LORONG kota dengan sebuah pintu masuk tampak jelas dari kejauhan. Seorang lelaki bertopi ala koboi berjalan tegap di ujung jalan. Di sudut kiri dan kanan, orang-orang riuh. Hampir semuanya menggenggam uang berlambang ‘$’ yang terbungkus rapi.
Latar belakang bangunan bertingkat seperti pada sebagian besar kota di Amerika pada abad X atau XII begitu jelas. Lampu-lampu klasik bermata tiga yang menggantung melunglai ke bawah menunjukkan itu seperti Kota Tua Texas atau Meksiko yang sering kita lihat dalam film-film produk Amerika.
Ya. Begitulah gambaran singkat lukisan karya Ade Pasker berjudul Money Changger yang dipajang pada pameran tunggalnya bertajuk Apocalypto (150x120 cm) di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19-29 September mendatang.
Direktur Erasmus Huis, Ton van Zeeland, yang hadir dalam pembukaan pertengahan pekan ini menilai karya-karya Pasker penuh dengan degradasi warna, terutama pada permainan warna-warna gelap yang menggemaskan.
Pada pameran itu, pria kelahiran Sungai Penuh, Kerinci, 9 Agustus 1980, tersebut menghadirkan 64 lukisan yang dibuat pada 2004-2013. Banyak kisah kebudayaan Barat yang tertuang dalam setiap goresan. Itu menunjukkan ada sebuah kecenderungan untuk menafsir dan mengejawantahkan budaya secara global agar ditafsir dengan subjektivitasnya.
Hampir semua karya memang begitu lekat pada ranah ekspresionisme. Pasker mampu mendistorsi keadaan atau kenyataan yang ia jumpai atau lihat dalam perjalanan hidupnya. Mungkin sebagai anak rantau, ia telah menemui banyak hal. Tengok saja karya berjudul Black Coconut (100x120 cm, 2013). Sebuah kehidupan di tepi pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pasker tak memperhatikan estetika di sini.
Kehidupan Maya
Terlepas dari beberapa karya yang cenderung tidak bertema, Pasker mampu membangun sebuah tema besar tentang kehidupan suku Maya. Itu tergambar dari judul Apocalypto (Awal Baru) yang diilhami dari judul film garapan Mel Gibson pada 2006.
Pada film tersebut, ada kehidupan peradaban suku Maya, terutama pada masa periode Plaksik. Masa tersebut sering dikenal dengan sebuah peradaban priÂmitif yang hidup dengan konflik di sekitar Terusan Panama di Benua Amerika. Diperkirakan, itu telah ada pada 1800 sebelum Masehi.
Kendati demikian, tidak semua kisah dalam film tersebut dituangkan ke dalam kanvas. Pasker hanya mengambil petilan-petilan, terutama pada tokoh Jaguar Paw.
“Saya suka di penggalan cerita yang mengisahkan perjuangÂan seorang istri yang melahirkan anaknya di dalam air dan selamat,†tuturnya menanggapi judul pameran tunggal ketiganya itu.
Karya Stylist (100x100 cm) menghadirkan multitafsir terhadap tema yang Pasker usung. Ia bermain di ranah budaya suku Maya, tetapi tidak begitu tergambar dalam setiap lukisan secara nyata.
Dalam karya-karya lainnya, Pasker menghadirkan kehidupan glamor. Ada sekawanan orang yang sedang bersulang menikmati bir seperti terlihat pada Cheers (200x180 cm, 2011) hingga bunga desa yang menjadi rebutan para lelaki di kampung seperti Mahadewi (150x200 cm, 2011).
Terlepas dari tema yang beragam, ada sebuah benang merah, terutama pada kehidupan objek-objek manusia yang lebih terkesan kebarat-baratan. Ia mampu menunjukkan diri tak sekadar pelukis, tetapi juga sebagai ‘pemerhati sejarah’ suku Maya.
Gaya ekspresionisme yang ada mengingatkan kita langsung pada karya-karya abad XX meskipun sebenarnya sebagian lukisan Pasker lebih dekat dengan gaya manerisme. Bisa saja ia terpengaruh itu saat masih duduk di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Malam itu, Pasker menjadi orang paling bahagia. Ia mendapatkan ucapan selamat dari rekan-rekannya. Istrinya, Sri Purnama Dewi, 33, Suhartini, 64 (mertua), dan putrinya, Anisa Hilma Salsabila, 3,5, ikut merayakan kemeriahan. “Ibu, ayah, fotoin dong,†ujar Hilma seraya bergaya di depan sebuah lukisan ayahnya. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
Latar belakang bangunan bertingkat seperti pada sebagian besar kota di Amerika pada abad X atau XII begitu jelas. Lampu-lampu klasik bermata tiga yang menggantung melunglai ke bawah menunjukkan itu seperti Kota Tua Texas atau Meksiko yang sering kita lihat dalam film-film produk Amerika.
Ya. Begitulah gambaran singkat lukisan karya Ade Pasker berjudul Money Changger yang dipajang pada pameran tunggalnya bertajuk Apocalypto (150x120 cm) di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 19-29 September mendatang.
Direktur Erasmus Huis, Ton van Zeeland, yang hadir dalam pembukaan pertengahan pekan ini menilai karya-karya Pasker penuh dengan degradasi warna, terutama pada permainan warna-warna gelap yang menggemaskan.
Pada pameran itu, pria kelahiran Sungai Penuh, Kerinci, 9 Agustus 1980, tersebut menghadirkan 64 lukisan yang dibuat pada 2004-2013. Banyak kisah kebudayaan Barat yang tertuang dalam setiap goresan. Itu menunjukkan ada sebuah kecenderungan untuk menafsir dan mengejawantahkan budaya secara global agar ditafsir dengan subjektivitasnya.
Hampir semua karya memang begitu lekat pada ranah ekspresionisme. Pasker mampu mendistorsi keadaan atau kenyataan yang ia jumpai atau lihat dalam perjalanan hidupnya. Mungkin sebagai anak rantau, ia telah menemui banyak hal. Tengok saja karya berjudul Black Coconut (100x120 cm, 2013). Sebuah kehidupan di tepi pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pasker tak memperhatikan estetika di sini.
Kehidupan Maya
Terlepas dari beberapa karya yang cenderung tidak bertema, Pasker mampu membangun sebuah tema besar tentang kehidupan suku Maya. Itu tergambar dari judul Apocalypto (Awal Baru) yang diilhami dari judul film garapan Mel Gibson pada 2006.
Pada film tersebut, ada kehidupan peradaban suku Maya, terutama pada masa periode Plaksik. Masa tersebut sering dikenal dengan sebuah peradaban priÂmitif yang hidup dengan konflik di sekitar Terusan Panama di Benua Amerika. Diperkirakan, itu telah ada pada 1800 sebelum Masehi.
Kendati demikian, tidak semua kisah dalam film tersebut dituangkan ke dalam kanvas. Pasker hanya mengambil petilan-petilan, terutama pada tokoh Jaguar Paw.
“Saya suka di penggalan cerita yang mengisahkan perjuangÂan seorang istri yang melahirkan anaknya di dalam air dan selamat,†tuturnya menanggapi judul pameran tunggal ketiganya itu.
Karya Stylist (100x100 cm) menghadirkan multitafsir terhadap tema yang Pasker usung. Ia bermain di ranah budaya suku Maya, tetapi tidak begitu tergambar dalam setiap lukisan secara nyata.
Dalam karya-karya lainnya, Pasker menghadirkan kehidupan glamor. Ada sekawanan orang yang sedang bersulang menikmati bir seperti terlihat pada Cheers (200x180 cm, 2011) hingga bunga desa yang menjadi rebutan para lelaki di kampung seperti Mahadewi (150x200 cm, 2011).
Terlepas dari tema yang beragam, ada sebuah benang merah, terutama pada kehidupan objek-objek manusia yang lebih terkesan kebarat-baratan. Ia mampu menunjukkan diri tak sekadar pelukis, tetapi juga sebagai ‘pemerhati sejarah’ suku Maya.
Gaya ekspresionisme yang ada mengingatkan kita langsung pada karya-karya abad XX meskipun sebenarnya sebagian lukisan Pasker lebih dekat dengan gaya manerisme. Bisa saja ia terpengaruh itu saat masih duduk di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Malam itu, Pasker menjadi orang paling bahagia. Ia mendapatkan ucapan selamat dari rekan-rekannya. Istrinya, Sri Purnama Dewi, 33, Suhartini, 64 (mertua), dan putrinya, Anisa Hilma Salsabila, 3,5, ikut merayakan kemeriahan. “Ibu, ayah, fotoin dong,†ujar Hilma seraya bergaya di depan sebuah lukisan ayahnya. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
No comments:
Post a Comment