MUNGKIN tidak semua orang mengenal Bima Arya. Namun bisa dipastikan, semua orang belajar dengan banyak cara, termasuk dari pengalaman hidup orang lain. Titik Balik Bima Arya bisa menjadi salah satu buku yang memungkinkan kita belajar dari pengalaman hidup orang lain. Belajar menjadi lebih peka terhadap perubahan-perubahan hidup yang menjadi titik balik perubahan.
Mengapa judulnya Titik Balik? Penulisnya, Fenty Effendy, mengatakan setiap orang pasti akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan hidup. Itu berlaku pada Bima Arya, anak gaul yang merayakan ulang tahun ke-17 dengan jas dan dasi kupu-kupu, yang dari SMA sudah menyetir mobil sendiri, kuliah dengan rambut gondrong dan memakai anting, serta termasuk beruntung mencicipi liburan ke luar negeri.
Dalam buku yang diterbitkan Gramedia berjudul Titik Balik Bima Arya itu, sejumlah tokoh hadir memberi testimoni tentang Bima Arya sebagai tokoh muda Indonesia yang inspiratif, cerdas, dan bersih.
Mendengar kisah Bima Arya, Fenty yang sudah melahirkan beberapa buku bernuansa biografi langsung melihat titik balik yang mengubah jalan hidup dan pemikiran Bima Arya.
Titik balik pertama terjadi ketika usia Bima Arya mendekati ulang tahun yang ke-25. Ayahnya, Brigjen Toni SuÂgiarto, meninggal karena kanker. Uang terkuras untuk biaya berobat dan kuliah S-2 Arya Bima di Melbourne terancam gagal. Ketika itu ayahnya berpesan, “Apa pun yang terjadi, kamu harus jadi doktor di umur 30.†Nah...!
Titik balik kedua dimulai ketika Bima ikut mendirikan PAN di Bandung pada 1999. Saat ditawari kursi sekretaris, dia menolak. Karena tidak sepakat dengan kebijakan Amien Rais, ia memilih nonaktif dan fokus mengajar.
Titik balik ketiga terjadi setelah ia meraih gelar doktor dari Australia National University dan populer sebagai pengamat politik. Pada saat itu muncul pertanyaan, “Popularitas itu untuk apa?â€
Kontemplasinya menghasilkan jawaban seperti ini, “Ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan ketika kita menikmati karier dan popularitas sebagai pengamat, yaitu kawah candradimuka sebagai seorang pemimpin. Saya ingin merasakan bagaimana susahnya menyelesaikan persoalan. Saya ingin merasakan nikmatnya difitnah oleh orang, terhadap apa yang tidak pernah kita lakukan. Saya ingin merasakan dihujat, dikritik, dan diserang oleh banyak orang, terhadap hal-hal yang barangkali kita lakukan atau tidak kita lakukan.†(hlm 222-223).
Titik balik keempat terjadi ketika muncul berbagai persoalan di partai. Arya sempat berpikir ingin keluar, tidak mau lagi menggeluti dunia politik. Semangatnya kembali terdongkrak ketika ia teringat doa yang dibisikkan ayahnya, A Father’s Prayer, dari Jenderal Douglas McArthur-–pemimpin pasukan AS yang disegani di masa Perang Dunia II.
Begini kira-kira terjemahan bebasnya. “Tuhanku, aku mohon agar putraku jangan dibimbing di jalan yang mudah dan lunak, tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan. Didiklah putraku supaya teguh berdiri di atas badai serta berbelas kasihÂan terhadap mereka yang gagal.
Bentuklah putraku supaya menjadi manusia yang berhati jernih, yang cita-citanya tinggi. Putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum berhasrat memimpin orang lain.â€
Buku itu melibatkan beberapa narasumber mulai para sahabat sampai para tokoh seperti pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Anies Baswedan, Dikdik Maulana, Hatta Rajasa, Najwa Shihab, Pandji Pragiwaksono, Prof V Bob Soegoeng Hadiwinata, Udjo Project Pop, Velix V Wanggai, dan Wanda Hamidah.
Fenty Effendi menjelaskan menuliskan sosok seorang tokoh dengan gaya bertutur ‘saya’ merupakan tantangan tersendiri.
“Kepercayaan diri bisa membuat seorang seseorang berlebihan dalam menceritakan sesuatu. Sebaliknya, kesungkanan sang tokoh menonjolkan diri akan mengaburkan pencapaian-pencapaiannya.â€
Maka, Bima Arya pun akhirnya menyimpulkan, tidak ada orang yang besar tanpa cobaan, tanpa rintangan, tanpa masalah. "Anak muda, temukan 'titik balik' kalian." Itulah pesan Bima Arya dalam bukunya. (Lin/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013
Mengapa judulnya Titik Balik? Penulisnya, Fenty Effendy, mengatakan setiap orang pasti akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan hidup. Itu berlaku pada Bima Arya, anak gaul yang merayakan ulang tahun ke-17 dengan jas dan dasi kupu-kupu, yang dari SMA sudah menyetir mobil sendiri, kuliah dengan rambut gondrong dan memakai anting, serta termasuk beruntung mencicipi liburan ke luar negeri.
Dalam buku yang diterbitkan Gramedia berjudul Titik Balik Bima Arya itu, sejumlah tokoh hadir memberi testimoni tentang Bima Arya sebagai tokoh muda Indonesia yang inspiratif, cerdas, dan bersih.
Mendengar kisah Bima Arya, Fenty yang sudah melahirkan beberapa buku bernuansa biografi langsung melihat titik balik yang mengubah jalan hidup dan pemikiran Bima Arya.
Titik balik pertama terjadi ketika usia Bima Arya mendekati ulang tahun yang ke-25. Ayahnya, Brigjen Toni SuÂgiarto, meninggal karena kanker. Uang terkuras untuk biaya berobat dan kuliah S-2 Arya Bima di Melbourne terancam gagal. Ketika itu ayahnya berpesan, “Apa pun yang terjadi, kamu harus jadi doktor di umur 30.†Nah...!
Titik balik kedua dimulai ketika Bima ikut mendirikan PAN di Bandung pada 1999. Saat ditawari kursi sekretaris, dia menolak. Karena tidak sepakat dengan kebijakan Amien Rais, ia memilih nonaktif dan fokus mengajar.
Titik balik ketiga terjadi setelah ia meraih gelar doktor dari Australia National University dan populer sebagai pengamat politik. Pada saat itu muncul pertanyaan, “Popularitas itu untuk apa?â€
Kontemplasinya menghasilkan jawaban seperti ini, “Ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan ketika kita menikmati karier dan popularitas sebagai pengamat, yaitu kawah candradimuka sebagai seorang pemimpin. Saya ingin merasakan bagaimana susahnya menyelesaikan persoalan. Saya ingin merasakan nikmatnya difitnah oleh orang, terhadap apa yang tidak pernah kita lakukan. Saya ingin merasakan dihujat, dikritik, dan diserang oleh banyak orang, terhadap hal-hal yang barangkali kita lakukan atau tidak kita lakukan.†(hlm 222-223).
Titik balik keempat terjadi ketika muncul berbagai persoalan di partai. Arya sempat berpikir ingin keluar, tidak mau lagi menggeluti dunia politik. Semangatnya kembali terdongkrak ketika ia teringat doa yang dibisikkan ayahnya, A Father’s Prayer, dari Jenderal Douglas McArthur-–pemimpin pasukan AS yang disegani di masa Perang Dunia II.
Begini kira-kira terjemahan bebasnya. “Tuhanku, aku mohon agar putraku jangan dibimbing di jalan yang mudah dan lunak, tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan. Didiklah putraku supaya teguh berdiri di atas badai serta berbelas kasihÂan terhadap mereka yang gagal.
Bentuklah putraku supaya menjadi manusia yang berhati jernih, yang cita-citanya tinggi. Putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum berhasrat memimpin orang lain.â€
Buku itu melibatkan beberapa narasumber mulai para sahabat sampai para tokoh seperti pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Anies Baswedan, Dikdik Maulana, Hatta Rajasa, Najwa Shihab, Pandji Pragiwaksono, Prof V Bob Soegoeng Hadiwinata, Udjo Project Pop, Velix V Wanggai, dan Wanda Hamidah.
Fenty Effendi menjelaskan menuliskan sosok seorang tokoh dengan gaya bertutur ‘saya’ merupakan tantangan tersendiri.
“Kepercayaan diri bisa membuat seorang seseorang berlebihan dalam menceritakan sesuatu. Sebaliknya, kesungkanan sang tokoh menonjolkan diri akan mengaburkan pencapaian-pencapaiannya.â€
Maka, Bima Arya pun akhirnya menyimpulkan, tidak ada orang yang besar tanpa cobaan, tanpa rintangan, tanpa masalah. "Anak muda, temukan 'titik balik' kalian." Itulah pesan Bima Arya dalam bukunya. (Lin/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013
No comments:
Post a Comment