-- Sujarwo
RUANG kerja Tandi Skober mirip sebuah perpustakaan mini. Bedanya, kurang tertata. Pada rak di ruang berukuran sekitar 4x4 meter itu berjajar puluhan buku, umumnya literatur ilmu sosial-budaya, tumpukan kliping koran, tumpukan map berisi naskah skenario film, dan dokumen lainnya. Sebuah lemari berisi ensiklopedia Amerika lengkap, dan buku literatur lainnya. Bahkan, di sebagian lantai pun ada tumpukan buku, majalan, dan koran.
Di sebuah meja di ruang itu ada laptop, ditemani beberapa buku yang letaknya tak beraturan, dan sebuah kursi. Di sinilah Tandi menghabiskan hari-harinya menulis esai dan karya fiksi. "Saya kalau menulis tengah malam hingga dini hari," kata esais Asep Salahudin menirukan ucapan karibnya, Tandi Skober, saat dihubungi Tribun, Senin (30/9) selepas Magrib.
Kemarin siang, sekitar pukul 11.00, ruang kerja di bagian ruang depan sebuah rumah di kompleks Panyileukan, Bandung, itu baru sehari merasakan "kesepian". Di ruang itulah, Minggu (29/9) sekitar pukul 19.30, Tandi terjatuh dari kursi saat menulis dengan posisi badan miring. Istri, anak, dibantu tetangga berusaha menolong dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat, RS Al-Islam.
Namun, sekitar pukul 20.00 Tandi mengembuskan napas terakhir. "Menurut dokter almarhum terkena serangan jantung," kata Ny Budi, tetangga yang tinggal di seberang rumahnya, yang berinisiatif membawa Tandi ke rumah sakit.
Dari rumah sakit, malam itu juga jenazah Tandi dibawa ke rumah duka, setelah disemayamkan di masjid, sekitar 100 meter dari rumah duka. "Karena saat masih hidup Pak Tandi suka cerita kalau meninggal ia ingin disalatkan dulu di masjid. Malam itu banyak temannya datang dan bergiliran salat," kata Ny Budi di rumah duka.
Saat pemakaman, ia dan tiga tetangga lainnya, termasuk dua cucu Tandi, menunggu di rumah duka. Maklum, rumah dalam keadaan kosong karena seluruh keluarga dan kerabat ikut prosesi pemakaman. Tandi Skober, kelahiran Indramayu tahun 1950, dimakamkan di TPU Nagrog, Ujungberung. Pensiunan Departemen Keuangan ini meninggalkan seorang istri, Nuriah Daulay, dan tiga anak, Tanti R Skober, Tanta Skober, dan Tania Skober, serta dua cucu.
Sepulang dari pemakaman, Nuriah datang bersama tiga anaknya. Ia tampak berusaha tegar, menyapa para tamu yang tak sempat mengikuti prosesi pemakaman. Kepada Tribun, Nuriah menuturkan saat- saat terakhir sang suami. Saat suaminya menulis, sekitar pukul 19.00, ia menawarkan makan malam. Namun, Tandi menolak dan hanya minta dibuatkan segelas teh. "Ketika saya ke dapur menyeduh teh itulah Bapak jatuh," ujarnya lirih.
Ketika itu, lanjut Nuriah, suaminya sedang menulis skenario film lepas berjudul Jangan Copet Dompet Wak Haji (JCDWH). "Itu tulisan pesanan Pak Deddy Mizwar (artis dan sutradara yang kini menjabat Wakil Gubernur Jabar). Kata Bapak hampir selesai," kata Nuriah, dibenarkan putranya, Tanta.
Ipon, wartawan yang kemarin datang langsung dari Cirebon ke rumah duka, menambahkan JCDWH adalah film lepas FTV, salah satu produksi SCTV. "Skenario film itu memang pesanan Pak Deddy Mizwar, tapi sutradaranya Dedi Setiadi," kata Ipon, yang pernah ikut diskusi bersama Tandi dan Dedi Setiadi membahas film tersebut.
Di hari-hari terakhirnya, Tandi memang lebih banyak membicarakan skenario JCDWH, film sosial dalam perspektif Indramayu tersebut. Asep Salahudin pun mengakui. Bahkan, ujarnya, Minggu (29/6) pagi ia sempat diajak ngobrol tentang JCDW. "Selain film tersebut, Minggu pagi itu ia juga bicara rencana bedah bukunya, Manuwara, yang pengantarnya saya," kata Asep.
Somari, tetangga sekaligus teman ngobrol Tandi sehari-hari, mengatakan hal senada. Minggu pagi, ia sempat diajak ngobrol tentang JCDWH. Malahan Tandi berpesan, kalau skenario sudah jadi, Somari akan diajak mengantarnya ke rumah Deddy Mizwar. "Kamu harus ikut aku. Nanti kita ke rumah Pak Deddy naik Nuvo (motor matik produk Yamaha) aja. Ya, siapa tahu kita dikasih biaya umrah," kata Somari menirukan ucapan Tandi.
Selain film JCDWH, di hari-hari terakhirnya, Tandi juga mengucapkan kata-kata isyarat, tapi semula dikira hanya bercanda. Pria tambun yang sehari-hari mengenakan sarung, kaus, dan kopiah ini memang dikenal sederhana, ramah, dan suka ngobrol. Isyarat itu, misalnya, status terakhirnya di Facebook.
"Di status terakhirnya, Pak Tandi menulis, 'Semua tulisan saya dimuat di koran, kok lancar semua. Apa ini pertanda sakaratul maut, ya...'," kata Tatan, anak kedua Tandi yang tinggal di Bogor. Seingat dia, bulan ini ada tujuh tulisan ayahnya yang dimuat di koran berbeda.
Firasat lain, kata Tanta, tiba-tiba sang ayah minta rekeningnya dipindahkan ke rekening ibunya. "Kata Bapak, biar rekening Ibu bertambah banyak, biar lekas bisa naik haji. Semula saya kurang paham, baru sekarang tahu maksudnya," kata bapak dua anak ini.
Menyoal isyarat, Ipon pun mengalaminya. Ia diminta mengambil honor tulisan-tulisan Tandi yang dimuat di koran terbitan Cirebon untuk dibagikan kepada anak-anak yatim. "Setelah saya ambil semua, baru kemarin saya selesai membagi-bagikan honor Pak Tandi kepada anak-anak yatim," ujarnya.
Masih banyak cerita lain, umumnya tentang kebaikan Tandi semasa hidup. Asep Salahudin menggarisbawahi, sosok Tandi selain sederhana juga pantas menjadi teladan bagi generasi muda. "Bayangkan, sudah usia 60-an Pak Tandi terus menulis tanpa henti hingga akhir hidupnya," kata Asep.
Sedikit catatan, esai dan karya fiksi Tandi telah dimuat di berbagai media Bandung, Cirebon, Jakarta, Lampung, Medan, dan lainnya. Beberapa skenarionya pernah ditayangkan di TVRI, RCTI, dan SCTV. Buku yang sudah terbit, novel Politik, Pelacur, dan Hehehe (2009), Seribu Sujud Seribu Masjid (2010), antologi Ini Medan Bung (2010), Akulah Medan (2010), Matahari Retak di Atas Cimanuk (2010), Bersyukurlah Wahai Muslimah (2010), novel Namaku Nairem (2012), kumpulan cerpen Sperma Air Mata (2012), dan Manuwara, Ibu Budaya Jawa-Sunda, buku pertama trilogi Cerbon Pegot (2013).
"Saya pernah bertanya kapan Pak Tandi berhenti menulis. Jawabnya, ia akan terus menulis agar kemampuannya sebagai karunia Allah terus terasah dan bermanfaat bagi orang lain," ucap Somari mengenang kata-kata sobat karibnya itu.
Sumber: Tribun Jabar, Selasa, 1 Oktober 2013
Tandi Skober |
Di sebuah meja di ruang itu ada laptop, ditemani beberapa buku yang letaknya tak beraturan, dan sebuah kursi. Di sinilah Tandi menghabiskan hari-harinya menulis esai dan karya fiksi. "Saya kalau menulis tengah malam hingga dini hari," kata esais Asep Salahudin menirukan ucapan karibnya, Tandi Skober, saat dihubungi Tribun, Senin (30/9) selepas Magrib.
Kemarin siang, sekitar pukul 11.00, ruang kerja di bagian ruang depan sebuah rumah di kompleks Panyileukan, Bandung, itu baru sehari merasakan "kesepian". Di ruang itulah, Minggu (29/9) sekitar pukul 19.30, Tandi terjatuh dari kursi saat menulis dengan posisi badan miring. Istri, anak, dibantu tetangga berusaha menolong dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat, RS Al-Islam.
Namun, sekitar pukul 20.00 Tandi mengembuskan napas terakhir. "Menurut dokter almarhum terkena serangan jantung," kata Ny Budi, tetangga yang tinggal di seberang rumahnya, yang berinisiatif membawa Tandi ke rumah sakit.
Dari rumah sakit, malam itu juga jenazah Tandi dibawa ke rumah duka, setelah disemayamkan di masjid, sekitar 100 meter dari rumah duka. "Karena saat masih hidup Pak Tandi suka cerita kalau meninggal ia ingin disalatkan dulu di masjid. Malam itu banyak temannya datang dan bergiliran salat," kata Ny Budi di rumah duka.
Saat pemakaman, ia dan tiga tetangga lainnya, termasuk dua cucu Tandi, menunggu di rumah duka. Maklum, rumah dalam keadaan kosong karena seluruh keluarga dan kerabat ikut prosesi pemakaman. Tandi Skober, kelahiran Indramayu tahun 1950, dimakamkan di TPU Nagrog, Ujungberung. Pensiunan Departemen Keuangan ini meninggalkan seorang istri, Nuriah Daulay, dan tiga anak, Tanti R Skober, Tanta Skober, dan Tania Skober, serta dua cucu.
Sepulang dari pemakaman, Nuriah datang bersama tiga anaknya. Ia tampak berusaha tegar, menyapa para tamu yang tak sempat mengikuti prosesi pemakaman. Kepada Tribun, Nuriah menuturkan saat- saat terakhir sang suami. Saat suaminya menulis, sekitar pukul 19.00, ia menawarkan makan malam. Namun, Tandi menolak dan hanya minta dibuatkan segelas teh. "Ketika saya ke dapur menyeduh teh itulah Bapak jatuh," ujarnya lirih.
Ketika itu, lanjut Nuriah, suaminya sedang menulis skenario film lepas berjudul Jangan Copet Dompet Wak Haji (JCDWH). "Itu tulisan pesanan Pak Deddy Mizwar (artis dan sutradara yang kini menjabat Wakil Gubernur Jabar). Kata Bapak hampir selesai," kata Nuriah, dibenarkan putranya, Tanta.
Ipon, wartawan yang kemarin datang langsung dari Cirebon ke rumah duka, menambahkan JCDWH adalah film lepas FTV, salah satu produksi SCTV. "Skenario film itu memang pesanan Pak Deddy Mizwar, tapi sutradaranya Dedi Setiadi," kata Ipon, yang pernah ikut diskusi bersama Tandi dan Dedi Setiadi membahas film tersebut.
Di hari-hari terakhirnya, Tandi memang lebih banyak membicarakan skenario JCDWH, film sosial dalam perspektif Indramayu tersebut. Asep Salahudin pun mengakui. Bahkan, ujarnya, Minggu (29/6) pagi ia sempat diajak ngobrol tentang JCDW. "Selain film tersebut, Minggu pagi itu ia juga bicara rencana bedah bukunya, Manuwara, yang pengantarnya saya," kata Asep.
Somari, tetangga sekaligus teman ngobrol Tandi sehari-hari, mengatakan hal senada. Minggu pagi, ia sempat diajak ngobrol tentang JCDWH. Malahan Tandi berpesan, kalau skenario sudah jadi, Somari akan diajak mengantarnya ke rumah Deddy Mizwar. "Kamu harus ikut aku. Nanti kita ke rumah Pak Deddy naik Nuvo (motor matik produk Yamaha) aja. Ya, siapa tahu kita dikasih biaya umrah," kata Somari menirukan ucapan Tandi.
Selain film JCDWH, di hari-hari terakhirnya, Tandi juga mengucapkan kata-kata isyarat, tapi semula dikira hanya bercanda. Pria tambun yang sehari-hari mengenakan sarung, kaus, dan kopiah ini memang dikenal sederhana, ramah, dan suka ngobrol. Isyarat itu, misalnya, status terakhirnya di Facebook.
"Di status terakhirnya, Pak Tandi menulis, 'Semua tulisan saya dimuat di koran, kok lancar semua. Apa ini pertanda sakaratul maut, ya...'," kata Tatan, anak kedua Tandi yang tinggal di Bogor. Seingat dia, bulan ini ada tujuh tulisan ayahnya yang dimuat di koran berbeda.
Firasat lain, kata Tanta, tiba-tiba sang ayah minta rekeningnya dipindahkan ke rekening ibunya. "Kata Bapak, biar rekening Ibu bertambah banyak, biar lekas bisa naik haji. Semula saya kurang paham, baru sekarang tahu maksudnya," kata bapak dua anak ini.
Menyoal isyarat, Ipon pun mengalaminya. Ia diminta mengambil honor tulisan-tulisan Tandi yang dimuat di koran terbitan Cirebon untuk dibagikan kepada anak-anak yatim. "Setelah saya ambil semua, baru kemarin saya selesai membagi-bagikan honor Pak Tandi kepada anak-anak yatim," ujarnya.
Masih banyak cerita lain, umumnya tentang kebaikan Tandi semasa hidup. Asep Salahudin menggarisbawahi, sosok Tandi selain sederhana juga pantas menjadi teladan bagi generasi muda. "Bayangkan, sudah usia 60-an Pak Tandi terus menulis tanpa henti hingga akhir hidupnya," kata Asep.
Sedikit catatan, esai dan karya fiksi Tandi telah dimuat di berbagai media Bandung, Cirebon, Jakarta, Lampung, Medan, dan lainnya. Beberapa skenarionya pernah ditayangkan di TVRI, RCTI, dan SCTV. Buku yang sudah terbit, novel Politik, Pelacur, dan Hehehe (2009), Seribu Sujud Seribu Masjid (2010), antologi Ini Medan Bung (2010), Akulah Medan (2010), Matahari Retak di Atas Cimanuk (2010), Bersyukurlah Wahai Muslimah (2010), novel Namaku Nairem (2012), kumpulan cerpen Sperma Air Mata (2012), dan Manuwara, Ibu Budaya Jawa-Sunda, buku pertama trilogi Cerbon Pegot (2013).
"Saya pernah bertanya kapan Pak Tandi berhenti menulis. Jawabnya, ia akan terus menulis agar kemampuannya sebagai karunia Allah terus terasah dan bermanfaat bagi orang lain," ucap Somari mengenang kata-kata sobat karibnya itu.
Sumber: Tribun Jabar, Selasa, 1 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment