Sunday, September 01, 2013

Wiji Thukul, Perumpamaan, dan Gagasan

-- Widyanuari Eko Putra

‘’Masihkah aku membutuhkan perumpamaan untuk mengungkapkan ini?’’ tulis Wiji ‘Thukul’ Widodo dalam sebuah puisi masih dalam bentuk tulisan tangan. Puisi ini adalah hadiah dari Thukul kepada Prof Dr WF Werthein pada perayaan ulang tahunnya yang ke-90, sosiolog dari Belanda dan ahli Asia Tenggara.

Puisi ini berhasil dikumpulkan dalam sebuah buku tipis bersampul cokelat, terbitan edisi khusus majalah Tempo (13-19 Mei 2013), berkat bantuan Jaap Erkelens, sahabat Thukul yang juga Direktur Konnklijk Instituut voor Taal, perwakilan Jakarta. Maka dari puisi tersebut, kita pun mafhum, kita bisa memahami Thukul: bagaimana mungkin seseorang sanggup menuliskan sajak-sajak sarat metafora lagi melankolia jika ketertindasan hidup selalu jadi sarapan di setiap paginya?

Maka buku tipis berjudul Para Jenderal Marah-marah: Kumpulan Puisi Wiji Thukul dalam Pelarian adalah bunga rampai yang menunjukan pergulatan serius, terhadap teks-teks yang terlahir dari kesepian, ketertekanan, kekhawatiran, hingga kekerasan yang Thukul alami semasa pelarian diburu intel penguasa. Puisi tertanggal 1 November 1997 di Jakarta ini, pada akhirnya menjadi semacam penegas, klimaks, dari apa yang Thukul alami sedari proses kreatifnya hinga menjelang akhir tahun 1998. Sebuah masa di mana Thukul menemui babak akhir dalam pelariannya.

Thukul memang penantang abadi. Penentang yang bersuara hampir di setiap bagian hidupnya. Pada puisinya, ia mencipta patron perlawanan anti-penindasan. Ia moncer sebagai penyair perlawanan sejak puisi Peringatan (1986) terdengar lantang di setiap mimbar unjuk rasa, diskusi, hingga pentas teater. Tahun 1987, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Thukul memproklamasikan ‘sastra ngamen’ dan ‘sastra gugat’. Sebuah kredo tentang bagaimana puisi, seperti isi sajak ‘’Peringatan’’, sanggup menggugat keadaan negara yang diktator lewat kata-kata bertenaga. Kredonya pun mewabah dan menjangkiti siapapun yang mendengar atau membacanya, terutama aktivis, mahasiswa, dan rakyat tertindas. Puisi ini bagai nyamuk bagi penguasa Orde Baru, bersuara berisik dan menggigit. Thukul mendermakan diri untuk perlawanan. Dan sajaknya, hidupnya, hingga seluruh perjuangannya bermuara pada satu tujuan: menentang penindasan!

Perumpamaan dalam sajian sajak-sajak Thukul, hadir meski seperti ‘tak hadir’. Buku setebal tiga puluh tujuh halaman ini menghadirkan perumpamaan tak sekedar akrobat kata. Teks yang lahir adalah kenyataan hidup, refleksi kehidupan namun tak sempat larut pada kontemplasi yang mengutamakan, untuk tidak mengatakan ‘’mementingkan, bahasa metaforis. Dalam puisi Buat L Ch & AB Thukul menulis: pagi itu/ budimu menjadi api/ /tapi aku harus pergi lagi/ mungkin tahun depan/ atau entah kapan/ akan kuketuk lagi/ daun pintumu/ bukan sebagai buron.

Api adalah sesuatu yang menggelora. Api menciptakan gerak, energi, dan cahaya. Api adalah perumpamaan tak berlebihan saat puisi menjelaskan: bukan sebagai buron. Maka ‘api’ adalah segumpal energi yang lahir setelah bersembunyi entah berapa lama. Tanpa memandang keberadaan sejarah hidup Thukul, kita segera tahu bahwa puisi ini berkisah tentang petualangan seorang buron pemerintah, penentang kekuasaan. Perumpamaan yang muncul dalam puisi ‘’Pepatah Buron’’ jadi perumpamaan kritik. Penindasan adalah guru paling jujur/ bagi yang mengalami/ lihatlah tindakan penguasa/ bukan retorika bukan pidatonya. Dan begitulah sebuah perumpamaan bagi Thukul, suara yang tidak terlalu rumit. Suara yang jelas-jelas lahir dari situasi dan kondisi.

Gagasan
Kekuasaan tiran pada akhirnya jadi tema sentris kritik dalam puisi-puisi Thukul. Setiap puisi adalah kelahiran dari apa yang dirasa oleh si manusia pencipta. Toh, ketika Thukul berhasil mengafirmasi puisinya dengan pilihan kata yang, tak lagi ‘keras’, ia tetap mengimbuhi puisinya dengan sebuah gagasan utuh. Simaklah: jilatan matahari/ segarnya udara pagi//alangkah indah negeri ini/ andai lepas dari masa ganas tirani.

Petilan puisi bertajuk ‘’Bagi Siapa Kalian Memetik Panenan’’ ini memberi petunjuk betapa gagasan perlawanan itu pada akhirnya adalah utama. Thukul merasa dirinya sebagai pribadi yang harus memperjuangkan apa yang ia derita. Maka, perlawanan demi diri yang lebih baik adalah utama. Thukul (1994) menulis: ‘’Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri’’.

Jika persoalan hidup adalah puisi, maka perumpamaan adalah sisi yang diolah dari bagian persoalan hidup. Persoalan hidup jadi acuan perumpamaan. Sederet kisah dan tragisme hidup sebagai ‘penentang’ tampak dari sebagian besar puisi yang terkumpul dalam buku Para Jenderal Marah-marah. Keindahan puisi Thukul adalah kehidupan yang ‘nyata’, yang benar-benar ‘hidup’, yang menghiasi setiap puisi-puisinya. Dalam buku ini, kita bakal mendapati kisah dan persoalan hidup Thukul (Para Jenderal Marah-marah, Catatan), penderitaan dalam pelarian (Aku Diburu Pemerintahku Sendiri, Ujung Rambut Ujung Kuku, Di Ruangan Ini yang Bernafas Cuma Aku, Hujan Malam Ini Turun, Bulan Agustus Sudah Tiba, Nonstop 24 Jam), kredo kepenyairan (Maklumat Penyair, Penyair, Meditasi Membaca Buku, Sajak), hingga hubungan antar Thukul dan Keluarga (‘’Peluk Sekuat Cintamu’’, ‘’Dengan Apa Kutebus Anakku’’, ‘’Habis Upahan’’, ‘’Wani’’, ‘’Bapakmu Harus Pergi’’).

Pada mulanya, puisi-puisi wiji Thukul, adalah gagasan. Kita bisa menikmati puisi Thukul, selain etos perlawanan dalam sajaknnya, adalah kesederhanaan Thukul dalam menempatkan apa yang ia alami sehari-hari, ke dalam ramuan puisinya. Siapapun bakal tersenyum menyimak petilan sajak ‘’Para Jenderal Marah-marah’’: Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju./ Celananya tidak. Aku memang lebih/ sering ganti baju ketimbang celana. Atau, sajak berbahasa Jawa yang genit dalam ‘’Warung Kopi Yu Yen’’: yen kadhemen/ mang kemulan/ niki wonten kemul anyar/ kemule saged ngentut/ jenenge Narti! Dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: jika kedinginan/ pakai selimut/ ini ada selimut baru/ selimutnya bisa kentut/ namanya Narti!

Pada sajak-sajaknya yang lain, gagasan tetaplah yang utama. Sebuah sajak, adalah apa yang menurut Thukul harus disuarakan berdasar segala yang menimpa dirinya. Puisi adalah biografi dan jalan pikiran. Puisi bisa jadi rujukan kuat untuk mengenali dan memaknai laku hidup dan derita hidup yang pernah Thukul alami selama pelarian, di bawah rezim Orba, serta kemiskinan yang melanda hidupnya. Maka ketika puisi berjudul ‘’Sajak’’ (1987), dengan lantang bersuara: sajakku gerakan/ bahasaku perlawanan/ kata-kataku menentang/ ogah diam, maka kata-kata itu sepenuhnya jalan pemikiran.

Apa yang ia tulis adalah apa yang ia yakini.  Bisa jadi, ‘kepergiannya’ yang entah, menjadi bukti bagi gagasan-puisinya. ‘’Kalian bisa bikin tubuhku lebam/ membiru/ tapi tak bisa kalian padamkan/ marahnya kepalan kata-kataku!’’, tulis Thukul tahun 1993. Ia sepenuhnya benar. Meski pada keadaan yang lebih menakutkan ketimbang ‘tubuhku lebam’. Dan, pada titik inilah, kita mesti bertanya, masih perlukah sebuah perumpamaan dipakai demi ‘merias’ puisi untuk menceritakan ‘tubuh lebam’ dan nyawa yang hilang, seperti yang Wiji Thukul alami? n

Bibliografi:   
Thukul, Wiji. 2013. ‘’Para Jenderal Marah-marah’’. Edisi spesial majalah Tempo edisi 13-19 Mei. Thukul, Wiji. 1994. ‘’Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya’’ dalam Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November.

Widyanuari Eko Putra, Mahasiswa IKIP PGRI Semarang, Fakultas  Bahasa dan Sastra, Progdi, Pendidikan Bahasa Inggris. Lahir di Purbalingga, 25 Januari 1989. Dia pengelola Kamar Baca Pandean Lamper Institut, Semarang. Aktif di Kajian Ilmu Apresiasi Sastra (KIAS) IKIP PGRI Semarang. Beberapa tulisan pernah di muat di Buletin Keris; Buletin Lembah Kelelawar; Suara Kampus; Majalah Vokal; Hysteria; Potret; Edaran [ora] Weruh, Majalah Papirus, buletin Pawon, Suara Merdeka, Jateng Pos, Koran Barometer, Wawasan, Harian Detik, Jawa Pos, Solopos

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 September 2013


No comments: