-- Iwan Kurniawan
RAUT wajah Rose Pandanwangi, istri almarhum S Sudjojono, tampak tenang saat diminta foto bersama para undangan. Ia berjalan perlahan menuju atas beranda yang ada tepat di depan pintu masuk gedung utama Galeri Nasional, Jakarta.
Pada pameran itu, panitia menghadirkan karya-karya Sudjojono yang dibuat semasa hidupnya. Maklum, pameran itu sebagai 100 tahun meÂngenang sang maestro. Ada dokumentasi tulisan dan foto-foto yang dipilih secara kolektif.
“Konteks pameran ini tentang gambaran yang hidup hari ini. Generasi yang sudah berjarak 100 tahun dengan Sudjojono. Kita dapat membangun pemahaman terhadap sosok ini melalui cerita, dongeng, mitos, literatur, dan artefak,†ujar kurator Suwarno Wisetrotomo di sela-sela pembukaan.
Dalam pameran yang berlangsung pada 20 September-6 Oktober itu, puluhan karya Sudjojono dipajang. Memang, karya-karya koleksi itu ada setiap hari bila kita mengunjungi Galeri Nasional. Namun, ada yang berbeda, terutama kehadiran Rose di pameran itu.
Memperhatikan karya-karya yang dipajang, terutama milik Sudjojono, memang cukup memberikan pengetahuan lebih, terutama pada gaya realisme yang ada dalam berbagai karya yang dibuat semasa hidup. Karya berjudul Rose Pandanwangi Istriku (1959) memiliki corak yang unik. Rose muda sedang duduk dengan menggunakan selendang di kepalanya. Ia menaikkan kedua tangan di atas pahanya.
Sudjojono memang terkenal dengan corak yang cukup kontroversial. Ia menjadi salah satu tokoh Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan pada 1938. Ia banyak mengÂinspirasi pemikiran dan penciptaan seni rupa di Tanah Air. Beragam tema ia jadikan dasar gubahan untuk karya-karya seni lukisnya. Kita pasti mengingat sejumlah karyanya yang khas. Semisal, Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Kawan-Kawan Revolusi (1947), Seko, Perjuangan (1984), dan Perusing a Poster (1956).
Pada pameran tersebut, selain karya Sudjojono, ada pula karya 14 perupa lainnya. Mereka adalah perupa (pelukis) yang diundang karena dinilai terpengaruh dan terinspirasi oleh pemikiran Sudjojono. Keempat belas pelukis yaitu Agung Mangu Putra, Alfi, Asmudjo J Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo, Seruni Bodjawati, dan Sigit Santoso.
Warisan kepercayaan
Rizki A Zaelani menilai wawasan realisme Sudjojono akan terus hidup sebagai warisan kepercayaan sikap berkarya seni bagi banyak seniman di Tanah Air hingga kini.
Tema tentang sikap kepahlawanan Sudjojono pada kolonialisme bergeser menjadi tema-tema lainnya seperti respons resistensi terhadap arus kekuatan pengaruh ‘Westernisasi’ bahkan hingga kini mengenai keadaan globalisasi dunia.
“Realisme Sudjojono tetap lebih meyakinkan dalam caranya meletakkan pemikiran fondasional mengenai pentingnya otonomi subjektif seniman jika dibandingkan dengan konsep seni berdasarkan teori determinasi sosial,†jelas Rizki.
Pameran tersebut cukup khas. Ada berbagai karya Sudjojono semasa hidupnya. Sebut saja Maka Lahirlah Angkatan 66 (100x85, 1966), Ada Orkes, dan High Level, hingga Anak-Anak Main Perang-perangan (sketsa).
Nazirun lewat karyanya, Di Dalam Kelambu Tertutup (200x390, 2013), misalnya, menghadirkan seorang lelaki yang sedang tidur menghadap ke kanan. Ada sebuah pesan realisme yang dibangun para pendahulu menjadi sebuah studi untuk ditelaah dan dihayati generasi masa kini.
Karya-karya Sudjojono hingga 14 perupa menunjukkan ada kesamaan, terutama pada rasa kebangsaan yang dituangkan lewat karya lukis yang tentunya abadi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
RAUT wajah Rose Pandanwangi, istri almarhum S Sudjojono, tampak tenang saat diminta foto bersama para undangan. Ia berjalan perlahan menuju atas beranda yang ada tepat di depan pintu masuk gedung utama Galeri Nasional, Jakarta.
Pada pameran itu, panitia menghadirkan karya-karya Sudjojono yang dibuat semasa hidupnya. Maklum, pameran itu sebagai 100 tahun meÂngenang sang maestro. Ada dokumentasi tulisan dan foto-foto yang dipilih secara kolektif.
“Konteks pameran ini tentang gambaran yang hidup hari ini. Generasi yang sudah berjarak 100 tahun dengan Sudjojono. Kita dapat membangun pemahaman terhadap sosok ini melalui cerita, dongeng, mitos, literatur, dan artefak,†ujar kurator Suwarno Wisetrotomo di sela-sela pembukaan.
Dalam pameran yang berlangsung pada 20 September-6 Oktober itu, puluhan karya Sudjojono dipajang. Memang, karya-karya koleksi itu ada setiap hari bila kita mengunjungi Galeri Nasional. Namun, ada yang berbeda, terutama kehadiran Rose di pameran itu.
Memperhatikan karya-karya yang dipajang, terutama milik Sudjojono, memang cukup memberikan pengetahuan lebih, terutama pada gaya realisme yang ada dalam berbagai karya yang dibuat semasa hidup. Karya berjudul Rose Pandanwangi Istriku (1959) memiliki corak yang unik. Rose muda sedang duduk dengan menggunakan selendang di kepalanya. Ia menaikkan kedua tangan di atas pahanya.
Sudjojono memang terkenal dengan corak yang cukup kontroversial. Ia menjadi salah satu tokoh Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan pada 1938. Ia banyak mengÂinspirasi pemikiran dan penciptaan seni rupa di Tanah Air. Beragam tema ia jadikan dasar gubahan untuk karya-karya seni lukisnya. Kita pasti mengingat sejumlah karyanya yang khas. Semisal, Di Depan Kelambu Terbuka (1939), Kawan-Kawan Revolusi (1947), Seko, Perjuangan (1984), dan Perusing a Poster (1956).
Pada pameran tersebut, selain karya Sudjojono, ada pula karya 14 perupa lainnya. Mereka adalah perupa (pelukis) yang diundang karena dinilai terpengaruh dan terinspirasi oleh pemikiran Sudjojono. Keempat belas pelukis yaitu Agung Mangu Putra, Alfi, Asmudjo J Irianto, Deden Sambas, Diyanto, Entang Wiharso, Hafiz, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, Pupuk Daru Purnomo, Seruni Bodjawati, dan Sigit Santoso.
Warisan kepercayaan
Rizki A Zaelani menilai wawasan realisme Sudjojono akan terus hidup sebagai warisan kepercayaan sikap berkarya seni bagi banyak seniman di Tanah Air hingga kini.
Tema tentang sikap kepahlawanan Sudjojono pada kolonialisme bergeser menjadi tema-tema lainnya seperti respons resistensi terhadap arus kekuatan pengaruh ‘Westernisasi’ bahkan hingga kini mengenai keadaan globalisasi dunia.
“Realisme Sudjojono tetap lebih meyakinkan dalam caranya meletakkan pemikiran fondasional mengenai pentingnya otonomi subjektif seniman jika dibandingkan dengan konsep seni berdasarkan teori determinasi sosial,†jelas Rizki.
Pameran tersebut cukup khas. Ada berbagai karya Sudjojono semasa hidupnya. Sebut saja Maka Lahirlah Angkatan 66 (100x85, 1966), Ada Orkes, dan High Level, hingga Anak-Anak Main Perang-perangan (sketsa).
Nazirun lewat karyanya, Di Dalam Kelambu Tertutup (200x390, 2013), misalnya, menghadirkan seorang lelaki yang sedang tidur menghadap ke kanan. Ada sebuah pesan realisme yang dibangun para pendahulu menjadi sebuah studi untuk ditelaah dan dihayati generasi masa kini.
Karya-karya Sudjojono hingga 14 perupa menunjukkan ada kesamaan, terutama pada rasa kebangsaan yang dituangkan lewat karya lukis yang tentunya abadi. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 22 September 2013
No comments:
Post a Comment