Sunday, September 15, 2013

[Jendela Buku] Dari Dunia Mitologi ke Dunia Modern

-- Iwan Kurniawan

Novel Samsara lekat dengan mitologi Yunani. Uwie mampu berkisah tentang percintaan yang tak abadi di satu dunia, tetapi abadi di dunia lainnya.

WAJAH Juwita Sitanggang tampak memucat. Ia terlihat mondar-mandir dari deretan kursi belakang ke ruangan lainnya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mungkin, ia sedikit canggung karena menjadi ‘artis’ dadakan.

Ya, di balik senyum simpul dan sapa bertutur dengan para tamu, ia sebenarnya sosok perempuan perkasa. Ia mampu membunuh semua kesedihan, kepiluan, dan kejengkelan terhadap dunia lewat sebuah karya.

"Novel ini ditulis setelah saya kehilangan seorang panutan, yaitu ayah saya. Saya sempat berpikir bahwa Tuhan itu tidak ada," tuturnya seusai peluncuran novel Samsara, dua pekan silam.

Bagi Uwie, sapaan Juwita, novel perdananya itu merupakan sebuah puncak dalam berbagai lika-liku hidupnya. Sempat gagal mempertahankan hubungan pernikahan akibat dirundung permasalahan membuat dia mencari kesibukan yang bermanfaat.

"Novel ini tidak ada hubungan dengan kegagalan (bercerai). Saya hanya merasa tidak ada panutan saat ayah meninggal saja. Sekarang, saya baru sadar bahwa banyak orang yang baik terhadap saya. Kebaikan itulah yang mendukung terangkumnya novel ini," tutur perempuan berdarah Batak-Padang kelahiran Jakarta 30 Oktober 1980 itu.

Bila diperhatikan secara detail, novel Samsara dengan editor Sihar Ramses Simatupang mengisahkan sebuah dunia fantasi, imajinasi, dan ekspresi. Tak mengherankan, Uwie mencoba mengangkat kisah-kisah, terutama tokoh-tokoh dalam mitologi Yunani untuk dijadikan tokoh sentral dalam novelnya.

Buku setebal 242 halaman (penerbit Hormonauts, Jakarta) itu juga menghadirkan dunia yang diciptakan perempuan yang disebut Venus. Dewa-dewi Olympus memburu Venus yang kini terjebak dalam diri seorang Keira.

Uniknya, dalam novel tersebut, tokoh Venus yang dalam masa sekarang bernama Keira, terjebak dalam sebuah dilema percintaan dengan Adonis. Sebuah alur yang memiliki ketajaman mampu dihadirkan Uwie yang notabene bukan sekelas novelis ternama seperti Ayu Utami ataupun Dewi Lestari.

Kisah cinta antara Venus, Adonis, dan Mars pun dibangun dengan sebuah analisis semantik secara mendalam tentang sebuah kisah mitologi. Tak mengherankan, keliaran Uwie untuk menentukan alur cerita membawa dia pada sebuah dilema untuk menentukan kisah selanjutnya, terutama klimaks di akhir ceritanya.

Memang, menghidupkan kisah mitologi para dewa dan dewi di masa lampau ke masa modern sekarang tak mudah. Berbagai literatur, pengalaman mengunjungi lokasi, hingga riset harus menjadi bagian bagi seorang novelis.

Inilah yang sempat membuat Uwie sedikit stagnan sehingga ia terjebak pada berbagai plot hingga latar belakang tempat, terutama dalam memulai kisah-kisah percintaan di Eropa.

Tak mengherankan, Samsara pun menghadirkan sebuah manifestasi akan sebuah reinkarnasi, terutama bagi para tokoh untuk bertemu kembali di waktu yang berbeda pula.

Meski sebagai seorang kristiani, Uwie mampu menghadirkan sebuah kisah tentang reinkarnasi yang dipercaya dalam agama dunia. Ia membuat konflik tidak hanya pada tokoh, tetapi merangsang para pembaca untuk bisa menemukan tokoh Keira di zaman yang berbeda.

Tentunya, semua alur cerita tidaklah mudah. Ia bahkan harus menambah referensi melalui sejarah dan filsafat sehingga membuat novel tersebut bisa diterima akal manusia. "Saya menghadirkan kejadian ini bukan untuk menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Saya mencoba membangun dunia sendiri di dalam karya ini," jelas ibu satu anak itu.

Percintaan

Membuka lembaran demi lembaran dalam buku ini memang penuh dengan percintaan yang menyedihkan. Dari awal hingga akhir, ada dunia berbeda tentang masa mitologi hingga masa modern.

Kisah cinta berubah menjadi kepedihan dan kehilangan sejak kepergian Adonis. Hatinya tiba-tiba membatu seperti gunung es di kutub utara. Kehangatan itu memudar dan menjadikannya hambar. Cinta itu pergi menjauh (hlm 15).

Kepergian Adonis telah membuat Venus mengalami sebuah keperihan atau kehilangan setengah ‘sayap’. Itu yang membuat Uwie mampu membangun kerangka secara struktural untuk mengiringi para membaca menuju ke sebuah reinkarnasi.

Sisi Adonis modern pun dibangun penulis secara apik, terutama latar belakang di Paris, Prancis, hingga London, Inggris. Tokoh-tokoh ‘aku’ yang tergambar dalam novel ini semakin memudahkan kita untuk mengerti siapa Venus sebenarnya. Begitu pula dengan Keira. ‘Aku hanya mengikuti waktu walau aku tak punya peta.... Hatiku cuma satu dan itu cuma untukmu’ (hlm 216).

Uwie mampu menghadirkan tokoh–tokoh yang sebenarnya mampu menggambarkan dirinya, khususnya tokoh utama Venus. Sebuah petualangan tentang seorang perempuan yang mencari arti dalam kehidupan ini. “Tokoh Venus adalah saya. Namun, saya mencoba untuk tidak menuangkan semua pengalaman. Ada imajinasi-imajinasi liar sehingga membuat saya tetap berada di ranah fiksi bukan realitas,” aku Uwie menanggapi tokoh sentral itu.

Terlepas dari keberhasilan Uwie dalam membangun sebuah ‘samsara’ dalam novelnya, ada kekurangan-kekurangan yang dapat kita baca, yakni masih minimnya riset atau terjun langsung ke tempat-tempat sejarah--terutama Yunani dan Italia--untuk mendeskripsikan suasana dalam Samsara. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 September 2013

No comments: