Sunday, September 15, 2013

[Tifa] Mengukir Sejarah Pelelangan Karya Masterpiece

PEMEO yang berkembang dalam dunia lukis tentang ‘Hidup itu pendek, karya itu abadi’ menjadi hal yang sering dikumandangkan dalam berbagai perbincangan ilmiah tentang seni lukis di dunia, termasuk Indonesia.

Demikianlah dengan karya-karya masterpiece pelukis Tanah Air seperti Affandi Koesoema, Basoeki Abdullah, S Sudjojono, Hendra Gunawan, dll. Semuanya memiliki nafas dan jiwa sehingga masih bisa dilihat dan dinikmati oleh orang banyak.

Lewat Masterpiece Auction House, karya-karya para maestro akan dilelang di Grand Ballroom, Hotel Kempinski Indonesia, pada 22-23 November mendatang. Pelelangan ini akan menjadi sejarah baru karena direncanakan bakal menggebrak harga jual lukisan Affandi senilai Rp1.020.000.000 (rekor tertinggi saat itu di Indonesia) yang dilakukan pada 27 Juli 2003. Hasil lelang saat itu mencapai Rp6.081.800.000.

Lewat lelang kali ini, panitia mencoba untuk memberikan sebuah angin segar bagi perkembangan dunia lelang di Asia. Apalagi, Jepang dan Singapura masih menjadi raja Asia dalam pelelangan seni lukis dalam dua dasawarsa terakhir ini.

“Rumah lelang memiliki kontribusi penting dalam sebuah negara. Di Inggris, Italia, dan Amerika Serikat, pelelangan dilakukan untuk mendongkrak karya seniman. Ini yang akan kami lakukan juga di Indonesia,” ujar AB Susanto, pendiri Masterpiece Auction House dalam jumpa pers di Jakarta, pekan lalu.

Dalam sejarah pelelangan karya seni, rumah lelang di seantero dunia menjadi penopang perekonomian. Banyak rumah lelang yang sudah berusia ratusan tahun. Beberapa di antaranya ialah Christie’s, rumah lelang yang didirikan pada 1766, Sotheby’s (1744), dan Dorotheum (1707).

Lalu ada Mallams (1788), Bonhams (1793), Phillips de Pury & Company (1796), Freeman’s (1805), dan Lyon & Turnbull (1826). Semuanya masih bertahan hingga kini. Bahkan rumah lelang tertua di dunia adalah Stockholms di Swedia yang didirikan pada 1674.

Karya berkualitas

Pada perkembangannya hingga kini, dua rumah lelang pada 2012 masih bersaing ketat. Christie berhasil membukukan penjualan sebesar 6,27 miliar dolar AS, sedangkan Sotheby’s membukukan penjualan sebesar 5,4 miliar dolar AS.

“Dari data dan perbandingan yang ada. Sudah waktunya kami mendukung pelelangan karya maestro Indonesia. Ini berguna untuk menunjukkan karya-karya berkualtias dunia juga ada di sini,” jelas Susanto.

Belum lama ini, karya pelukis tersohor Italia, Amedeo Modigliani, laku terjual di sebuah rumah lelang di London senilai 42,1 juta dolar AS. Lalu, lukisan Apres Le Dejeuner karya Berthe Morison, pelukis terkenal abad ke-19 asal Prancis terjual dengan nilai lelangnya sebesar US$10,9 juta. Tiga kali di atas perkiraan pengamat. Tak hanya itu, karya Pablo Picasso berjudul Woman Sitting Near a Window laku terjual 45 juta dolar AS. Sementara itu, lukisan Salvador Dali berjudul Potrait of Mrs Harrison Williams dihargai sebesar US$3,6 juta.

Kini, pada pelelangan karya-karya maestro Indonesia nanti, ada lima kurator ternama yang akan terlibat dalam penentuan karya. Mulai kualitas, keaslian, hingga keterampilan karya para maestro.

Sayangnya, kelima nama orang itu masih menjadi rahasia. Apalagi, pihak rumah lelang Masterpiece Auction House tidak mau membuat sebuah spekulasi dalam keobjektivitas penentuan karya.

Benny Raharjo, pemerhati seni, yang terlibat dalam pelelangan itu mengaku keberadaan rumah lelang menjadi sebuah hal penting dalam mendukung nilai karya seni di Indonesia. “Sudah waktunya, kita jadi pusat perhatian Asia. Ini yang kami lakukan sekarang,” tegasnya.

Pelelangan karya-karya masterpiece Indonesia akan menjadi sejarah baru dalam mendukung gengsi para pelukis yang sudah meninggal hingga yang masih hidup. Namun, apakah pelelangan itu dapat menjadi sebuah barometer bagi keuntungan seniman atau pelukis? Sejatinya, tidak hanya nama senimanlah yang melambung, tetapi kehidupan mereka dan keluarga pun setidaknya terjamin lewat penjualan karya. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013

No comments: