-- Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sai Gergaji
Simpaian Nilai-nilai Ke-Islam-an Karangan UU Hamidy
Keyakinan terhadap kebenaran Diin al-Islaam yang terpateri di sanubari tiap pribadi, akan terepleksi bijak pada tindak hidup dan kehidupan keseharian. Implementasi da-ri keyakinan yang melekap mantap pada batin tiap pribadi itu akan terlihat pula mencuat kuat pada perbuatan kerja dan karya sosial, politik, dan budayanya.
Jika suatu keyakinan terhadap sesuatu (ajaran, isme, faham, sistem nilai, ideologi = Diin) telah terbentuk dan merasuk merata pada masyarakat, dia akan menjadi ciri jati budaya bahkan peradabannya. Tingkah polah, dan olah karya, serta gerak hidup (buda-yanya) sentiasa dijiwai pula oleh keyakinan yang bersemi kuat di batinnya itu. Pancar-an sinar kebenaran Diin al-Islam sejak diproklamirkan bersebati dengan Melayu, meng-alir dan padu pula pada zahir karya resam, adat, bahasa, sastra, dan budayanya. (Ani-mistis yang menitis sebelumnya pelan-pelakan ditapis, bahkan dikikis, meski belum da-pat dikuis habis. Begitu pula nafas ke-Hindu-an tidak lagi dihidu dan disudu lagi - walau hingga sekarang masih ada juga sisa baunya).
U(mar) U(sman) Hamidy telah mampu dengan mumpuni menghimpun, menyusun, dan menuliskan berbagai karangan tentang empedu Diin al-Islam yang padu pada buda-ya Melayu itu. Hingga Shafar 1433 H (Januari 2012) telah lebih lima puluh bukunya yang diterbitkan, meski di antaranya ada pada kumpulan bersama pengarang lain dan karangan bersama. Buku-buku karangannya yang meliputi pendidikan, bahasa, sastra, seni, sosial budaya, dan sosial politik tak luput merajut dari pancaran kebenaran Islam. Sulit kita menemukan karangannya yang tak diramu dengan nafas nuansa ke-Islam-an.
Keinginan menjadikan tulisannya sebagai upaya dakwah, supaya memasyarakat dikirimkan ke berbagai suratkabar agar dapat dibaca oleh khalayak luas. Suratkabar ingin pula dijadikannya sebagai media dakwah. Maka, pada diskusi tentang ‘Problema-tika Mass Media Islam’ yang ditaja Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Koordinator Wila-yah (Korwil) Riau pada 17 Muharom 1407 H (21 September 1986), makalahnya yang berjudul ‘’Beberapa Masalah Media Islam’’, dia mempertanyakan tiga hal; 1) mengapa masyarakat Indonesia (yang sebagian besar ummat Islam) kurang tertarik membaca me-dia Islam, 2) apa sebabnya media Islam kurang menarik bagi ummat Islam, 3) persoalan apa yang ada pada ummat Islam sehingga mereka kurang tertarik membaca media Is-lam. Meski telah berlalu 27 tahun, pertanyaannya masih relevan. Relevansi pertanyaan itu karenba hingga sekarang mass media Islam tak kunjung dapat maju, bahkan yang sudah ada dan pernah sempat jaya tak pula lagi terbit, misalnya SKH Terbit (Jakarta), majalah Panji Masyarakat, ‘’Nasihat Perkawinan, dan Harmonis’’ yang ketiga-tiganya terbit di Jakarta. Jika pun mass media Islam itu terbit, jumlah oplahnya tak dapat menyaingi terbitan umum. Namun beberapa novel bernuansa Islam ada yang best seller books.
Keyakinan yang terpateri mapan di hatinya benar-benar dihayatinya dengan ketaat-an yang kuat kepada Allah Rabb al-’Izzati. Buku yang judulnya tak menyiratkan Islam, Bahasa Melayu dan Kreatifitas Sastra di Daerah Riau (1994) gambar sampul kulitnya ‘Muhammad Bertangkup’ lambangKerajaan Siak. Firman Allah pada Q.S. 68, al-Qolam: 1-7 difahaminya dengan penghayatan dan pengamalan yang dalam dan total kental.
Nun,
Demi qolam (pena penaka) dan apa-apa yang di tuliskan mereka
Dengan karunia dari Rabb,
Anda bukanlah orang ( berkata-kata secara kalap, dek) gila
Dan, sesunguhnya Anda pasti
memperoleh ganjaran besar terus berterusan
Dan sesungguhnyalah sungguh
Anda sungguh berakhlaq agung teguh
Dan, (kelak Anda) Anda kelak
akan melihat sebagaimana pula mereka menampak
Siapakah nian di antara Anda (yang) gila (bertindak)
Sungguh Rabb Anda sungguh
Dialah yang mengetahui dengan sesungguhnya
Yang tersesat dari jalan lebuhNya
Dan Dialah pula yang mengetahui (pasti)
Siapa saja yang menatang hidayah haqiqi
UU Hamidy dengan piawai telah menyimpai bias tempias nilai-nilai ke-Islam-an (teks) bahasa, sastra, dan budaya (Melayu) pada senarai rangkaian tulisan dan puluh-an buku karya karangannya yang telah diterbitkan bebagai penerbit. Cecah basah kalam dan dawat ma’rifat para pengarang Melayu, dan resam adat budaya Melayu dengan cermat dan petah telah berhasil pula dengan sangkil dinukilkan UU Hamidy pada berbagai karangannya. Penerokaannya dari (teks) bahasa-sastra-budaya itu ada yang diben-dangkannya tersirat, terselip-selit inplisit sebagai percikan dari renjisan nilai-nilai ke Islam-an. Ada kalanya pula nilai-nilai ke-Islam-an itu dibentangkannya dengan jelas dan gamblang (eksplisit). Secara keseluruhan dapatlah ditegaskan, bahwa semua karya karangan UU Hamidy tak lepas dari nafas ke-Islam-an. Sebagai catatan awal, tulisan ini hanya setakat mencatatnya sekuat dapat hanya sebagai ulasan sekilas saja. (Mudah-mudahan dikaruniakan Allah kekuatan dengan qudrah dan irodahNya untuk mengung-kapkan lebih lengkap lagi dari berpuluh-puluh buku karangannya kelak).
Tampaknya UU Hamidy memang rela berenang dan bergelimang dengan beraneka kajian yang diterokanya. Tapi dia tak mau hanyut dibawa arus kencang pemikiran yang pincang. Lebih-lebih lagi dia tak hendak tenggelam direntak ‘hantu laut’ pemikiran. Dia tulus bertungkus lumus terus menerus mengguratkan rumusan hasil kaji-annya berupa tulisan lepas dan berbentuk buku. Dia tak pernah gamang menuangkan cahaya terang kebenaran Diin al-Islam. Keislamannya diperlihatkannya pula dengan menyertakan titimangsa penerbitanannya dengan bulan dan tahun hijroh. Beberapa bukunya juga me-ngutipkan bebebagai ayat al-Qur’an, dan penggalan kisah-kisah hikmah.
Pernyataan yang amat baik dari UU Hamidy, tentang penegasannya bahwa pertum-buhan dan perkembangan Bahasa Melayu yang kemudian satu di antara cabangnya dise-but Bahasa Indonesia (selain Bahasa Melayu Malaysia, Bahasa Melayu Singapura, Bahasa Melayu Brunei, dan Bahasa Melayu Pattani serta yang lainnya, hssg). Dinyatakan-nya pula, bahwa bahasa yang meningkat peran dan kedudukannya menjadi lingua franka dan bahasa bangsa: akan mampu menimbulkan semangat persaudaraan budaya di lingkungan pengguna bahasa (Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, Unilak Press, Pekanbaru, l1416/ 1995: viii - ix). Hal ini secara tersirat menyatakan bagaimana Allah Yang Mahabijaksana telah menjadikan bahasa berbagai puak suku bangsa yang puncanya menjadikan Bahasa Arab (yang dinobatkan sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa yang diucapkan ketika ibadah sholat) sebagai pengikat ‘semangat persaudaraan’ ummat. (Simak dan baca:Q.S. 49, al-Hujurot: 9, dan 13). Inilah bahasa yang membina semangat persaudaraan budaya dan ‘aqidah (ukhuwwah) seummat yang memintas dan mengatasi bahasa persaudaraan budaya sepuak sesuku saja. Pada buku jolongnya yang bertajuk Bahasa Melayu Riau (1973) - belum secara intrinsik menukik menilik dan memperlihatkan realitas nafas Islam dengan jelas dan tegas. Kadarnya baru hanya seke-dar menakar kecintaan kepada budaya puaknya yang telah berjaya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franka, yang kemudian telah berjasa pula menyumbangkan Ba-hasa Melayu menjadi dasar bahasa negara yang disebut dan dinamakan sebagai Bahasa Indonesia. (Negara boleh saja bernama Indonesia, tapi sepantas dan setepatnya bahasa ini mesti dinyatakan dan disebut sebagai ‘Bahasa Melayu Indonesia’. Bandingkan dengan Amerika dan Australia yang menyebut bahasa mereka bahasa Inggris, tidak de-ngan nama negaranya. Negara lain yang berba-hasa Arab tidak pula menyebut bahasa persatuan mereka dengan nama negaranya!).
Tulisan UU Hamidy tentang ‘Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh’ menyingkapkan torehan sikap ke-Islam-an dari cerita rakyat (puak Melyu) Aceh yang disebut hikayat atau pada ucapan tempatan disebut haba jameun (kabar zaman, hssg). Karangan ini bersama enam karangan (hasil dari Program Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Januari- Desember 1974 di Banda Aceh, sekarang Nangroe Aceh Darussalam) disertai pendahuluan dan tulisan Alfian sebagai editor termuat pada Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Alfian, ed., Jakarta: LP3ES, 1977, khususnya hal. 23-50). Dari penerlitiannya terhadap tiga hikayat - cerita rakyat Aceh - utama dan beberapa hi-kayat lainnya yang menjadi bahan kajian penelitian itu UU Hamidy menyimpulkan, bahwa paling tidak ada enam nilai yang diusung dan terkandung pada hikayat (hal. 44-45) yaitu: moral dan agama, adat, cara (pola, hssg) berfikir, seni dan hiburan, sejarah, dan pengendalian sosial sebagai konsekuensi logis oleh pengaruh nilai-nilai tersebut, terutama pada bidang moral (akhlaq, hssg), adat (resam budaya, hssg) dan agama (Diin al-Islaam, hssg). Jangkauan luas nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi sendi kehi-dupan sosial budaya yang terpintal secara personal-komunal-universal.
Amat cermat pula bagaimana UU Hamidy mengungkap dua sayap makna kata dukun pada budaya dan sikap pandang Melayu. Buku Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (1999) menyatakan bahwa, pedukunan pada prinsip slektif orang Melayu hanya suatu cara menafsirkan alam yang telah Islam menjadi kumulatif totalitas sikap pertalian hubungan alam dan Allah Pencipta Alam (hal.112). Lebih tegas lagi dijelaskannya de-ngan gambaran skematis (hal 113). Pedukunan menjadi semacam ragam tarikat (cara, hssg) merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam. Ada upaya Islamisasi cara pedukunan yang animistis dan hinduistis. Makanya, jika seseorang tidak dapat menduduki jabatan di lembaga pemerintahan, pada zaman dahulu di Rantau Kuantan, memilih posisi menjadi ulama’ atau menjadi dukun (hal. 114). Pada masanya ulama dan dukun sama-sama memiliki peranan besar pada kehidupan masyarakat yang diperlukan para penguasa pa-da sistem adat dahulu (hal. 116). Pada kitab sebelum ini (Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991, 35) dinyatakannya mantera Melayu yang pada tradisi terdahulu diubah dengan doa dan tawar sehingga dunia pedukunan Melayu menjadi semakin condong kepada (cerbong, hssg) nafas dan semangat Islam. Jika pada praktik-nya kemudian menitik kesyirikan, itu terjadi disebabkan takaran ilmu pengetahuan dan keimanannya. Bukankah hinggga setakat ini hal itu masih dapat bersua juga, yang upa-ya meluruskannya harus pula terus menerus diupayakan sekuat daya dan usaha - terutama oleh ulama, tuan guru, dan lebai (ustaz: muballigh dan da’i) yang tulus.
Tangkas pula UU Hamidy mengupas dan mengulas nafas nilai-nilai ke-Islam-an novel Bulang Cahaya (Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007), dan kumpulan sajak Tempu-ling (Pekanbaru: Yayasan Sagang. 2002) dua karya Rida K Liamsi, yang dikatakannya dibahas dalam rangka membaca kebesaran Allah SWT (hal. 15). Novel Bulang Caha-ya yang menjadi novel istimewa di belantara budaya Melayu di Riau, mengesankankan bagaimana adat bersendi syara’ yang belum kokoh dengan mudah menimbulkan kerusuhan atau persengketaan. Ketika nilai Islam mulai bersemi, baik Melayu maupun Bugis berpantang ingkar janji. Pertarungan dengan Belanda hanyalah menang atau (mati, hssg) syahid (husn -al-khotimah, hssg) dengan indah (hal. 21).
Saat mendacing kumpulan sajak Tempuling, UU Hamidy memahami amsal tempuling sebagai semangat hati yang arif, tekad pada sukma yang tawaddu’, sikap pada lengan (keuletan kekuatan, hssg) dan pikiran yang jernih Dia harus tahu bila menikam dan kapan pula menyentak, serta tidak kehilangan semangat ketika tikaman tempulingnya tidak mengena.
Bukunya Demokrasi Direbut Pemimpin Belalang (1433H/ 2012) walau judulnya tak menampakkan ke-Islam-an, muatan isinya kaya dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Pada ‘Pembukaan’ Rangkuman dari 43 tulisan yang pernah dimujat pada SKH Riau Pos Pekanbaru, Serambi dan Harian Aceh (Banda Aceh) disajikan dengan niat beribadah kepada Allah SWT, yang ditulis oleh ‘hamba yang hina dan dhoif. Bagian II buku ini bahkan ber sub titel ‘Orang Melayu dan Islam’ yang diantaranya memuat tulisan berjudul ‘’Mitos dan Syari’ah Islam’’ kajian Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, dan ‘’Adat Bersendi Syara’’’ ditambah 13 tulisan lainnya.
Diakui oleh UU Hamidy dari seluruh kajiannya yang telah diterbit lebih dari 50 buku, tiga di antaranya merupakan sari kajian, yaitu Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan (1989), Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam (199l), dan Nilai Suatu Kajian Awwal (1993). Kalaulah boleh ditambahkan, juga Rahasia Penciptaan (2005). Keempa-empat buku ini dapat dilihat sebagai makrifatullah tekad yang menjadi sikap pandang dan prinsip hidupnya yang tak hendak kerjanya terkatup dan tersungkup dari barokah Allah. Diyakininya tanpa taufiq, rohmat, dan hidayah Allah SWT, dia tak berdaya berbuat apa-apa. ‘’UU Hamidy hanya siapa’’ yang ditulisnya tanpa tanda baca tanya (yang selalu menyertai bukunya yang diterbitkan), tegas menyatakan: kita tak perlu lagi bertanya siapa kita, karena kita hanyalah hamba yang wajib hanya meng-hamba kepada Pencipta dan Penganugerah hidup dan kehidupan hingga maut menjemput: hingga nyawa tiba masanya, hingga ajal menjegal, hingga waktu sampai waktunya.
Tulisnya: manusia yang mampu menghayati pesan kebenaran Ilahi akan mempergunakan potensi budayanya sebagai cara mengabdi kepada Tuhan (Allah, hssg)... se-hingga tampak tindakan budaya itu sebagai kebaikan atau ‘amal sholih. Perjalanan hidup manusia dengan krativitas budayanya tanpa mengindahkan wahyu, hanya akan menye-babkan manusia semakin terikat (kuat dan erat, hssg) kepada benda-benda (sehingga menjerembabkan harapannya menjadi lindap, hssg). Wahyu (Allah-lah, hssg) yang da-pat (meretas sikap materialitas, hssg), membebaskan diri manusia dari belenggu kebendaan (Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan, 1989: 12, 28).
Dituliskan dengan tegas oleh UU Hamidy pada buku Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991: seni maupun ilmu dalam Islam telah berawal (dan di-kawal, hssg) sepenuhnya pada penyerahan diri kepada Allah (hal.35). Tiap keyakinan atau pandangan hidup niscaya membekas dalam tiap karya budaya (hal. 85). Muatan estetika orang Melayu meliput tujuh unsur, yaitu 1) pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar; 2) sindiran halus pergaulan sosial; 3) jalan nasib hamba pada suka dan dukanya; 4) cinta sebagai sentuhan batin; 5) alam sebagai lambang dan kiasan hidup; 6) perulangan pola dan bingkai (hal. 54). Pada kitab ini disertakan pula oleh UU Hamidy tiga lampiran. Lampiran l berupa 17 kutipan beberapa kesenian Melayu di Riau yang ada kilau ke-Islam-annya dan proses peralihannnya menuju Islam. Lampiran 2 berisi 17 kutipan pilihan beberapa puisi dan kisah ke-Islam-an. Lampiran 3 mengutip 13 perumpaan dari ayat-ayat al-Qur’an.
Tentang Nilai, 1413H/1993M, disebutkan UU Hamidy paling kurang ada sepuluh macam yang menarik diperhatikan. Kesepuluh-puluhnya itu l) nilai sebagai arti sesuatu; 2) nilai sebagai makna sesuatu; 3) nilai sebagai peranan sesuatu; 4) nilai sebagai guna sesuatu; 5) nilai sebagai kamampuan atau kepandaian; 6) nilai sebagai sudut pandang; 7) nilai sebagai mutu atau kualitas; 8) nilai sebagai bobot sesuatu; 9) nilai sebagai harga sesuatu, dan 10) nilai sebagai hakikat sesuatu (hal. 2-12). Kemudian disajikannya pula lima belas perbandingan antara sistem nilai budaya dengan sistem nilai Islam (hal 97-98). Ditambahkannya pula sebagai contoh ilustrasi nilai dari cerita, budaya, dan pandangan ulama, serta ayat al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Rahasia Penciptaan, 1425H/2005M, menghimpun karangannya yang pernah di-muat Riau Pos yang dituliskannya dari hasil upayanya menghayati dan memahami al-Qur’an dan hadis Rosulullah SAW. Bagian akhir buku ini (hal.55-89) menyertakan pan-caran hikmah ajaran Islam yang di antaranya kisah, puisi Rabi’ah al-Adawiyah, doa puitis Imam Khomeini (meskipun dia syi’ah, hssg), dan pantun tarikat Rantau Kuantan.
Upaya bersungguh-sungguh dari lelaki kelahiran Rimbo Guloan, Kuantan Singingi, 17 November 1943 ini, yang dengan teguh hingga usia menjelang tujuh puluh tahun, patut salut disyukuri. Sarjana Alumnus Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang (1970) dan MA Fakultas Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, yang berpuluh tahun pula menjadi pensyarah (dosen) di berbagai Perguruan Tinggi di Riau - selain di FKIP UNRI - tempat tugasnya sebagai pegawai negeri, benar-benar teruji dan terpuji. Dia telah berupaya dengan sikap sigap menyingkap nilai-nilai ke-Islam-an yang melekap mantap pada (teks) bahasa, sastra dan seni, serta sosial budaya khususnya Melayu (Riau) de-ngan berdelau. Dia membuktikan bagaimana persebatian Islam itu pada ke-Melayu-an.
Penghargaan (sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan yang telah disunnahkan Rosulullah SAW), oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Dari kegigihannya, wajar saja dia dipilih memperoleh dua kali Anugerah Sagang pada kategori yang berbeda, Buku pilihan terbaik Sagang 1998 (anugerah kali ke-3) bukunya Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau. Dan Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2007 (anugerah kali ke-12). Dia layak sebanding duduk bersanding dengan Tenas Effendy (yang telah pula memperoleh Anugerah Sagang, dan doktor kehormatan -HC- dari Malaysia), walau di antara orang berdua ini pada upaya yang sama dengan nuansa yang berbeda. n
Rumah Kediaman, Gang Haji, 9 Zulqa’dah 1434 (15 September 2013)
Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sai Gergaji, kelahiran Indragiri 1959. Dai dan sastrawan yang menulis sejak 1970-an. Hingga kini tetap menulis meski jarang terpublikasi.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 September 2013
Simpaian Nilai-nilai Ke-Islam-an Karangan UU Hamidy
Keyakinan terhadap kebenaran Diin al-Islaam yang terpateri di sanubari tiap pribadi, akan terepleksi bijak pada tindak hidup dan kehidupan keseharian. Implementasi da-ri keyakinan yang melekap mantap pada batin tiap pribadi itu akan terlihat pula mencuat kuat pada perbuatan kerja dan karya sosial, politik, dan budayanya.
Jika suatu keyakinan terhadap sesuatu (ajaran, isme, faham, sistem nilai, ideologi = Diin) telah terbentuk dan merasuk merata pada masyarakat, dia akan menjadi ciri jati budaya bahkan peradabannya. Tingkah polah, dan olah karya, serta gerak hidup (buda-yanya) sentiasa dijiwai pula oleh keyakinan yang bersemi kuat di batinnya itu. Pancar-an sinar kebenaran Diin al-Islam sejak diproklamirkan bersebati dengan Melayu, meng-alir dan padu pula pada zahir karya resam, adat, bahasa, sastra, dan budayanya. (Ani-mistis yang menitis sebelumnya pelan-pelakan ditapis, bahkan dikikis, meski belum da-pat dikuis habis. Begitu pula nafas ke-Hindu-an tidak lagi dihidu dan disudu lagi - walau hingga sekarang masih ada juga sisa baunya).
U(mar) U(sman) Hamidy telah mampu dengan mumpuni menghimpun, menyusun, dan menuliskan berbagai karangan tentang empedu Diin al-Islam yang padu pada buda-ya Melayu itu. Hingga Shafar 1433 H (Januari 2012) telah lebih lima puluh bukunya yang diterbitkan, meski di antaranya ada pada kumpulan bersama pengarang lain dan karangan bersama. Buku-buku karangannya yang meliputi pendidikan, bahasa, sastra, seni, sosial budaya, dan sosial politik tak luput merajut dari pancaran kebenaran Islam. Sulit kita menemukan karangannya yang tak diramu dengan nafas nuansa ke-Islam-an.
Keinginan menjadikan tulisannya sebagai upaya dakwah, supaya memasyarakat dikirimkan ke berbagai suratkabar agar dapat dibaca oleh khalayak luas. Suratkabar ingin pula dijadikannya sebagai media dakwah. Maka, pada diskusi tentang ‘Problema-tika Mass Media Islam’ yang ditaja Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Koordinator Wila-yah (Korwil) Riau pada 17 Muharom 1407 H (21 September 1986), makalahnya yang berjudul ‘’Beberapa Masalah Media Islam’’, dia mempertanyakan tiga hal; 1) mengapa masyarakat Indonesia (yang sebagian besar ummat Islam) kurang tertarik membaca me-dia Islam, 2) apa sebabnya media Islam kurang menarik bagi ummat Islam, 3) persoalan apa yang ada pada ummat Islam sehingga mereka kurang tertarik membaca media Is-lam. Meski telah berlalu 27 tahun, pertanyaannya masih relevan. Relevansi pertanyaan itu karenba hingga sekarang mass media Islam tak kunjung dapat maju, bahkan yang sudah ada dan pernah sempat jaya tak pula lagi terbit, misalnya SKH Terbit (Jakarta), majalah Panji Masyarakat, ‘’Nasihat Perkawinan, dan Harmonis’’ yang ketiga-tiganya terbit di Jakarta. Jika pun mass media Islam itu terbit, jumlah oplahnya tak dapat menyaingi terbitan umum. Namun beberapa novel bernuansa Islam ada yang best seller books.
Keyakinan yang terpateri mapan di hatinya benar-benar dihayatinya dengan ketaat-an yang kuat kepada Allah Rabb al-’Izzati. Buku yang judulnya tak menyiratkan Islam, Bahasa Melayu dan Kreatifitas Sastra di Daerah Riau (1994) gambar sampul kulitnya ‘Muhammad Bertangkup’ lambangKerajaan Siak. Firman Allah pada Q.S. 68, al-Qolam: 1-7 difahaminya dengan penghayatan dan pengamalan yang dalam dan total kental.
Nun,
Demi qolam (pena penaka) dan apa-apa yang di tuliskan mereka
Dengan karunia dari Rabb,
Anda bukanlah orang ( berkata-kata secara kalap, dek) gila
Dan, sesunguhnya Anda pasti
memperoleh ganjaran besar terus berterusan
Dan sesungguhnyalah sungguh
Anda sungguh berakhlaq agung teguh
Dan, (kelak Anda) Anda kelak
akan melihat sebagaimana pula mereka menampak
Siapakah nian di antara Anda (yang) gila (bertindak)
Sungguh Rabb Anda sungguh
Dialah yang mengetahui dengan sesungguhnya
Yang tersesat dari jalan lebuhNya
Dan Dialah pula yang mengetahui (pasti)
Siapa saja yang menatang hidayah haqiqi
UU Hamidy dengan piawai telah menyimpai bias tempias nilai-nilai ke-Islam-an (teks) bahasa, sastra, dan budaya (Melayu) pada senarai rangkaian tulisan dan puluh-an buku karya karangannya yang telah diterbitkan bebagai penerbit. Cecah basah kalam dan dawat ma’rifat para pengarang Melayu, dan resam adat budaya Melayu dengan cermat dan petah telah berhasil pula dengan sangkil dinukilkan UU Hamidy pada berbagai karangannya. Penerokaannya dari (teks) bahasa-sastra-budaya itu ada yang diben-dangkannya tersirat, terselip-selit inplisit sebagai percikan dari renjisan nilai-nilai ke Islam-an. Ada kalanya pula nilai-nilai ke-Islam-an itu dibentangkannya dengan jelas dan gamblang (eksplisit). Secara keseluruhan dapatlah ditegaskan, bahwa semua karya karangan UU Hamidy tak lepas dari nafas ke-Islam-an. Sebagai catatan awal, tulisan ini hanya setakat mencatatnya sekuat dapat hanya sebagai ulasan sekilas saja. (Mudah-mudahan dikaruniakan Allah kekuatan dengan qudrah dan irodahNya untuk mengung-kapkan lebih lengkap lagi dari berpuluh-puluh buku karangannya kelak).
Tampaknya UU Hamidy memang rela berenang dan bergelimang dengan beraneka kajian yang diterokanya. Tapi dia tak mau hanyut dibawa arus kencang pemikiran yang pincang. Lebih-lebih lagi dia tak hendak tenggelam direntak ‘hantu laut’ pemikiran. Dia tulus bertungkus lumus terus menerus mengguratkan rumusan hasil kaji-annya berupa tulisan lepas dan berbentuk buku. Dia tak pernah gamang menuangkan cahaya terang kebenaran Diin al-Islam. Keislamannya diperlihatkannya pula dengan menyertakan titimangsa penerbitanannya dengan bulan dan tahun hijroh. Beberapa bukunya juga me-ngutipkan bebebagai ayat al-Qur’an, dan penggalan kisah-kisah hikmah.
Pernyataan yang amat baik dari UU Hamidy, tentang penegasannya bahwa pertum-buhan dan perkembangan Bahasa Melayu yang kemudian satu di antara cabangnya dise-but Bahasa Indonesia (selain Bahasa Melayu Malaysia, Bahasa Melayu Singapura, Bahasa Melayu Brunei, dan Bahasa Melayu Pattani serta yang lainnya, hssg). Dinyatakan-nya pula, bahwa bahasa yang meningkat peran dan kedudukannya menjadi lingua franka dan bahasa bangsa: akan mampu menimbulkan semangat persaudaraan budaya di lingkungan pengguna bahasa (Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, Unilak Press, Pekanbaru, l1416/ 1995: viii - ix). Hal ini secara tersirat menyatakan bagaimana Allah Yang Mahabijaksana telah menjadikan bahasa berbagai puak suku bangsa yang puncanya menjadikan Bahasa Arab (yang dinobatkan sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa yang diucapkan ketika ibadah sholat) sebagai pengikat ‘semangat persaudaraan’ ummat. (Simak dan baca:Q.S. 49, al-Hujurot: 9, dan 13). Inilah bahasa yang membina semangat persaudaraan budaya dan ‘aqidah (ukhuwwah) seummat yang memintas dan mengatasi bahasa persaudaraan budaya sepuak sesuku saja. Pada buku jolongnya yang bertajuk Bahasa Melayu Riau (1973) - belum secara intrinsik menukik menilik dan memperlihatkan realitas nafas Islam dengan jelas dan tegas. Kadarnya baru hanya seke-dar menakar kecintaan kepada budaya puaknya yang telah berjaya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franka, yang kemudian telah berjasa pula menyumbangkan Ba-hasa Melayu menjadi dasar bahasa negara yang disebut dan dinamakan sebagai Bahasa Indonesia. (Negara boleh saja bernama Indonesia, tapi sepantas dan setepatnya bahasa ini mesti dinyatakan dan disebut sebagai ‘Bahasa Melayu Indonesia’. Bandingkan dengan Amerika dan Australia yang menyebut bahasa mereka bahasa Inggris, tidak de-ngan nama negaranya. Negara lain yang berba-hasa Arab tidak pula menyebut bahasa persatuan mereka dengan nama negaranya!).
Tulisan UU Hamidy tentang ‘Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh’ menyingkapkan torehan sikap ke-Islam-an dari cerita rakyat (puak Melyu) Aceh yang disebut hikayat atau pada ucapan tempatan disebut haba jameun (kabar zaman, hssg). Karangan ini bersama enam karangan (hasil dari Program Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Januari- Desember 1974 di Banda Aceh, sekarang Nangroe Aceh Darussalam) disertai pendahuluan dan tulisan Alfian sebagai editor termuat pada Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Alfian, ed., Jakarta: LP3ES, 1977, khususnya hal. 23-50). Dari penerlitiannya terhadap tiga hikayat - cerita rakyat Aceh - utama dan beberapa hi-kayat lainnya yang menjadi bahan kajian penelitian itu UU Hamidy menyimpulkan, bahwa paling tidak ada enam nilai yang diusung dan terkandung pada hikayat (hal. 44-45) yaitu: moral dan agama, adat, cara (pola, hssg) berfikir, seni dan hiburan, sejarah, dan pengendalian sosial sebagai konsekuensi logis oleh pengaruh nilai-nilai tersebut, terutama pada bidang moral (akhlaq, hssg), adat (resam budaya, hssg) dan agama (Diin al-Islaam, hssg). Jangkauan luas nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi sendi kehi-dupan sosial budaya yang terpintal secara personal-komunal-universal.
Amat cermat pula bagaimana UU Hamidy mengungkap dua sayap makna kata dukun pada budaya dan sikap pandang Melayu. Buku Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (1999) menyatakan bahwa, pedukunan pada prinsip slektif orang Melayu hanya suatu cara menafsirkan alam yang telah Islam menjadi kumulatif totalitas sikap pertalian hubungan alam dan Allah Pencipta Alam (hal.112). Lebih tegas lagi dijelaskannya de-ngan gambaran skematis (hal 113). Pedukunan menjadi semacam ragam tarikat (cara, hssg) merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam. Ada upaya Islamisasi cara pedukunan yang animistis dan hinduistis. Makanya, jika seseorang tidak dapat menduduki jabatan di lembaga pemerintahan, pada zaman dahulu di Rantau Kuantan, memilih posisi menjadi ulama’ atau menjadi dukun (hal. 114). Pada masanya ulama dan dukun sama-sama memiliki peranan besar pada kehidupan masyarakat yang diperlukan para penguasa pa-da sistem adat dahulu (hal. 116). Pada kitab sebelum ini (Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991, 35) dinyatakannya mantera Melayu yang pada tradisi terdahulu diubah dengan doa dan tawar sehingga dunia pedukunan Melayu menjadi semakin condong kepada (cerbong, hssg) nafas dan semangat Islam. Jika pada praktik-nya kemudian menitik kesyirikan, itu terjadi disebabkan takaran ilmu pengetahuan dan keimanannya. Bukankah hinggga setakat ini hal itu masih dapat bersua juga, yang upa-ya meluruskannya harus pula terus menerus diupayakan sekuat daya dan usaha - terutama oleh ulama, tuan guru, dan lebai (ustaz: muballigh dan da’i) yang tulus.
Tangkas pula UU Hamidy mengupas dan mengulas nafas nilai-nilai ke-Islam-an novel Bulang Cahaya (Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007), dan kumpulan sajak Tempu-ling (Pekanbaru: Yayasan Sagang. 2002) dua karya Rida K Liamsi, yang dikatakannya dibahas dalam rangka membaca kebesaran Allah SWT (hal. 15). Novel Bulang Caha-ya yang menjadi novel istimewa di belantara budaya Melayu di Riau, mengesankankan bagaimana adat bersendi syara’ yang belum kokoh dengan mudah menimbulkan kerusuhan atau persengketaan. Ketika nilai Islam mulai bersemi, baik Melayu maupun Bugis berpantang ingkar janji. Pertarungan dengan Belanda hanyalah menang atau (mati, hssg) syahid (husn -al-khotimah, hssg) dengan indah (hal. 21).
Saat mendacing kumpulan sajak Tempuling, UU Hamidy memahami amsal tempuling sebagai semangat hati yang arif, tekad pada sukma yang tawaddu’, sikap pada lengan (keuletan kekuatan, hssg) dan pikiran yang jernih Dia harus tahu bila menikam dan kapan pula menyentak, serta tidak kehilangan semangat ketika tikaman tempulingnya tidak mengena.
Bukunya Demokrasi Direbut Pemimpin Belalang (1433H/ 2012) walau judulnya tak menampakkan ke-Islam-an, muatan isinya kaya dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Pada ‘Pembukaan’ Rangkuman dari 43 tulisan yang pernah dimujat pada SKH Riau Pos Pekanbaru, Serambi dan Harian Aceh (Banda Aceh) disajikan dengan niat beribadah kepada Allah SWT, yang ditulis oleh ‘hamba yang hina dan dhoif. Bagian II buku ini bahkan ber sub titel ‘Orang Melayu dan Islam’ yang diantaranya memuat tulisan berjudul ‘’Mitos dan Syari’ah Islam’’ kajian Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, dan ‘’Adat Bersendi Syara’’’ ditambah 13 tulisan lainnya.
Diakui oleh UU Hamidy dari seluruh kajiannya yang telah diterbit lebih dari 50 buku, tiga di antaranya merupakan sari kajian, yaitu Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan (1989), Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam (199l), dan Nilai Suatu Kajian Awwal (1993). Kalaulah boleh ditambahkan, juga Rahasia Penciptaan (2005). Keempa-empat buku ini dapat dilihat sebagai makrifatullah tekad yang menjadi sikap pandang dan prinsip hidupnya yang tak hendak kerjanya terkatup dan tersungkup dari barokah Allah. Diyakininya tanpa taufiq, rohmat, dan hidayah Allah SWT, dia tak berdaya berbuat apa-apa. ‘’UU Hamidy hanya siapa’’ yang ditulisnya tanpa tanda baca tanya (yang selalu menyertai bukunya yang diterbitkan), tegas menyatakan: kita tak perlu lagi bertanya siapa kita, karena kita hanyalah hamba yang wajib hanya meng-hamba kepada Pencipta dan Penganugerah hidup dan kehidupan hingga maut menjemput: hingga nyawa tiba masanya, hingga ajal menjegal, hingga waktu sampai waktunya.
Tulisnya: manusia yang mampu menghayati pesan kebenaran Ilahi akan mempergunakan potensi budayanya sebagai cara mengabdi kepada Tuhan (Allah, hssg)... se-hingga tampak tindakan budaya itu sebagai kebaikan atau ‘amal sholih. Perjalanan hidup manusia dengan krativitas budayanya tanpa mengindahkan wahyu, hanya akan menye-babkan manusia semakin terikat (kuat dan erat, hssg) kepada benda-benda (sehingga menjerembabkan harapannya menjadi lindap, hssg). Wahyu (Allah-lah, hssg) yang da-pat (meretas sikap materialitas, hssg), membebaskan diri manusia dari belenggu kebendaan (Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan, 1989: 12, 28).
Dituliskan dengan tegas oleh UU Hamidy pada buku Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991: seni maupun ilmu dalam Islam telah berawal (dan di-kawal, hssg) sepenuhnya pada penyerahan diri kepada Allah (hal.35). Tiap keyakinan atau pandangan hidup niscaya membekas dalam tiap karya budaya (hal. 85). Muatan estetika orang Melayu meliput tujuh unsur, yaitu 1) pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar; 2) sindiran halus pergaulan sosial; 3) jalan nasib hamba pada suka dan dukanya; 4) cinta sebagai sentuhan batin; 5) alam sebagai lambang dan kiasan hidup; 6) perulangan pola dan bingkai (hal. 54). Pada kitab ini disertakan pula oleh UU Hamidy tiga lampiran. Lampiran l berupa 17 kutipan beberapa kesenian Melayu di Riau yang ada kilau ke-Islam-annya dan proses peralihannnya menuju Islam. Lampiran 2 berisi 17 kutipan pilihan beberapa puisi dan kisah ke-Islam-an. Lampiran 3 mengutip 13 perumpaan dari ayat-ayat al-Qur’an.
Tentang Nilai, 1413H/1993M, disebutkan UU Hamidy paling kurang ada sepuluh macam yang menarik diperhatikan. Kesepuluh-puluhnya itu l) nilai sebagai arti sesuatu; 2) nilai sebagai makna sesuatu; 3) nilai sebagai peranan sesuatu; 4) nilai sebagai guna sesuatu; 5) nilai sebagai kamampuan atau kepandaian; 6) nilai sebagai sudut pandang; 7) nilai sebagai mutu atau kualitas; 8) nilai sebagai bobot sesuatu; 9) nilai sebagai harga sesuatu, dan 10) nilai sebagai hakikat sesuatu (hal. 2-12). Kemudian disajikannya pula lima belas perbandingan antara sistem nilai budaya dengan sistem nilai Islam (hal 97-98). Ditambahkannya pula sebagai contoh ilustrasi nilai dari cerita, budaya, dan pandangan ulama, serta ayat al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Rahasia Penciptaan, 1425H/2005M, menghimpun karangannya yang pernah di-muat Riau Pos yang dituliskannya dari hasil upayanya menghayati dan memahami al-Qur’an dan hadis Rosulullah SAW. Bagian akhir buku ini (hal.55-89) menyertakan pan-caran hikmah ajaran Islam yang di antaranya kisah, puisi Rabi’ah al-Adawiyah, doa puitis Imam Khomeini (meskipun dia syi’ah, hssg), dan pantun tarikat Rantau Kuantan.
Upaya bersungguh-sungguh dari lelaki kelahiran Rimbo Guloan, Kuantan Singingi, 17 November 1943 ini, yang dengan teguh hingga usia menjelang tujuh puluh tahun, patut salut disyukuri. Sarjana Alumnus Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang (1970) dan MA Fakultas Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, yang berpuluh tahun pula menjadi pensyarah (dosen) di berbagai Perguruan Tinggi di Riau - selain di FKIP UNRI - tempat tugasnya sebagai pegawai negeri, benar-benar teruji dan terpuji. Dia telah berupaya dengan sikap sigap menyingkap nilai-nilai ke-Islam-an yang melekap mantap pada (teks) bahasa, sastra dan seni, serta sosial budaya khususnya Melayu (Riau) de-ngan berdelau. Dia membuktikan bagaimana persebatian Islam itu pada ke-Melayu-an.
Penghargaan (sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan yang telah disunnahkan Rosulullah SAW), oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Dari kegigihannya, wajar saja dia dipilih memperoleh dua kali Anugerah Sagang pada kategori yang berbeda, Buku pilihan terbaik Sagang 1998 (anugerah kali ke-3) bukunya Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau. Dan Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2007 (anugerah kali ke-12). Dia layak sebanding duduk bersanding dengan Tenas Effendy (yang telah pula memperoleh Anugerah Sagang, dan doktor kehormatan -HC- dari Malaysia), walau di antara orang berdua ini pada upaya yang sama dengan nuansa yang berbeda. n
Rumah Kediaman, Gang Haji, 9 Zulqa’dah 1434 (15 September 2013)
Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sai Gergaji, kelahiran Indragiri 1959. Dai dan sastrawan yang menulis sejak 1970-an. Hingga kini tetap menulis meski jarang terpublikasi.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 September 2013
No comments:
Post a Comment