MESIR. Negara yang kaya akan sahara tandus ialah impian banyak pelajar muslim di seluruh dunia. Kejayaan Islam dan kegemilangannya pada masa lalu terlihat apik, mulai sejumlah situs hingga gedung-gedung bernilai sejarah tinggi.
Tak sedikit pula orang menjadikan negara di Benua Afrika itu sebagai destinasi sejarah. Owen Putra, melalui bukunya, Dua Sahara, mencoba merangkum salah satu penggalan dalam perjalanan hidupnya, dimulai pada 2006 ketika ia melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Buku setebal 289 yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu seakan menyedot pembacanya ke dalam kehidupan negeri yang baru saja terlibat perang saudara itu.
Penulisannya yang deskriptif membantu pembaca berimajinasi dan membayangkan seperti apa kehidupan umat Islam di sana, seperti burkak nan rapat para perempuan di pinggiran Kota Kairo ataupun syahdu merdu pengajian di Masjid Al-Azhar. Pada zaman itu, Mesir masih dipimpin rezim Presiden Hosni Mubarak.
Lewat buku itu pula, kita akan mencecap zaman orde baru di negara tersebut. Ya, di bawah pemerintahan Mubarak, banyak orang hilang yang tak diketahui rimbanya, ditangkap tanpa tahu salahnya.
‘Kuping-kuping intelijen seakan-akan ada di mana-mana’, tulis Owen. Sebagai orang Indonesia, situasi seperti itu sudah jamak ketika rezim Soeharto menancapkan kukunya. Demokrasi semu dan tangan besi merupakan keniscaan kala itu. “Awas, jangan bicara soal pemerntah dan politik,†ujar seseorang kepada Owen.
Nuansa religi
Owen menyajikan nuansa religi yang kental. Tak mengherankan, selain penduduknya mayoritas muslim taat, Mesir merupakan salah satu pusat peradaban Islam.
Jadi, sembari mengajak pembacanya berpetualang, penulis menyajikan budaya dan kearifan penduduk lokal, termasuk pelbagai keeksotisan dan kehidupan sosiologi masyarakatnya.
Sekilas, buku itu memiliki sedikit kemiripan dengan Titik Nol karya Agustinus Wibowo. Sama-sama menyajikan petualangan di negeri asing nan jauh. Namun, berbeda dengan karya Agustinus, buku Owen itu kurang memompa andrenalin pembacanya.
Owen tidak ‘segila’ Agustinus yang petualangannya kerap berujung antara hidup dan mati. Selain itu, buku tersebut minim konflik antartokoh.
Namun, sensasi membaca buku itu ialah Owen seakan menjadi pemandu pembaca ketika menikmati sensasi Mesir. Tak ketinggalan pula, dimensi rohani yang kental pada buku tersebut.
Mohammad Baharun, guru besar sosiologi yang juga mantan wartawan senior, dalam testimoninya mengatakan dengan membaca novel itu, pembaca seperti ditemani bertualang oleh penulisnya—bertamasya ke negeri tua Mesir yang penuh romantika kehidupan. “Ceritanya utuh, mengalir, dan enak dinikmati!†jelas Mohammad Baharun.
Nasihin Masha mengatakan, “Perjuangan, kegigihan, keteladan, dan pengorbanan menjadi warna Dua Sahara ini. Budaya dan kearifan lokal penduduk Mesir disajikan renyah dan larut membuka cakrawala pembaca. Penggalan kisah yang layak dibaca.â€
Sementara itu, Johan Wahyudi. penulis buku/motivator nasional, mengatakan umumÂnya novel sekadar berisi hiburan sebagai obat penat. Maka, cukup sulit kita menemukan added values setelah membacanya.
Namun, Anda akan terkejut jika membaÂca novel Dua Sahara. Anda tak hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga beragam pengetahuan dan inspirasi, seperti sejarah, arsitektur, religi, bahkan kiat menghadapi beragam masalah kehidupan. Novel yang senÂsasional. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013
Tak sedikit pula orang menjadikan negara di Benua Afrika itu sebagai destinasi sejarah. Owen Putra, melalui bukunya, Dua Sahara, mencoba merangkum salah satu penggalan dalam perjalanan hidupnya, dimulai pada 2006 ketika ia melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Buku setebal 289 yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu seakan menyedot pembacanya ke dalam kehidupan negeri yang baru saja terlibat perang saudara itu.
Penulisannya yang deskriptif membantu pembaca berimajinasi dan membayangkan seperti apa kehidupan umat Islam di sana, seperti burkak nan rapat para perempuan di pinggiran Kota Kairo ataupun syahdu merdu pengajian di Masjid Al-Azhar. Pada zaman itu, Mesir masih dipimpin rezim Presiden Hosni Mubarak.
Lewat buku itu pula, kita akan mencecap zaman orde baru di negara tersebut. Ya, di bawah pemerintahan Mubarak, banyak orang hilang yang tak diketahui rimbanya, ditangkap tanpa tahu salahnya.
‘Kuping-kuping intelijen seakan-akan ada di mana-mana’, tulis Owen. Sebagai orang Indonesia, situasi seperti itu sudah jamak ketika rezim Soeharto menancapkan kukunya. Demokrasi semu dan tangan besi merupakan keniscaan kala itu. “Awas, jangan bicara soal pemerntah dan politik,†ujar seseorang kepada Owen.
Nuansa religi
Owen menyajikan nuansa religi yang kental. Tak mengherankan, selain penduduknya mayoritas muslim taat, Mesir merupakan salah satu pusat peradaban Islam.
Jadi, sembari mengajak pembacanya berpetualang, penulis menyajikan budaya dan kearifan penduduk lokal, termasuk pelbagai keeksotisan dan kehidupan sosiologi masyarakatnya.
Sekilas, buku itu memiliki sedikit kemiripan dengan Titik Nol karya Agustinus Wibowo. Sama-sama menyajikan petualangan di negeri asing nan jauh. Namun, berbeda dengan karya Agustinus, buku Owen itu kurang memompa andrenalin pembacanya.
Owen tidak ‘segila’ Agustinus yang petualangannya kerap berujung antara hidup dan mati. Selain itu, buku tersebut minim konflik antartokoh.
Namun, sensasi membaca buku itu ialah Owen seakan menjadi pemandu pembaca ketika menikmati sensasi Mesir. Tak ketinggalan pula, dimensi rohani yang kental pada buku tersebut.
Mohammad Baharun, guru besar sosiologi yang juga mantan wartawan senior, dalam testimoninya mengatakan dengan membaca novel itu, pembaca seperti ditemani bertualang oleh penulisnya—bertamasya ke negeri tua Mesir yang penuh romantika kehidupan. “Ceritanya utuh, mengalir, dan enak dinikmati!†jelas Mohammad Baharun.
Nasihin Masha mengatakan, “Perjuangan, kegigihan, keteladan, dan pengorbanan menjadi warna Dua Sahara ini. Budaya dan kearifan lokal penduduk Mesir disajikan renyah dan larut membuka cakrawala pembaca. Penggalan kisah yang layak dibaca.â€
Sementara itu, Johan Wahyudi. penulis buku/motivator nasional, mengatakan umumÂnya novel sekadar berisi hiburan sebagai obat penat. Maka, cukup sulit kita menemukan added values setelah membacanya.
Namun, Anda akan terkejut jika membaÂca novel Dua Sahara. Anda tak hanya mendapatkan hiburan, tetapi juga beragam pengetahuan dan inspirasi, seperti sejarah, arsitektur, religi, bahkan kiat menghadapi beragam masalah kehidupan. Novel yang senÂsasional. (Pol/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 27 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment