-- Rudy Polycarpus
JURNALIS Media Indonesia Iwan Kurniawan menelurkan buku kumpulan puisinya bertajuk Rontaan Masehi. Sebelumnya, Iwan pernah menghasilkan buku kumpulan puisi Tapisan Jemari pada 2005.
Puisi yang Iwan pilih bukan puisi yang menjadi judul buku tersebut, melainkan berjudul Penantian. Puisi itu ditujukan kepada kekasih hatinya, Clara Rondonowu. Kau mengeluarkan madu//menetesi langit-langit//pun jatuh ke bumi// semut-semutmengerumutinya// kau melilah kenangan// meluruhi waktu yang hampir gelap// serpihan angin memecah kaca// kau tunduk di depan pintu// menanti mahar di tengah musim penghujan.
Buku ini berangkat dari kegelisahan Iwan akan pergolakan kondisi sosial yang ia tuangkan lewat serangkaian kata yang kaya akan diksi. Tengok saja puisi berjudul Sambal Kehidupan yang terinspirasi demo buruh di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.
“Buku saya ini berisi gambaran tentang Indonesia, serta pergolakan-pergolakan di dalamnya,†kata Iwan dalam peluncuran buku terbitan Terbit Press di Pusat Dokumentasi Sastra, HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin.
Buku setebal 95 halaman ini berisi karya-karyanya dalam kurun 2005-2013 sejak ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Padjajaran. Karena itu, kata pengagum Wiji Tukul itu, proÂses pengumpulan karya-karya lawasnya tidaklah mudah. “Saya harus mencari lagi karya-karya saya di Bandung dulu.â€
Sederet seniman dan sastrawan turut hadir dalam peluncuran buku ini, seperti pemerhati sastra sekaligus mantan jurnalis Media Indonesia Djadjat Sudrajat, sastrawan Gerson Poyk, Syahnagra Ismail, serta Mudji Sutrisno.
Djadjat mengatakan sebagian besar karya Iwan banyak mengeksploitasi kemuraman dan kecemasan meski judulnya terkesan riang penuh kegembiraan.
“Sebagian karya Iwan kala dia duduk di bangku kuliah. Saya kira, sebagai mahasiswa memang harus gelisah dengan kondisi sosial. Sajak-sajak ini memang banyak menawarkan kemuraman,†ujarnya.
Di sisi lain, Djadjat juga mengkritisi buku ini. Sebagai penyair muda, kata Djadjat, Iwan harus menemukan karakteristiknya sendiri dan mengurangi pengaruh-pengaruh sastrawan lain ketika menghasilkan suatu karya.
“Ada juga beberapa pemakaian diksi yang tidak perlu. Tapi tidak apa, ini bagian dari proses dan interpretasi masing-masing,†tuturnya.
Mozaik kehidupan
Sementara itu, Gerson menyebut puisi-puisi lelaki kelahiran Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu berisi pelbagai mozaik kehidupan.
Sebagai jurnalis, kata Gerson, ia melihat sisi humanis yang kental seperi karyanya yang berjudul Jeruji Jiwa, Mawar Hitam, Bahasa Angin, serta Ziarah. Sastrawan kawakan itu berharap Iwan mampu menjadi penyair andal di Tanah Air.
Selain itu, Putu Wijaya menulis sederet komentar di buku ini. “Iwan memberikan pengalaman batin kepada orang lain. Kadang ada yang gampang masuknya, ada pula yang sulit. Tapi tak apa-apa, karena investasi kultural tak ada batasnya,†tulis dia.
Adapun mantan Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta Syahnagra Ismail berpendapat sajak-sajak Iwan bak rendaman jiwa yang membawa pembacanya terbang masuk ke celah-celah lukisan hidup yang menarik.
Sajak-sajak ini banyak merekam beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Tak jarang ia larut dengan kerinduannya kepada kampung halamannya. Terutama, ketika masa referendum Timor Leste pada 1999. Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi 29 judul puisi, sedangkan pada bagian kedua terdapat 34 judul puisi.
Iwan menjaga daya literer dan kepekaan baÂtinnya. Dia tetap berkarya. Bisa jadi, dengan bersajak, segala rasa kerinduan hingga kecemasan terhadap kondisi sosial bisa sedikit terlunaskan lewat puisi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
JURNALIS Media Indonesia Iwan Kurniawan menelurkan buku kumpulan puisinya bertajuk Rontaan Masehi. Sebelumnya, Iwan pernah menghasilkan buku kumpulan puisi Tapisan Jemari pada 2005.
Puisi yang Iwan pilih bukan puisi yang menjadi judul buku tersebut, melainkan berjudul Penantian. Puisi itu ditujukan kepada kekasih hatinya, Clara Rondonowu. Kau mengeluarkan madu//menetesi langit-langit//pun jatuh ke bumi// semut-semutmengerumutinya// kau melilah kenangan// meluruhi waktu yang hampir gelap// serpihan angin memecah kaca// kau tunduk di depan pintu// menanti mahar di tengah musim penghujan.
Buku ini berangkat dari kegelisahan Iwan akan pergolakan kondisi sosial yang ia tuangkan lewat serangkaian kata yang kaya akan diksi. Tengok saja puisi berjudul Sambal Kehidupan yang terinspirasi demo buruh di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.
“Buku saya ini berisi gambaran tentang Indonesia, serta pergolakan-pergolakan di dalamnya,†kata Iwan dalam peluncuran buku terbitan Terbit Press di Pusat Dokumentasi Sastra, HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin.
Buku setebal 95 halaman ini berisi karya-karyanya dalam kurun 2005-2013 sejak ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Padjajaran. Karena itu, kata pengagum Wiji Tukul itu, proÂses pengumpulan karya-karya lawasnya tidaklah mudah. “Saya harus mencari lagi karya-karya saya di Bandung dulu.â€
Sederet seniman dan sastrawan turut hadir dalam peluncuran buku ini, seperti pemerhati sastra sekaligus mantan jurnalis Media Indonesia Djadjat Sudrajat, sastrawan Gerson Poyk, Syahnagra Ismail, serta Mudji Sutrisno.
Djadjat mengatakan sebagian besar karya Iwan banyak mengeksploitasi kemuraman dan kecemasan meski judulnya terkesan riang penuh kegembiraan.
“Sebagian karya Iwan kala dia duduk di bangku kuliah. Saya kira, sebagai mahasiswa memang harus gelisah dengan kondisi sosial. Sajak-sajak ini memang banyak menawarkan kemuraman,†ujarnya.
Di sisi lain, Djadjat juga mengkritisi buku ini. Sebagai penyair muda, kata Djadjat, Iwan harus menemukan karakteristiknya sendiri dan mengurangi pengaruh-pengaruh sastrawan lain ketika menghasilkan suatu karya.
“Ada juga beberapa pemakaian diksi yang tidak perlu. Tapi tidak apa, ini bagian dari proses dan interpretasi masing-masing,†tuturnya.
Mozaik kehidupan
Sementara itu, Gerson menyebut puisi-puisi lelaki kelahiran Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu berisi pelbagai mozaik kehidupan.
Sebagai jurnalis, kata Gerson, ia melihat sisi humanis yang kental seperi karyanya yang berjudul Jeruji Jiwa, Mawar Hitam, Bahasa Angin, serta Ziarah. Sastrawan kawakan itu berharap Iwan mampu menjadi penyair andal di Tanah Air.
Selain itu, Putu Wijaya menulis sederet komentar di buku ini. “Iwan memberikan pengalaman batin kepada orang lain. Kadang ada yang gampang masuknya, ada pula yang sulit. Tapi tak apa-apa, karena investasi kultural tak ada batasnya,†tulis dia.
Adapun mantan Sekretaris Dewan Kesenian Jakarta Syahnagra Ismail berpendapat sajak-sajak Iwan bak rendaman jiwa yang membawa pembacanya terbang masuk ke celah-celah lukisan hidup yang menarik.
Sajak-sajak ini banyak merekam beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Tak jarang ia larut dengan kerinduannya kepada kampung halamannya. Terutama, ketika masa referendum Timor Leste pada 1999. Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi 29 judul puisi, sedangkan pada bagian kedua terdapat 34 judul puisi.
Iwan menjaga daya literer dan kepekaan baÂtinnya. Dia tetap berkarya. Bisa jadi, dengan bersajak, segala rasa kerinduan hingga kecemasan terhadap kondisi sosial bisa sedikit terlunaskan lewat puisi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
No comments:
Post a Comment