-- Agus Sri Danardana
SUNGGUH, bahasa memang bersifat arbitrer: sewenang-wenang dan sekehendak hati, tidak berasaskan pada pertimbangan (rumus, hukum, dan/atau uturan) yang pasti. Itulah sebabnya, kokok ayam jantan disebut kukuruyuk oleh orang Jawa (Tengah dan Timur) dan disebut kongkorongok oleh orang Sunda. Padahal, penyebutan itu bisa jadi sama-sama didasarkan pada pendengaran mereka (orang Jawa dan Sunda) atas bunyi kokok ayam jantan.
Pun dalam menyebut matahari: orang Jawa menyebutnya srengenge, sedangkan orang Sunda menyebutnya panonpowe. Konon, kata srengenge diadaptasi oleh orang Jawa dari Sang Hyang He ‘Sang Penguasa Hari’, sedangkan kata panonpowe diduga merupakan terjemahan dari matahari.
Begitulah, keseweng-wenangan itu semakin tampak pada penggunaan kata dhahar ‘makan’. Kata itu, dhahar, meskipun sama-sama digunakan (baik oleh orang Jawa maupun orang Sunda) untuk arti yang sama: makan, tetap saja berbeda nuansa. Oleh orang Jawa, dhahar digunakan sebagai bentuk halus (kromo), sedangkan oleh orang Sunda, dhahar digunakan sebagai bentuk kasar (ngoko). Sebagai akibatnya, banyak orang Sunda yang memiliki menantu orang Jawa sering merasa sakit hati ketika mendengar menantunya berucap, ‘’Mangga dhahar, Pak.’’, setiap kali mengajaknya makan.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa meskipun ada kesamaan, sesungguhnya setiap bahasa memiliki ‘’logika’’-nya sendiri. Setiap bahasa, yang secara arbitrer dan dengan ‘’logika’’-nya sendiri itu, telah membentuk sebuah sistem masing-masing, berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan itu, karena tidak dipahami dan disadari oleh semua orang, menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah dalam berbahasa. Sering terjadi, orang menggunakan ‘’logika’’ bahasa X dalam berbahasa Y. Sekadar contoh, perhatikan kalimat berikut:
(1) Rumahnya Pak Harto yang mana ya, Bu?
(2) Dadang sudah diantar pulang oleh saya kemarin.
(3) Pekanbaru, di mana saya tinggal, adalah ibukota Provinsi Riau.
Orang Indonesia yang mau menggunakan ‘’logika’’ bahasa Indonesia tentu akan dengan cepat dapat merasakan keanehan ketiga kalimat ber-’’logika’’ bahasa Jawa, Sunda, dan Inggris itu. Pengguna bahasa Indonesia yang baik akan segera mengubah ketiga kalimat itu menjadi
(1) Rumah Pak Harto yang mana ya, Bu?;
(2) Dadang sudah saya antar pulang kemarin.; dan
(3) Pekanbaru, tempat saya tinggal, adalah ibukota Provinsi Riau.
Penggunaan ‘’logika’’ bahasa tertentu dalam bahasa lain tidak hanya terjadi dalam struktur (kalimat), tetapi juga dalam penulisan (kata). Padahal, dalam penulisan pun setiap bahasa memiliki sistem ejaannya sendiri. Bahasa Indonesia, misalnya, karena tidak mengenal tasydid ‘’pengulangan/penekanan huruf’’, mengubah kata massive (Inggris) serta ummat dan kulliyah (Arab) menjadi masif, umat, dan kuliah. Kalaupun bahasa Indonesia memiliki kata massa ‘’orang banyak’’, hal itu semata-mata untuk membedakannya dengan kata masa ‘’waktu, kala, jangka’’.
Penyesuaian ejaan seperti itu terjadi pada bahasa mana pun, tidak hanya pada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris, misalnya, menyerap al-kuhli dan manaaraat menjadi alcohol dan minaret. Sementara itu, bahasa Arab menyerap post, Aaron, dan Petrus menjadi bushthah, Harun, dan Butros. Bahkan, penulisan Muhammad pun terdapat banyak varian, seperti Muhamad, Muchammad, Mohamad, dan Muhammed. Konon, orang-orang Arab di Afrika Utara (seperti Mesir) juga kerap menuliskan u dengan o dan sy dengan sh: Umar Syarif ditulis Omar Sharif.
Dalam tulisannya, ‘’Bahasa Arab dan Bahasa Alquran’’ (Riau Pos, 8 September 2013), Ibrahim Muhammad menyatakan ketidaksetujuannya atas tulisan Yeni Maulina tentang penulisan kata serapan bahasa Arab: ustaz, salat, dan jenazah. Menurut Ibrahim Muhammad, penulisan yang dianjurkan Yeni Maulina itu (terutama salat) akan berakibat fatal karena, jika dilafalkan seperti yang tertulis, justru dapat membatalkan salat.
Sesungguhnya kekhawatiran Ibrahim Muhammad itu tidak akan terjadi jika dikembalikan pada konteksnya: (ber)bahasa Indonesia. Bukankah (bacaan) salat memang tidak boleh menggunakan bahasa lain, selain bahasa Arab/Alquran? Artinya, sebagai ibadah mahdhoh, (bacaan) salat memang harus dilafaskan sesuai dengan norma/kaidah bahasa Arab/Alquran, bukan norma/kaidah bahasa Indonesia. Begitu pun (lafas) azan, tentu tak elok jika tidak dilakukan sesuai dengan tajwid dan makhraj-nya.
Dalam batas-batas tertentu, pernyataan Yeni Maulina bahwa tulisan dapat berbeda dengan ucapan, juga masih dapat diterima. Dalam bahasa Jawa, misalnya, a diucapkan O oleh sebagian besar orang Jawa (kecuali penutur dialek Banyumasan). Hal yang sama terjadi pula pada bahasa Melayu. Kata apa, misalnya, bahkan diucapkan dalam tiga varian: /apa/, /ape/, dan /apo/.
Nah, jika Saudara Ibrahim merasa terganggu atas penulisan salat, pasti dirinya sedang ber-’’logika’’ dalam bahasa Arab. Dengan kasus yang sedikit berbeda, hal itu sama dengan orang Jawa yang selalu merasa terganggu ketika mendengar kata edan ‘’gila’’ diucapkan edhan oleh kebanyakan orang Indonesia. Dalam bahasa Jawa, d dan dh merupakan fonem yang berbeda. Wedi ‘’takut’’ berbeda dengan wedhi ‘’pasir’’. Hal yang sama akan dirasakan pula oleh penutur bahasa Indonesia ketika mendengar orang lain tidak dapat mengucapkan kata mental secara benar: mental ‘’watak, jiwa’’ atau mental ‘’terpental, (me)mantul’’.
Begitulah sifat bahasa. Ia unik dengan ‘’logika’’-nya sendiri. Memaksakan ‘’logika’’ bahasa yang satu pada ‘’logika’’ bahasa yang lain, dengan demikian, akan menyebabkan kita gagal menikmati keunikannya. Oleh karena itu, biarkan orang Indonesia tetap menggunakan kata kalbu (bukan qolbu) untuk ‘’hati, sanubari’’, tetapi jangan paksa mereka naik bus way ‘’jalur bus’’. Allah Maha Mengetahui. n
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Oktober 2013
SUNGGUH, bahasa memang bersifat arbitrer: sewenang-wenang dan sekehendak hati, tidak berasaskan pada pertimbangan (rumus, hukum, dan/atau uturan) yang pasti. Itulah sebabnya, kokok ayam jantan disebut kukuruyuk oleh orang Jawa (Tengah dan Timur) dan disebut kongkorongok oleh orang Sunda. Padahal, penyebutan itu bisa jadi sama-sama didasarkan pada pendengaran mereka (orang Jawa dan Sunda) atas bunyi kokok ayam jantan.
Pun dalam menyebut matahari: orang Jawa menyebutnya srengenge, sedangkan orang Sunda menyebutnya panonpowe. Konon, kata srengenge diadaptasi oleh orang Jawa dari Sang Hyang He ‘Sang Penguasa Hari’, sedangkan kata panonpowe diduga merupakan terjemahan dari matahari.
Begitulah, keseweng-wenangan itu semakin tampak pada penggunaan kata dhahar ‘makan’. Kata itu, dhahar, meskipun sama-sama digunakan (baik oleh orang Jawa maupun orang Sunda) untuk arti yang sama: makan, tetap saja berbeda nuansa. Oleh orang Jawa, dhahar digunakan sebagai bentuk halus (kromo), sedangkan oleh orang Sunda, dhahar digunakan sebagai bentuk kasar (ngoko). Sebagai akibatnya, banyak orang Sunda yang memiliki menantu orang Jawa sering merasa sakit hati ketika mendengar menantunya berucap, ‘’Mangga dhahar, Pak.’’, setiap kali mengajaknya makan.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa meskipun ada kesamaan, sesungguhnya setiap bahasa memiliki ‘’logika’’-nya sendiri. Setiap bahasa, yang secara arbitrer dan dengan ‘’logika’’-nya sendiri itu, telah membentuk sebuah sistem masing-masing, berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan itu, karena tidak dipahami dan disadari oleh semua orang, menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah dalam berbahasa. Sering terjadi, orang menggunakan ‘’logika’’ bahasa X dalam berbahasa Y. Sekadar contoh, perhatikan kalimat berikut:
(1) Rumahnya Pak Harto yang mana ya, Bu?
(2) Dadang sudah diantar pulang oleh saya kemarin.
(3) Pekanbaru, di mana saya tinggal, adalah ibukota Provinsi Riau.
Orang Indonesia yang mau menggunakan ‘’logika’’ bahasa Indonesia tentu akan dengan cepat dapat merasakan keanehan ketiga kalimat ber-’’logika’’ bahasa Jawa, Sunda, dan Inggris itu. Pengguna bahasa Indonesia yang baik akan segera mengubah ketiga kalimat itu menjadi
(1) Rumah Pak Harto yang mana ya, Bu?;
(2) Dadang sudah saya antar pulang kemarin.; dan
(3) Pekanbaru, tempat saya tinggal, adalah ibukota Provinsi Riau.
Penggunaan ‘’logika’’ bahasa tertentu dalam bahasa lain tidak hanya terjadi dalam struktur (kalimat), tetapi juga dalam penulisan (kata). Padahal, dalam penulisan pun setiap bahasa memiliki sistem ejaannya sendiri. Bahasa Indonesia, misalnya, karena tidak mengenal tasydid ‘’pengulangan/penekanan huruf’’, mengubah kata massive (Inggris) serta ummat dan kulliyah (Arab) menjadi masif, umat, dan kuliah. Kalaupun bahasa Indonesia memiliki kata massa ‘’orang banyak’’, hal itu semata-mata untuk membedakannya dengan kata masa ‘’waktu, kala, jangka’’.
Penyesuaian ejaan seperti itu terjadi pada bahasa mana pun, tidak hanya pada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris, misalnya, menyerap al-kuhli dan manaaraat menjadi alcohol dan minaret. Sementara itu, bahasa Arab menyerap post, Aaron, dan Petrus menjadi bushthah, Harun, dan Butros. Bahkan, penulisan Muhammad pun terdapat banyak varian, seperti Muhamad, Muchammad, Mohamad, dan Muhammed. Konon, orang-orang Arab di Afrika Utara (seperti Mesir) juga kerap menuliskan u dengan o dan sy dengan sh: Umar Syarif ditulis Omar Sharif.
Dalam tulisannya, ‘’Bahasa Arab dan Bahasa Alquran’’ (Riau Pos, 8 September 2013), Ibrahim Muhammad menyatakan ketidaksetujuannya atas tulisan Yeni Maulina tentang penulisan kata serapan bahasa Arab: ustaz, salat, dan jenazah. Menurut Ibrahim Muhammad, penulisan yang dianjurkan Yeni Maulina itu (terutama salat) akan berakibat fatal karena, jika dilafalkan seperti yang tertulis, justru dapat membatalkan salat.
Sesungguhnya kekhawatiran Ibrahim Muhammad itu tidak akan terjadi jika dikembalikan pada konteksnya: (ber)bahasa Indonesia. Bukankah (bacaan) salat memang tidak boleh menggunakan bahasa lain, selain bahasa Arab/Alquran? Artinya, sebagai ibadah mahdhoh, (bacaan) salat memang harus dilafaskan sesuai dengan norma/kaidah bahasa Arab/Alquran, bukan norma/kaidah bahasa Indonesia. Begitu pun (lafas) azan, tentu tak elok jika tidak dilakukan sesuai dengan tajwid dan makhraj-nya.
Dalam batas-batas tertentu, pernyataan Yeni Maulina bahwa tulisan dapat berbeda dengan ucapan, juga masih dapat diterima. Dalam bahasa Jawa, misalnya, a diucapkan O oleh sebagian besar orang Jawa (kecuali penutur dialek Banyumasan). Hal yang sama terjadi pula pada bahasa Melayu. Kata apa, misalnya, bahkan diucapkan dalam tiga varian: /apa/, /ape/, dan /apo/.
Nah, jika Saudara Ibrahim merasa terganggu atas penulisan salat, pasti dirinya sedang ber-’’logika’’ dalam bahasa Arab. Dengan kasus yang sedikit berbeda, hal itu sama dengan orang Jawa yang selalu merasa terganggu ketika mendengar kata edan ‘’gila’’ diucapkan edhan oleh kebanyakan orang Indonesia. Dalam bahasa Jawa, d dan dh merupakan fonem yang berbeda. Wedi ‘’takut’’ berbeda dengan wedhi ‘’pasir’’. Hal yang sama akan dirasakan pula oleh penutur bahasa Indonesia ketika mendengar orang lain tidak dapat mengucapkan kata mental secara benar: mental ‘’watak, jiwa’’ atau mental ‘’terpental, (me)mantul’’.
Begitulah sifat bahasa. Ia unik dengan ‘’logika’’-nya sendiri. Memaksakan ‘’logika’’ bahasa yang satu pada ‘’logika’’ bahasa yang lain, dengan demikian, akan menyebabkan kita gagal menikmati keunikannya. Oleh karena itu, biarkan orang Indonesia tetap menggunakan kata kalbu (bukan qolbu) untuk ‘’hati, sanubari’’, tetapi jangan paksa mereka naik bus way ‘’jalur bus’’. Allah Maha Mengetahui. n
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau
Sumber: Riau Pos, Minggu, 6 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment