Sunday, September 01, 2013

[Jendela Buku] Pengelana Tiada Akhir

-- Iwan Kurniawan

Frans Ekodhanto Purba menghadirkan perjalanan lewat sajak-sajak penuh metafora. Ia begitu lihai menunjukkan perasaan lewat karya.

BUKU KELANA ANAK RANTAU: (Dari kiri) Budayawan Radhar Panca Dahana,
Ketua BPP TIM Bambang Subekti, dan Penyair Frans Ekodhanto Purba
menunjukan buku puisi berjudul Kelana Anak Rantau karya Frans Ekodhanto
Purba di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Jumat
(30/8). Buku tersebut mengisahkan tentang sebuah perjalanan emosi
mengenai anak rantau yang merindukan kampung halamannya dari kota
besar. MI/IMMANUEL ANTONIUS
SENJA mulai luruh perlahan. Langkah kaki para undangan terdengar perlahan mulai memasuki sebuah ruangan, tempat peluncuran buku Kelana Anak Rantau karya penyair Frans Ekodhanto Purba dihajat, sore itu.

Acara yang berlangsung pukul 16.00-18.30 WIB di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (30/8) itu cukup sederhana. Namun, penampilan musikalisasi hingga pembacaan puisi sejumlah penyair,

'teaterawan', dan sastrawan menghentak dan membahana.

Sebagai penyair muda, Frans semakin lihai menunjukkan eksistensinya dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Buku terbitan Koekoesan (Jakarta) itu memuat 62 puisi yang terdiri dua bab. Bab pertama bertajuk Mazmur Perjalanan berisi 32 puisi, dan bab kedua (Hikayat Kehidupan) berisi 30 sajak. Semua sajak dibuat dalam kurun waktu 2010-2013 dan di tempat penulisan yang berbeda-beda.

Kelana Anak Rantau merupakan buku puisi tunggal pertamanya. Frans mencoba untuk tak menyebutkan tempat pembuatan puisi. Pasalnya, ia tak mau mengikuti kebanyakan penyair yang selalu menonjolkan lokasi penulisan sebagai sebuah ‘kesombongan’ atau ‘keakuan’ penyair. Ia mengubah semua tempat dengan sebutan ‘kereta subuh’.

“Saya menulis puisi di beberapa kota dan kampung. Bagiku semua adalah perjalanan yang mirip seperti kereta. Ketika lahir, kita memulai hidup dan pada akhirnya kita kan sampai ke rumah (kematian),” tutur lelaki kelahiran Desa Sei Suka Deras, Kabupaten Asahan, Sumatra Utara, 8 Juli 1986, itu.

Frans terlahir dari keluarga ayah seorang polisi (FP Purba) dan ibu guru sekolah dasar (L Siringoringo). Ia tumbuh dan besar di Medan, ibu kota Sumut. Frans menamatkan pendidikan di program S-1 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Jawa Barat (lulus 2010).

Kelana tiada akhir

Membicarakan Frans tak bisa dipisahkan soal proses kreatif dan perjalanan hidupnya yang sedikit-banyak tecermin pada larik, metafora, dan makna sajak. Secara harfiah, kata ‘Kelana’ dapat diartikan sebagai sebuah perjalanan atau pengembaraan seseorang pada tempat-tempat tertentu, seperti ke negeri orang atau ke kampung yang baru. Adapun kata ‘Rantau’ dapat diterjemahkan sebagai pencarian. Pencarian atas kehidupan, masa depan, harapan, tempat tinggal, serta pencarian-pencarian lainnya.

Dengan kata lain, sajak-sajak Frans yang terkumpul dalam buku puisi Kelana Anak Rantau ini merupakan suatu perjalanan yang terus melakukan pencarian yang tak berkesudahan. Perjalanan yang tak tahu kapan sampainya. Pencarian yang tak tahu kapan temunya. Namun di dalam melakukan kelana tersebut, Frans kerap menemukan hal-hal yang lumrah atau bahkan baru saja ditemukan. Tak hanya itu, ketika melakukan pengelanaan, Frans tak jarang bertemu dengan simpang-simpang mimpi, harapan, kegelisahan, keresahan (kecemasan), bahkan kerinduan yang tak habis-habis tentang segala hal. Tak mengherankan jika ketika membaca kumpulan buku puisinya, pembaca dipertemukan dengan tema-tema cinta dan kerinduan dalam arti yang luas.

Berdasarkan lirik demi lirik, kumpulan puisi Frans adalah puisi-puisi yang bercerita. Itu yang membawa kita langsung tertuju ke sebuah desa dengan gunung dan lembah, ada sawah-sawah yang menguning, ada orang-orang yang ramah, dan jauh dari hiruk pikuk kehidupan yang glamor.

Tengok saja puisi berjudul Melewati Petak-Petak Subuh. Di sanalah diketahuibetapa alam negeri ini meruahsepam menari-nari di ceruk samuderamerpati—sapi bergelincatan di atas kualisedang adab disulap menjadi senyap rebahminyak zaitun, cengkeh menjadi nyawa tak pernah mampusmenebus perut yang rakus.

“Permainan metafora yang indah membuat Frans mampu melambungkan kenangan dengan pemilihan diksi yang tepat. Terkadang ia marah, tapi ia cukup menyimpan kemarahan secara lembut,” ujar Hanna Fransisca, pemateri yang turut hadir mengupas buku tersebut.

Terlepas dari itu, kita bisa melihat idiom ‘ibu’ yang disebut dalam antologi ini, meski sesekali sungguh-sungguh merujuk pada ibu kandung,

yang ditegaskan dengan sebutan ‘mamak’. Telah kuhitung kembali rerambut jagungmu tak kunjung rampungtak kunjung lekang sampai jantung melepuhangka-angka usia luluh tak bertumpuhseperti menghitung jumlah pasir di tubir lautkami tahu kebaikanmu mengalir selayak sungaikami juga tahu, ombak kasihmu tak usai-usaikesetiaanmu mengental candu/kini, waktu kian penuhnamun rambut jagungmu tak kunjung habis dalam hitungan jumlah/sampai kami lupa mengurai keabadianmu (sajak Surat untuk Mamak).

Budayawan Dahana Radhar Panca Dahana menilai Frans mampu menunjukkan kelasnya pada generasi seangkatannya. Tak mengherankan apabila ia mampu bermain dalam metafora yang khas. “Saya ke sini karena acara puisi itu sering sepi. Kasihan kalau sepi, sastra tak berkembang,” cetusnya.

Terlepas dari keberhasilan meluncurkan buku perdananya, Frans masih harus perlu menjaga kualitas dalam menyajikan sajak-sajak berikutnya. Pasalnya, penyair adalah seorang yang harus menjaga kualitas menulis. Bila tidak, tak bisa dielakkan sang penyair mungkin saja dilupakan zaman. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 1 September 2013


No comments: