Sunday, October 06, 2013

[Tifa] Meruwat Wayang di Atas Kanvas

SAMBIL menatap dua orang pribumi, Laksamana Cheng Ho hendak memberikan ucapan selamat atau sapaan. Di tangan kiri, ia memegang pedang kebesaran, sebuah lambang atas kewibawaan dalam tatanan hidup kekaisaran pada zamannya.

LUKISAN WAYANG: Pengujung mengamati lukisan karya Agus Nuryanto yang
ditampilkan dalam pameran tunggal bertajuk The Spirit of Wayang di
Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat,
Kamis (3/10). MI/IMMANUEL ANTONIUS
Dengan menggunakan jubah dan mahkota seperti pengantin Jawa berjubah putih itu, Cheng Ho seakan hendak menghampiri dua sosok pribumi itu. Lewat karakter wajah dan hiasan kepalanya, kita bisa mengidentifikasi dari wayang kulit bahwa kedua tokoh adalah Pandawa yang menggunakan baju berwarna kontras.

Pandawa sedang membawa bendera Merah Putih sebagai lambang negara. Latar belakang begitu berbeda jika dibandingkan dengan sejarah kedatangan Cheng Ho di Nusantara. Gedung-gedung pencakar langit pun menjulang angkuh. Seolah mengisahkan Cheng Ho yang terperangah karena wilayah yang sempat disinggahinya dulu bernama Jawa Dwipa, kini sudah menjadi sebuah negeri modern yang tidak ia temukan di hutan belantara saat menelusuri Nusantara pada abad XIV.

Gambaran itu terlihat jelas pada lukisan Cheng Ho Kembali (100x100 cm) karya pelukis asal Kulonprogo, Yogyakarta, Agus Nuryanto, 43, yang dipajang lewat pameran tunggalnya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini. Pameran bertajuk The Spirit of Wayang itu akan berlangsung hingga Selasa (15/10) mendatang. Ada 148 karya yang dihadirkan untuk menunjukkan 19 tahun berkarier dalam seni lukis Indonesia.

Kurator Gigih Wiyono dalam pengantar pameran memaparkan tiga hal besar menyangkut karya-karya Agus. Pertama, identitas wayang sebagai upaya pelukis dalam mempertahankan akar kebudayaan lokal yang kian tergerus oleh budaya asing. Kedua, mengupas transformasi bentuk, fungsi, dan makna. Lalu, ketiga, yaitu langkah ideologis, terutama pesan-pesan moral yang disampaikan Agus melalui bentuk visual dengan pendekatan kearifan lokal. “Ini menjadi bukti tidak hanya melestarikan wayang saja, ada pengembaraan sehingga wayang yang biasa digunakan sebagai pertunjukan telah diracik menjadi hiasan tembok atau ruangan,” ujar Gigih yang juga Ketua Padepokan Seni Djayabhinangun di Sukoharjo.

Pada karya Restu Ibu (150x150 cm) yang dipajang tepat di bagian depan pintu masuk galeri, pengunjung pun langsung bisa melihat secara nyata karya bercat akrilik itu. Seorang anak sedang meminta restu dari sang bunda tercinta.

Keluar dari pakem

Terlepas dari keberanian dan keuletan Agus dalam menghadirkan tema-tema yang bersumber dari wayang kulit hingga beber, ada sebuah keraguan atas pencapaian sang seniman. Itu terlihat pada ketidakjelasan tokoh-tokoh yang ada dalam setiap objek lukisannya.

Tengok saja pada karya Baru 4 Bulan (84x85 cm) yang merupakan pengejawantahan proses alam gaib ketika dewa meniup roh pada sang jabang bayi yang berusia empat bulan. Itu digambarkan melalui malaikat yang disimbolkan wayang berwarna putih.

Terlepas dari itu, Agus mencoba bermain aman pada simbol-simbol. Pakem wayang beber yang bahkan berbentuk close up menjadi bukti ia sudah keluar dari pakem. Itu bisa ditengok pada Wayang Sanga-Sanga (20x23 cm) hingga Wayang 99 yang terdiri dari empat bagian terpisah.

Melalui karya-karya yang bersumber dari wayang, Agus berupaya memindahkan ragam visual, nilai, pesan, makna, dan filosofi. Ia mau menghadirkan wayang dalam ragam yang lebih eksklusif. Wayang tidak hanya sebagai media ekspresif yang dimiliki dalam dunia pedalangan. Namun, itu telah ditransformasi menjadi karya ideologis. Tentu saja, itu menjadi karya lukis yang mampu menembus segala lapaisan masyarakat.

Tokoh-tokoh seperti Arjuna hingga Gatotkaca pun diracik menjadi simbol-simbol. Tentu masih butuh telaah ilmiah untuk merujuk kepada asal-muasal tokoh-tokoh wayang yang dituangkan pada lukisan dalam 20 tahun terakhir ini. Jangan-jangan Agus hanya sebagai pengikut para pelukis lainnya yang telah lebih dahulu membuka sebuah tren, yaitu memindahkan simbol wayang ke atas kanvas sebagai sebuah ruwatan yang ekspresif. (Iwan Kurniawan/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 6 Oktober 2013

No comments: