Sunday, October 13, 2013

[Tifa] Suara Joko masih Pekik

-- Iwan Kurniawan

SAMBIL menyeka wajahnya, pelukis Joko Pekik mulai duduk di depan pintu masuk Galeri Nasional, Jakarta. Di bawah atap berlangit bintang, ia mulai berceloteh tentang masa muda hingga masa tua sekarang ini.

Zaman Edan Kesurupan: Pelukis Djoko Pekik (kedua kiri) bersama istrinya
Tini Purwaningsih hadir dalam pameran tunggal bertajuk Zaman Edan
Kesurupan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (10/10). Pameran
yang berlangsung hingga 17 Oktober 2013 tersebut menampilkan lukisan
dan patung Djoko Pekik dalam kurun waktu 1964-2013 atau seiring dengan
60 tahun perjalanan seninya. MI/IMMANUEL ANTONIUS
Bau dupa mengiringi setiap kalimat yang ia tuturkan. Di depannya ada dua barong dan topeng celeng yang sengaja didaratkan sebagai sebuah prosesi pembukaan pamer­an tunggalnya bertajuk Zaman Edan Kesurupan, pertengahan pekan ini.

Joko Pekik tampak santai malam itu. Sembari bertutur tentang 30 lukisan (termasuk patung) yang akan dipamerkan hingga Kamis (17/10) mendatang, ia sesekali menerima ucapan selamat dari para pengunjung.

“Celeng sebagai simbol angkara murka. Itu sebagai koreksi diri. Terserah mau dibilang sebagai simbol koruptor atau apa pun, bebas saja,” ujar Joko Pekik di sela-sela pembukaan.

Di antara puluhan karya yang terpajang rapi, Joko Pekik mengha­dirkan sebuah karya patung berjudul Berburu Celeng (200x400x100 cm, 2013). Karya itu digeletakkan di luar pintu masuk gedung. Ada dua orang sedang menggotong celeng (babi hutan).

Celeng yang terlihat gemuk itu diikat secara kuat. Dua pria memanggulnya menuju ke rumah. Seolah, mereka baru saja berhasil menangkap atau membunuh hasil buruan di hutan.

Simbol celeng yang ada dalam karya setinggi hampir 2 meter itu menjadi simbol angkara murka yang selalu dihadapi setiap manusia. Sebagai sebuah pemikiran mendalam, sang pelukis tua itu pun mencoba menuangkan dalam karya lainnya yang memiliki kesamaan.

Itu terlihat jelas pada karya patung lainnya Berburu Pekik (200x400x100 cm, 2013). Namun, bukan celeng yang digotong oleh dua lelaki tua, melainkan diri Joko Pekik sendiri. Tangan dan kakinya diikat dan dipanggul dua orang itu dengan kayu. Tentu saja, Joko Pekik mencoba untuk menunjukkan ada sebuah kekejaman atas kemanusiaan sehingga manusia sudah dianggap sebagai ‘celeng’.

“Sekarang ini zamannya sudah zaman edan,” cetus Joko Pekik.

Suara dari bui

Terlepas dari karya-karya (baik patung maupun lukisan) yang penuh nilai tradisi dan historis, ada pengalaman yang masih tebersit dalam ingatan Joko Pekik. Ia masih ingat betul pada 8 November 1965. Saat itu ia disakiti oleh tentara.

“Kata tentara, ‘Ojo noleh’ (jangan lihat karya-karya). Sejak itu, timbul sakit hati yang luar biasa. Saya disiksa. Kok lali aku... haha,” ujar Joko Pekik seraya tertawa karena beberapa kejadian di era Orde Lama itu sedikit ia lupakan dalam ingatannya.

Karena dilarang melakukan kegiatan seni rupa pada era 50 hingga 60-an, ia pun beralih profesi sebagai tukang jahit selama 20 tahun. “Saya menjahit untuk menghidupi anak saya,” cetusnya.

Sebagai penjahit, Joko Pekik pun menyimpan sebuah celana milik pelukis (alm) Affandi Koesoema. Celana itu masih ia simpan rapih sebagai sebuah kenangan.

“Saya selalu minta sisa-sisa barang milik Affandi. Selain minta cat dan kanvas, ada celana yang tidak dimiliki museum mana pun,” tutur ayah 7 anak dan kakek dengan 17 cucu itu.

M Agus Burhan, pemerhati seni, menilai dalam pengolahan gaya, Joko Pekik cenderung tidak banyak berubah, kecuali perubahan yang dilakukan semasa Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang diprakarsai kubu komunis.

Jika pada masa Lekra, lukisannya bergaya naif realis dan mengusung semangat paham kerakyatan revo­lusioner seperti Tuan Tanah Kawin Muda (1964), sesudah masa Lekra, kata Burhan, Joko Pekik bangkit pelan-pelan melukis dalam gaya ekspresionisme.

Namun, dia tetap memperjuangkan paham kerakyatan. Hal itu terlihat pula pada karya terbaru seperti lukisan Berburu Istana (182x390 cm, 2 panel, 2009-2010), Pawang Kesurup­an (150x200 cm, 2012), dan Ledek Gogik (150x250, 2012).

“Sesudah Lekra, masa semangat revolusioner dalam paham kerakyat­an tetap muncul. Terutama pada nilai-nilai yang mengolah ironi dan kontradiksi,” nilai Burhan dalam kurasinya.

Konsep dalam karya-karya Joko Pekik memang dibangun dari manusia atau masyarakat bawah yang terus mempertahankan dan menuntut haknya yang terus dirampas.

Itulah keberanian Joko Pekik yang ia tuangkan lewat karya terbaru Berburu Pekik. Suara-suara yang dirampas penguasa, atau sebaliknya, hak-hak yang terhempas hegemoni. “Kami masih sadar. Revolusi belum selesai,” ucap Joko Pekik. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com
     
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Oktober 2013 

No comments: