Monday, September 30, 2013

Selamat Jalan, Mas Tandi, Maafkan Kami....

-- Ahda Imran


“Saya ingin menulis sesuatu untuk mengingatkan sesuatu”

BEGITU dialog tokoh penulis cerpen bernama Tandi dalam cerpennya “Paitua Pejabat Jawa-kah?”, yang termuat di kumpulan “Sperma Airmata” (SkyiArt:2012). Seperti yang mudah dijumpai di banyak tulisannya, terutama cerpen dan novel,  ia selalu memberi identitias tokoh utamanya sebagai dirinya, Tandi Skober. Siasat bercerita ini menarik bukan semata demi menipiskan  jarak realitas fiksi dan fakta, namun melalui tokohnya itu Tandi Skober leluasa menghadirkan berbagai pandangannya. Termasuk apa makna menulis baginya sehingga kerja menulis terasa diimaninya sebagai suatu kewajiban hidup; ...untuk mengingatkan sesuatu.

Karena itu Tandi Skober terus menulis, bahkan di hari-hari terakhir hidupnya. Penulis produktif, bersahaja, dan amat akrab dengan para seniman dan penulis muda ini, wafat di RS. Al-Islam Bandung 29 September pkl.19.30 WIB., karena serangan jantung. Bila merujuk pada biodata yang tertera dalam novelnya “Pelacur, Politik, dan he he he”,  Tandi Skober wafat di penghujung bulan kelahirannya, sepekan setelah tanggal kelahirannya, 22 September.


Bagi para penulis, sastrawan, dan redaktur di sejumlah media di Bandung, sosok Tandi Skober begitu mudah dikenal. Postur tubuhnya yang tinggi, gemuk, selalu memakai penutup kepala, terompah, dan pakaian yang bersahaja. Atau ini; suaranya yang berat dan pembawaannya yang hangat dengan setiap orang. Tak terkecuali di tengah anak-anak muda, ia selalu mudah berbaur dan tak berjarak. Berbincang ramai dan serius ihwal sejarah, politik, filsafat, agama, Tuhan, sampai persoalan tulis-menulis. 

Atau selorohnya yang khas perihal strategi mengirim tulisan ke media agar dimuat. Bagaimana membuat pengantar ke redaktur, hingga trik nyelenehnya, seperti, waktu paling baik mengirim tulisan yang mesti disesuaikan dengan jam kedatangan redaktur di kantor.  “Jadi, waktu redaktur itu buka email, tulisan kita itu ada di paling atas. Nah, pasti itu dulu yang dia buka!” katanya, dan itu selalu membuat gerr.

Keakraban semacam itu dilakukannya tanpa khawatir wibawanya sebagai orang tua akan rusak di mata para penulis muda, malah terkesan ia tak pernah memikirkannya. Sebaliknya, di mata para penulis muda yang akrab menyapanya “Pak Tandi”, ia adalah kerinduan pada sosok orang tua sekaligus teman yang bijak. Sosok yang tidak sok jaim, gila hormat, selalu membanggakan masa lalunya, atau yang ingin para penulis muda itu melulu mengidolakannya. Karena itulah, Pak Tandi selalu bertempat istimewa di mata para penulis muda. Teman yang baik, guru, dan sosok seorang ayah.

Produktivitas, Indramayu

Tak hanya dibanding para penulis seusianya, produktivitas Tandi Skober menulis selalu membuat cemburu para penulis muda. Dalam setiap bulan, selalu saja ada satu dua tulisannya, muncul di surat kabar. Baik yang terbit di Bandung, Jakarta, atau Lampung. Tulisan yang terakhir dimuat di harian ini, “Para Pencari Hantu”, (9/9). Terakhir, bahkan di hari kepergiannya, Tandi Skober masih mendapati cerpennya “Jangan Biarkan Bulan Tenggelam” yang dimuat di  suratkabar Lampung Post.

Lalu seperti biasa, siang di hari itu,  ia memposting foto koran yang memuat cerpen tersebut di akun facebooknya, tentu dibumbuhi tulisannya yang jenaka,“Arsip cerpen "Jangan Biarkan Bulan Tenggelam", karya cerpenis keren asli Indramayu bernama Tandi Skober.”

Tandi Skober memang selalu bangga dengan Indramayu, tanah kelahirannya. Untuk itu ia mencantumkan nama kecamatan yang menjadi muasalnya di Kab. Indramayu di belakang namanya, juga nama anak-anak dan cucunya, “Skober”. Kebanggaannya pada Indramayu tampak pula di banyak tulisannya. Selain menyoroti isu-isu yang aktual, ia selalu mentautkan perspektif dan  gagasannya pada sejarah, budaya, atau kearifan tradisi yang ada di  Indramayu. Semangat ini amat terasa novelnya yang terakhir Manuwara Ibu Budaya Jawa-Sunda.

Pula dalam banyak diskusi dan obrolan. Bagi Tandi Skober seolah tak ada soal apa pun yang tak bertaut dengan sejarah Indramayu. Mulai dari sejarah masuknya Islam ke Jawa, nasionalisme, sampai Doraemon. Semuanya dituturkannya dengan ringan sambil  berseloroh. Jika sudah begitu, soalnya bukan lagi perdebatan benar atau tidaknya. Namun, lebih terasa sebagai bentuk kecintaan Tandi Skober pada budaya lokalnya, Indramayu.

Menulis dan Menulis

Meski ia seorang PNS hingga pensiun, Tandi Skober seakan lahir untuk menjadi seorang penulis. Dan itu berawal di Medan semasa ia berdinas di kota itu, ketika tulisannya yang pertama, cerpen “Rahasia Sebuah Cermin”, dimuat di harian Sinar Pembangunan Medan. Sejak itu gairah kepenulisan Tandi Skober terus berkembang. Cerpen, cerbung, artikel, bahkan merambah ke skenario film yang dimainkan di sejumlah stasiun TV; TVRI Medan dan Pusat, RCTI, dan SCTV.

Sedangkan tulisan menyebar ke berbagai media massa di berbagai kota, seperti, Media Indonesia, Prioritas, Pikiran Rakyat, Kartini, Nova, Republika, Cendrawasih Pos, Suara Merdeka, Waspada Meda, Analisa, Mimbar Umum, Jayakarta, Tribun Jabar, Sindo, Lampung Post,  tak terkecuali majalah remaja Story. Sejumlah bukunya pun telah terbit; Pelacur, Politik, dan he he he (novel), Namaku Nairem (novel), Sperma Airmata (kumpulan cerpen), Cinta Bertasbih Berthoven (kumpulan cerpen), Manuwara Ibu Budaya Jawa-Sunda (novel), dan Ketika Cikeas Kentut (kumpulan esai).

Seperti ditulisnya lewat ucapan seorang tokoh dalam cerpennya di atas, semua itu ialah jejak dari keinginan Tandi Skober untuk mengingatkan sesuatu. “Sesuatu” yang selalu terabaikan dalam ruang pemikiran khalayak. Atau, “sesuatu” yang dulu pernah dikatakannya, “Apa pun tulisan kalian, paling sedikit sisipkan 2,5 persen dari jumlah huruf yang tertulis berisikan ke-Tauhid-an Ilahiah.” 

Selamat jalan, Mas Tandi, Maafkan kami. Kami sebentar menyusul, masih berbenah. Al-fatihah.... n

Ahda Imran, Penyair dan Esais

Sumber: Pikiran Rakyat, Senin, 30 September 2013

No comments: