditinggal Perang (120x90 cm) karya Augustin Sibarani yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, pertengahan pekan ini.
Pelukis kawakan asal Pematang Siantar, Sumatra Utara, itu begitu jeli dalam mengangkat tema nasionalisme dalam goresan kuas di atas kanvas. Jiwa seorang pahlawan tak lekang oleh waktu.
Pada lukisan oil colour on canvas itu, ada yang menarik dari pakaian butet. Bajunya tak seperti perempuan Batak umumnya yang menggunakan ulos. Kain biru yang melilit di bagian bawah menjulur sehingga pahanya kelihatan. Augustin seakan mencoba menghadirkan sebuah kewajaran atas ibu muda yang ditinggal suami.
Dalam pameran yang berlangsung pada 22-29 Agustus itu, lelaki kelahiran 25 Agustus 1925 tersebut menyuguhkan 40-an karya, terdiri dari lukisan minyak dan karikatur. Setiap karya pun memiliki penafsiran berbeda. Apalagi, proses kreatif yang ada merupakan sebuah kelana yang tak habis-habisnya ia abadikan ke dalam lukisan.
Bila diperhatikan, corak dan karakter lukisan Augustin memang begitu kuat dengan gaya ekspresif, tetapi juga impresif. Ia bermain dengan pengalaman dalam hidup sewaktu perang (sebelum 1945) untuk diangkat ke publik.
Lukisan-lukisan yang ia pamerkan merupakan karya yang dibuat mulai 1973 hingga 2013. Karya-karya tersebut penuh dengan nuansa sejarah, terutama masa kolonialisme.
Karya Markas Gerilya (244x140), misalnya, juga menghadirkan sebuah situasi perang. Itu terlihat dari sejumlah gerilyawan yang sedang bersantai sejenak di sebuah rumah beratap jerami dan alang-alang. Ada yang bermain gitar, membakar ubi atau sejenisnya di api unggun, dan beberapa masih terjaga.
Pelukis emas
Terlepas dari tema perjuangan, Augustin mampu menunjukkan kelasnya sebagai pelukis emas yang dimiliki Indonesia. Ia memberikan sebuah pandangan yang kuat atas masa-masa menuju kemerdekaan.
"Lukisan opung merupakan cerminan dari sisi hidupnya yang lain. Ia menghadirkan beragam tema. Ada sisi sosial hingga individu yang tergambar jelas," nilai kurator Efix Mulyadi dalam pengantar pameran tersebut.
Karya-karya Augustin dianggap penuh dengan kritikan. Hal itulah yang membuat ia sulit mendapatkan izin berpameran pada era 1950 dan 1960-an. Namun, ia mampu berpameran ke luar negeri, seperti tampil di Vienna dan Moskow.
Untuk pertama kalinya, ia boleh berpameran pada 1973 di Balai Budaya, lalu di Erasmus Huis pada 1975, yang keduanya berlokasi di Jakarta. Sepanjang Orde Baru (Orba), ia hanya berpameran sekitar enam kali. Pada era lengsernya Soeharto, barulah ia bisa mengikuti sebuah pameran berkelas di Paris.
Terlepas dari lukisan-lukisan yang ada pada pameran tersebut, ada puluhan karya lain berupa karikatur. Semua menghadirkan tema-tema sederhana, tetapi dibalut dengan sedikit cemooh terhadap pemangku kekuasaan di era Orba.
Tengok saja karya-karya seperti Mencari Teroris, Bush dan Blair, The Coboy, dan Pembakaran Hutan. Semua menyimpan kritikan sehingga membuat pemerintah sedikit geleng-geleng kepala, tentunya.
Karya Pembakaran Hutan penuh dengan unsur intrinsik. Orang utan jadi berang. Mereka mati akibat pembakaran hutan yang dilakukan segelintir oknum untuk mengalihfungsikan hutan.
Salah satu orang utan terlihat naik di bekas pepohonan sambil menunjuk ke arah seorang pria berpenampilan rapi dengan peci di kepalanya. Sang orang utan marah karena hutan telah hangus akibat pembakaran liar. Itulah kritikan pedas Augustin. Ia tak sekadar memberikan simbol-simbol atas kemewahan suatu kaum tertentu kepada penguasa.
Terlepas dari kritikan lewat karikatur, sang opung yang sudah beberapa tahun terakhir ini mengalami stroke berhasil memasukkan unsur sejarah.
Salah satu karya fundamental yang juga ada dalam pameran yaitu lukisan potret Sisingamangaraja. Lukisan aslinya tampil di lembaran uang kertas Indonesia. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 1 September 2013
Saat tubuh sudah tak kuasa berkarya, Augustin Sibarani mencoba mengabadikan kenangan lewat kanvas. Sang opung tak mau terlupakan oleh zaman.
Ada rasa haru karena butet tampak pasrah dengan keadaan. Mereka sedang dirundung peperangan. Situasi di era prakemerdekaan memberikan tafsiran, ia harus menjaga buah hatinya agar tak kelaparan.
Di samping kiri dan kanan, dua pemuda terlihat sedang berjaga-jaga. Semuanya duduk di bawah pepohonan yang merindang dan merinai. Seorang pemuda di belakang tampak sigap. Ia berdiri memopor senjata. Keheningan pun menghantui. Degradasi warna yang hampir didominasi nuansa gelap menunjukkan hari hampir petang.
Gambaran itu jelas terlihat pada lukisan berjudul Si Butet Ditinggal Perang (120x90 cm) karya Augustin Sibarani yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, pertengahan pekan ini.
Pelukis kawakan asal Pematang Siantar, Sumatra Utara, itu begitu jeli dalam mengangkat tema nasionalisme dalam goresan kuas di atas kanvas. Jiwa seorang pahlawan tak lekang oleh waktu.
Pada lukisan oil colour on canvas itu, ada yang menarik dari pakaian butet. Bajunya tak seperti perempuan Batak umumnya yang menggunakan ulos. Kain biru yang melilit di bagian bawah menjulur sehingga pahanya kelihatan. Augustin seakan mencoba menghadirkan sebuah kewajaran atas ibu muda yang ditinggal suami.
Dalam pameran yang berlangsung pada 22-29 Agustus itu, lelaki kelahiran 25 Agustus 1925 tersebut menyuguhkan 40-an karya, terdiri dari lukisan minyak dan karikatur. Setiap karya pun memiliki penafsiran berbeda. Apalagi, proses kreatif yang ada merupakan sebuah kelana yang tak habis-habisnya ia abadikan ke dalam lukisan.
Bila diperhatikan, corak dan karakter lukisan Augustin memang begitu kuat dengan gaya ekspresif, tetapi juga impresif. Ia bermain dengan pengalaman dalam hidup sewaktu perang (sebelum 1945) untuk diangkat ke publik.
Lukisan-lukisan yang ia pamerkan merupakan karya yang dibuat mulai 1973 hingga 2013. Karya-karya tersebut penuh dengan nuansa sejarah, terutama masa kolonialisme.
Karya Markas Gerilya (244x140), misalnya, juga menghadirkan sebuah situasi perang. Itu terlihat dari sejumlah gerilyawan yang sedang bersantai sejenak di sebuah rumah beratap jerami dan alang-alang. Ada yang bermain gitar, membakar ubi atau sejenisnya di api unggun, dan beberapa masih terjaga.
Pelukis emas
Terlepas dari tema perjuangan, Augustin mampu menunjukkan kelasnya sebagai pelukis emas yang dimiliki Indonesia. Ia memberikan sebuah pandangan yang kuat atas masa-masa menuju kemerdekaan.
"Lukisan opung merupakan cerminan dari sisi hidupnya yang lain. Ia menghadirkan beragam tema. Ada sisi sosial hingga individu yang tergambar jelas," nilai kurator Efix Mulyadi dalam pengantar pameran tersebut.
Karya-karya Augustin dianggap penuh dengan kritikan. Hal itulah yang membuat ia sulit mendapatkan izin berpameran pada era 1950 dan 1960-an. Namun, ia mampu berpameran ke luar negeri, seperti tampil di Vienna dan Moskow.
Untuk pertama kalinya, ia boleh berpameran pada 1973 di Balai Budaya, lalu di Erasmus Huis pada 1975, yang keduanya berlokasi di Jakarta. Sepanjang Orde Baru (Orba), ia hanya berpameran sekitar enam kali. Pada era lengsernya Soeharto, barulah ia bisa mengikuti sebuah pameran berkelas di Paris.
Terlepas dari lukisan-lukisan yang ada pada pameran tersebut, ada puluhan karya lain berupa karikatur. Semua menghadirkan tema-tema sederhana, tetapi dibalut dengan sedikit cemooh terhadap pemangku kekuasaan di era Orba.
Tengok saja karya-karya seperti Mencari Teroris, Bush dan Blair, The Coboy, dan Pembakaran Hutan. Semua menyimpan kritikan sehingga membuat pemerintah sedikit geleng-geleng kepala, tentunya.
Karya Pembakaran Hutan penuh dengan unsur intrinsik. Orang utan jadi berang. Mereka mati akibat pembakaran hutan yang dilakukan segelintir oknum untuk mengalihfungsikan hutan.
Salah satu orang utan terlihat naik di bekas pepohonan sambil menunjuk ke arah seorang pria berpenampilan rapi dengan peci di kepalanya. Sang orang utan marah karena hutan telah hangus akibat pembakaran liar. Itulah kritikan pedas Augustin. Ia tak sekadar memberikan simbol-simbol atas kemewahan suatu kaum tertentu kepada penguasa.
Terlepas dari kritikan lewat karikatur, sang opung yang sudah beberapa tahun terakhir ini mengalami stroke berhasil memasukkan unsur sejarah.
Salah satu karya fundamental yang juga ada dalam pameran yaitu lukisan potret Sisingamangaraja. Lukisan aslinya tampil di lembaran uang kertas Indonesia. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 1 September 2013
No comments:
Post a Comment