Sunday, September 15, 2013

[Alinea] Menangisi (Hampir) Lenyapnya Kosakata Melayu Lama

-- Darwin

KETIKA ibu saya menggunakan kata-kata Melayu lama seperti bukat (kotor), tingkap (jendela), kasut (sandal), sudu (sendok) dan beragam kata ‘usang’ lainnya saat berbicara di rumah, adik-adik saya yang lahir sekitaran 1990-an hingga 2000-an langsung tertawa sekaligus sinis. Mereka mengolok-olok kosakata Melayu lama ini dengan mengatakan sudah ketinggalan zaman alias kuno. Mereka malu menggunakannya karena tidak relevan dengan zaman di mana mereka hidup saat ini. Inilah salah satu paradoks abad modern. Abad yang saya anggap merusak keindahan bahasa dan ragam kosakata.

Jangankan generasi ’90-an, generasi yang lahir di dekade ’80-an pun sudah jarang menggunakan kata-kata di atas. Setidaknya, inilah yang terjadi di lingkungan penulis lahir dan besar, yakni Kabupaten Pelalawan, Riau. Zaman yang berubah memang memengarungi gaya hidup, tak terkecuali bahasa mereka. Mereka ada dan hidup di zaman teknologi informasi yang ‘menggila’ saat ini. Buaian siaran teve ala Jakarta yang menggunakan bahasa gaul, media sosial Facebook atau Twitter yang luwes -begitu mudahnya informasi terkait bahasa gaul tersebar di media jenis ini-, dan bahasa pesan pendek (sms) yang dipadatkan sedemikian rupa membuat mereka merasa asing dengan bahasa ibu mereka. Padahal, seharusnya bahasa ini adalah bahasa sehari-hari mereka karena dipercakapkan di rumah, minimal oleh generasi orangtua mereka. Dan, jika dicek di kamus, bahasa-bahasa di atas akan mudah ditemui di dalamnya.

Inilah salah satu fenomena bahasa yang layak ditelisik sekaligus ditangisi, untuk kemudian dijadikan bahan refleksi. Kita sebagai pencinta bahasa Indonesia tentunya prihatin dengan lupanya orang-orang Melayu generasi sekarang dengan bahasa yang sudah lama terpacak di Bumi Melayu ini. Seandainya kata-kata Melayu lama ini tidak terdapat di dalam kamus Bahasa Indonesia, entah apalah nasib kata-kata ini di masa mendatang. Padahal, tidak semua kata-kata ini termaktub di dalam kamus. Masih banyak kata-kata Melayu lama yang belum terdapat di dalam kamus. Bahasa-bahasa ini bahkan sudah jarang dituturkan oleh generasi tua. Lambat laun kata-kata ini akan lenyap ditelan zaman jika tidak ada pengarsipan dalam bentuk tulisan, bisa kamus, bisa juga sastra. Misalnya, kata-kata seperti gerbuk (almari), lopak (taruh), dukuh (kalung), subang (anting), kasat (tujuan), dan lain sebagainya.

Peran Sastrawan
Terkait bahasa Melayu lama ini, menarik apa yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam novel-novelnya. Terutama novelnya Arus Balik. Dalam novel berlatar Nusantara pasca-runtuhnya Majapahit ini, Pram menggunakan bahasa Melayu lama seperti ditunu (dibakar), seluar (celana), tegah (cegah), dan para-para (lekukan kayu di dinding) dan lainnya. Hal ini saya ketahui sebelumnya dari tulisan cerpenis Linda Christanty yang mengupas sosok Pram di dalam buku Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam, dan Gay (Gramedia, 2009). Setelah membaca tulisan Linda ini, saya tertarik untuk membaca novel Arus Balik. Setelah saya cek, ternyata memang terdapat beberapa ejaan Melayu lama di dalamnya. Memang inilah ciri khas Pram dalam novel-novelnya.

Satu lagi yang tidak kalah menarik adalah ketika saya membaca resensi buku teman saya, Yasser Arafat, di Harian Kompas edisi 23 Januari 2011. Dalam resensi ini, Yasser Arafat menggunakan bahasa Melayu lama dengan sangat memukau. Ia menggunakan kata-kata seperti menujah (menikam), mencekau (mengejar/menggapai), menggemal (memegang), dan beberapa kata khas Melayu lainnya.

Dalam persastraan Riau, kita sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan diksi Melayu lama nan manis ini. Sastrawan dan budayawan seperti Taufik Ikram Jamil, Hasan Junus, Tenas Effendi, Yusmar Yusuf, atau yang belakangan ada Fakhrunnas Ma Jabbar, selalu menyelipkan kata-kata Melayu lama -terkadang sangat khas Riau- ke dalam guratan kata yang terdedahkan di novel, cerpen, puisi, dan esai yang mereka torehkan. Fakhrunnas, misalnya, di dalam kumpulan cerpennya Sebatang Ceri di Serambi (Akar Indonesia, 2005) menaruh kata-kata seperti reban ayam, semput, bertekak, dan tali ampaian di dalamnya. Begitu pun dengan Taufik Ikram Jamil dalam kumpulam puisinya Tersebab Aku Melayu (Yayasan Pusaka Riau, 2010) akan tersua kata-kata seperti menyukat, mengota, berganjak, bergarit, memunggah, dan banyak lagi lainnya.

Beginilah seharusnya para pemain kata (sastrawan) -para penyair, cerpenis, dan novelis- memperlakukan bahasa. Tidak hanya sekadar menulis cerita dan merangkai kata, tetapi mereka adalah duta penyelamat bahasa Melayu lama yang sudah jarang dihadirkan di tengah-tengah publik yang dijejali ragam informasi saat ini. Apalagi, yang ditakutkan adalah menghegemoninya para penulis muda dengan bahasa gaul di masa mendatang. Jika bukan bahasa gaul pun, selama itu adalah konstruk Jawa, tetap saja akan memunahkan bahasa Melayu lama di atas tadi. Apalagi kalau karya-karya mereka best seller. Para pembaca di seantero Nusantara secara otomatis akan terjejali kosakata-kosakata model baru, karena kita tahu yang best seller di negeri ini selalu diburu, tanpa memedulikan kualitas tulisan.

Akhirnya, menjadi kewajiban bagi kita semua tanpa terkecuali untuk kembali mengingat dan membiasakan lidah kita untuk mengeja bahasa Melayu lama. Sudah sepatutnya kosakata ini kita gunakan dalam keseharian di rumah, di lingkungan kampung tempat kita tinggal, juga di tulisan-tulisan yang kita torehkan di media massa. Ketika kita berinteraksi dengan anggota keluarga, bahasa lama ini juga bisa menjadi ajang transformasi kepada anak-anak kita. Untuk menutup tulisan ini, saya kutipkan sepenggal kalimat dari ibu saya: ‘’Ditogah (di tegah) budak-budak tu bergurau di halaman, hari lagi maghrib, tidak baik!’’***

Darwin, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
   
Sumber: Riau Pos, Minggu, 15 September 2013

No comments: